Abstract
Philosophy is a science that studies everything from a physical or non-physical context. Historically, the word philosophy comes from the Greek which means love of wisdom. The wise connotation here is that philosophy will continue to study an object fundamentally until got the point (truth) can be universally accepted, therefore, everything that uses research through philosophy must have impartial results.
Although in philosophy, of course, radical thinking is needed, the axiology obtained must be balanced and impartial, so that one-sidedness occurs. In Islam, philosophy is also quite contributing both in interpreting the verses of the Quