b. Lagi-lagi untuk mengejar prestasi karena target kerja petugas OTT memaksa seseorang untuk menjadi pelaku atau korban dalam operasi tersebut.
c. Penyalahgunaan kekuasaan saat melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti. Hal teknis ini bisa saja terjadi karena pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan petugas KPK tidak dikontrol oleh siapa-siapa, malah dikawal dengan petugas bersenjata berat di lokasi.
d. Menggunakan informasi dari hasil OTT untuk kepentingan politik atau pribadi. Hal ini yang lebih sulit dikontrol karena pimpinan-pimpinan KPK yang terpilih lahir dari proses politik.Â
Lulus tidaknya seseorang menjadi pimpinan KPK tergantung kepada proses Fit dan Proper yang diadakan di Senayan yang dihuni oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang notabene adalah para politikus.Â
Contoh yang paling hangat saat ini dimana pegiat antikorupsi berencana melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri ke polisi. Hal ini disebabkan adanya dugaan kebocoran dokumen penyelidikan yang dilakukan Firli Bahuri yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana.Â
Sebelumnya Organisasi Putra Bangsa melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Putra Bangsa menduga Firli telah melakukan pelanggaran kode etik terkait dugaan kebocoran dokumen penyelidikan di Kementerian ESDM.
5. Bisa menjadi sarana intimidasi:
Ada juga kemungkinan bahwa operasi tangkap tangan dapat digunakan sebagai sarana intimidasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, untuk memata-matai atau merusak reputasi seseorang.
6. Memakan biaya yang besar:
Operasi tangkap tangan juga memakan biaya yang besar, baik dari segi keuangan maupun sumber daya manusia.Â
Biasanya untuk perencanaan dan persiapan diperlukan waktu yang relatif lama serta koordinasi yang baik antara berbagai lembaga terkait, sehingga menyedot banyak biaya.