Operasi tangkap tangan merupakan salah satu cara yang efektif untuk memerangi korupsi dan kejahatan lainnya, karena memungkinkan lembaga penegak hukum untuk menangkap pelaku tindak pidana secara langsung ketika sedang melakukan tindakan yang merugikan negara atau masyarakat.Â
KPK adalah salah satu lembaga di Indonesia yang aktif melaksanakan operasi tangkap tangan dalam upayanya memerangi korupsi.Â
Pernah pada suatu masa KPK periode Firli Bahuri sepi dari OTT, sehingga masyarakat mengkritik KPK tidak ampuh lagi sebagai lembaga anti rasuah. Jadi KPK sudah identik dengan OTT.Â
Apabila KPK tidak melakukan atau sepi melakukan OTT akan membuat masyarakat bereaksi untuk memprotes.
Adapun dasar hukum lembaga hukum melakukan OTT adalah Berdasarkan KUHAP Pasal 1 Ayat 19. OTT dikenal dalam hukum acara dengan istilah"tertangkap tangan".Â
Tertangkap tangan menurut Pasal 1 ayat 9 KUHAP adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindakan pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Kelemahan-kelemahan OTT.
Meskipun OTT dapat menjadi salah satu cara untuk mengumpulkan bukti dalam membangun kasus tindak pidana korupsi, namun terdapat beberapa kelemahan atau risiko dalam menggunakan pola OTT, antara lain:
1. Keterbatasan bukti yang diperoleh:
OTT sering kali hanya dapat mengumpulkan bukti-bukti yang bersifat langsung dan tidak selalu dapat membuktikan unsur kesalahan atau unsur kesengajaan dalam tindak pidana korupsi.
2. Potensi pelanggaran hak asasi manusia: