Gugatan Malpraktik, Ancaman Bagi Profesi Dokter
oleh Handra Deddy Hasan
Dalam beberapa dekade belakangan ada pergeseran pandangan hubungan antara dokter dan pasien. Dulu pasien memandang profesi dokter sangat mulia dan agung karena satu2nya orang tempat untuk menyembuhkan penderitaan (sakit) pasien. Perspektif seperti ini sudah bergeser yang memandang profesi dokter sudah setara dengan pasien dan hanya dilihat sekedar profesi yang dibayar atas jasa pengobatannya.
Situasi hubungan dokter dan pasien di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dari masa ke masa. Beberapa perbedaan situasi hubungan dokter dan pasien dulu dan sekarang di Indonesia antara lain:
1. Perubahan dalam pemahaman dan tingkat pendidikan masyarakat.
Dulu, masyarakat Indonesia memiliki tingkat pemahaman dan pendidikan yang lebih rendah mengenai kesehatan dan medis. Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan kesadaran kesehatan masyarakat, hubungan antara dokter dan pasien menjadi lebih seimbang dan terbuka.
2. Perubahan dalam sistem kesehatan.
 - Dulu, sistem kesehatan di Indonesia masih sangat terbatas dan cenderung tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat. Seiring dengan kemajuan teknologi dan perbaikan infrastruktur kesehatan, pasien memiliki akses yang lebih mudah dan layanan kesehatan yang lebih baik. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir pelayanan kesehatan masyarakat dilalui dengan menggunakan BPJS.
3. Perubahan dalam regulasi dan standar medis.
 - Di masa lalu, regulasi dan standar medis di Indonesia mungkin belum sepenuhnya terstandarisasi dan dikawal ketat. Saat ini, terdapat peraturan dan regulasi yang ketat yang harus diikuti oleh dokter dan lembaga medis di Indonesia, yang meningkatkan kualitas dan keamanan pelayanan medis.
4. Perubahan teknologi komunikasi.
 - Perkembangan teknologi komunikasi sudah jauh berkembang, pelayanan jasa dokter sekarang tidak hanya sekedar tatap muka secara pisik, sekarang sudah ada pelayanan jasa dokter secara daring (online). Selain itu masyarakat juga bisa menikmati pelayanan konsultasi kesehatan tidak sebatas dengan dokter saja. Aplikasi2 tertentu seperti Artificial Intelligent juga menyediakan informasi tentang kesehatan yang dibutuhkan masyarakat.
5. Perubahan dalam cara berkomunikasi antara dokter dan pasien.
- Dulu, komunikasi antara dokter dan pasien mungkin lebih terbatas dan formal. Saat ini, dokter dan pasien memiliki kesempatan untuk berinteraksi lebih dekat dan terbuka, sehingga pasien dapat memperoleh informasi yang lebih baik dan mendapatkan pelayanan medis yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.
Perubahan-perubahan ini telah membawa perubahan dalam situasi hubungan dokter dan pasien di Indonesia. Salah satu akibat pergeseran perspektif ini, membuka kemungkinan seorang pasien untuk mempermasalahkan jasa dokter, kalau pasien merasa tidak puas dan/atau merasa dirugikan oleh dokter dengan gugatan malpraktik.
Malpraktik adalah tindakan kesalahan atau kelalaian dalam praktek medis atau profesional yang menyebabkan kerugian atau bahaya bagi pasien atau klien. Di Indonesia, aturan malpraktik diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Undang-undang tersebut menetapkan bahwa dokter yang melakukan malpraktik dapat dikenai sanksi administratif, pidana, dan ganti rugi. Sanksi administratif dapat berupa peringatan, teguran tertulis, pencabutan izin praktik, atau penghentian sementara atau permanen dari praktek kedokteran. Sanksi pidana dapat berupa pidana penjara atau denda. Sementara itu, ganti rugi dapat diberikan jika malpraktik tersebut menyebabkan kerugian atau bahaya bagi pasien.
Sanksi Malpraktik Bagi Dokter.
Sebagamana kita ketahui ada 3 potensi ancaman nyata bagi dokter yang melakukan malpraktik, yaitu ; ancaman pidana, ganti rugi dan sanksi administratif, dimana masing2 sanksi berada dalam lingkup jurisdiksi hukum yang berbeda2.
1. Ancaman Pidana.
Pasal yang mengatur sanksi pidana untuk malpraktik di Indonesia adalah Pasal 359 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pasal 359 KUHP berbunyi sebagai berikut:
"Barangsiapa dalam melakukan pekerjaan atau memberikan pertolongan kedokteran secara kelalaian atau tidak cermat menimbulkan kematian atau luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun."
Sementara itu, Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa:
"Dokter yang melakukan kesalahan dalam melakukan tindakan medis sehingga menimbulkan kerugian bagi pasien, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Dalam hal malpraktik mengakibatkan kematian atau luka-luka berat, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama lima tahun berdasarkan Pasal 359 KUHP.
2. Ancaman Perdata Dengan Tuntutan Ganti Rugi.
Pasal yang mengatur sanksi ganti rugi atas malpraktik di Indonesia adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) dan Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Pasal 1365 KUHP menyatakan bahwa setiap orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian pada orang lain, wajib untuk mengganti kerugian tersebut. Sementara itu, Pasal 1134 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain, wajib untuk mengganti kerugian yang timbul akibat perbuatan tersebut.
Dalam kasus malpraktik, dokter yang melakukan kesalahan dan menyebabkan kerugian atau bahaya bagi pasien wajib untuk memberikan ganti rugi kepada pasien atau keluarganya. Besarnya ganti rugi tersebut harus seimbang dengan kerugian yang diderita oleh pasien atau keluarganya.
Proses untuk menuntut ganti rugi atas malpraktik dapat dilakukan melalui proses peradilan perdata di pengadilan. Biasanya, proses ini melibatkan pengajuan gugatan perdata oleh pasien atau keluarganya terhadap dokter yang melakukan malpraktik. Pasien atau keluarganya dapat menuntut ganti rugi baik secara materiil maupun imateriil, seperti kerugian finansial, biaya medis, dan ganti rugi atas penderitaan fisik dan psikis yang diderita.
3. Ancaman Sanksi Administratif.
Pasal yang mengatur sanksi administratif untuk malpraktik di Indonesia adalah Pasal 57 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pasal 57 UU Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa dokter yang melakukan malpraktik dapat dikenai sanksi administratif berupa Peringatan Teguran tertulis, Pencabutan izin praktik Penghentian sementara atau permanen dari praktek kedokteran.
Sanksi administratif dapat diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia atau organisasi profesi kedokteran yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Prosedur pemberian sanksi administratif diatur lebih lanjut dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Pengaduan Masyarakat atas Pelayanan Kedokteran.
Semua ancaman sanksi tersebut akan dilihat sangat serius bagi dokter. Tidak ada satupun ancaman sanksi itu yang ringan, karena sanksi administrasi sekalipun ibarat lonceng kematian bagi profesi dokter. Dokter yang dicabut izin prakteknya secara temporer bahkan permanen sama saja dengan pengangguran kelas tinggi, karena walau tetap dokter akan tetapi tidak bisa menghasilkan income sama sekali.
Kejadian Malpraktik Di Lapangan.
Dalam kenyataan sehari2 dari pengalaman penulis sendiri sebagai advokad tidak semua claim atau gugatan malpraktik semata2 merupakan kesalahan dokter dalam praktek profesionalnya mengobati pasien.
Ada beberapa kriteria perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter berdasarkan aturan yang ada di Indonesia.
Beberapa kriteria tersebut antara lain:
- Kesalahan dalam diagnosis atau penanganan medis yang mengakibatkan kerugian atau bahaya bagi pasien.
- Penggunaan alat atau obat yang tidak tepat atau tidak sesuai standar yang berlaku dan mengakibatkan kerugian atau bahaya bagi pasien.
- Ketidakmampuan dalam memberikan penanganan medis yang seharusnya diberikan berdasarkan standar medis yang berlaku.
- Pelanggaran etika atau kode etik profesi kedokteran, seperti mengabaikan hak pasien, memaksakan kehendak sendiri terhadap pasien, atau melakukan tindakan yang merugikan pasien.
Semua kriteria2 perbuatan yang memungkinkan terjadinya malpraktik sangat kompleks dan tidak sederhana. Sehingga butuh pemahaman komprehensif yang jernih dan obyektif serta tanpa prasangka dengan niat baik dari pihak pasien maupun dari pihak dokter. Hal ini membuka kemungkinan pasien sengaja memandangnya secara subyektif dengan niat buruk yang tersembunyi.
Dalam praktik hukum sehari2 ada beberapa contoh tuntutan hukum yang tidak beralasan yang dapat terjadi dalam kasus tuduhan malpraktik dokter oleh pasien, antara lain:
1. Tuntutan tanpa bukti
 Kadang-kadang, pasien dapat menuntut dokter tanpa bukti yang jelas bahwa malpraktik telah terjadi. Hal ini dapat disebabkan oleh ketidakpuasan dengan hasil pengobatan atau oleh harapan yang tidak realistis tentang apa yang dapat dicapai dengan pengobatan.
Kadang2 untuk menggertak dokter yang bersangkutan pasien langsung menggunakan Pengacara ternama.
2. Tuntutan yang berlebihan
 - Pasien dapat menuntut ganti rugi yang berlebihan atas tuduhan malpraktik, yang tidak sebanding dengan kerugian atau penderitaan yang sebenarnya dialami. Hal ini dapat disebabkan oleh dorongan untuk memperoleh keuntungan finansial yang lebih besar dari hasil pengobatan. Jadi ada maksud tersembunyi untuk mendapatkan uang secara tidak sah dengan menggertak dokter dan/atau Rumah Sakit melalui somasi dari Pengacara.
3. Tuntutan yang bertentangan dengan fakta medis
 - Terkadang, pasien dapat menuntut dokter meskipun tindakan medis yang dilakukan sejalan dengan standar medis yang diterima secara umum. Hal ini dapat terjadi karena pasien atau Pengacaranya sengaja berpura2 tidak memahami fakta medis atau bisa juga karena mempunyai harapan yang tidak realistis.
4. Tuntutan yang dipicu oleh faktor non-medis
 - Kadang-kadang, tuntutan hukum terhadap dokter dapat dipicu oleh faktor non-medis, seperti kecemasan atau ketakutan yang berlebihan, perselisihan pribadi, atau upaya untuk mengalihkan tanggung jawab dari situasi yang sulit.
5. Tuntutan yang dipicu oleh masalah sistemik
 - Kadang-kadang, tuntutan hukum terhadap dokter dapat dipicu oleh masalah sistemik dalam sistem kesehatan, seperti biaya pengobatan yang tinggi atau ketidakmampuan untuk memperoleh perawatan kesehatan yang memadai. Sehingga ada upaya tidak fair agar bisa menghindar untuk membayar biaya dokter dan Rumah Sakit. Hal ini sengaja  diarahkan pada ketidakpuasan dan tuntutan hukum terhadap dokter (secara subyektif) meskipun dokter sendiri tidak bersalah dalam hal tersebut.
Menghadapi ancaman2 hukum malpraktik ini jelas akan merepotkan dokter dan Rumah Sakit, apalagi menghadapi tuntutan2 malpraktik yang direkayasa menggunakan Pengacara. Dokter dalam menjalani profesinya mempunyai waktu yang sempit ditambah lagi biasanya dokter dan/atau Rumah Sakit tidak punya waktu dan alergi untuk meladeni semua kekisruhan hukum yang dibuat2. Solusi yang biasa diambil oleh dokter dan/atau Rumah Sakit secara preventif adalah dengan menutup resiko finansial ganti rugi malpraktik dengan asuransi dan menyewa Pengacara secara retainer. Kedua tindakan preventif ini jelas merupakan tindakan yang memerlukan biaya ekstra bagi dokter dan/atau Rumah Sakit karena harus membayar premi asuransi dan harus membayar fee Pengacara. Agar dokter dan/atau Rumah Sakit tidak berkurang penghasilannya sudah pasti semua biaya2 tersebut akan dibebani ke pasien juga akhirnya. Sehingga akibatnya inilah salah satu penyebab tingginya biaya berobat di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H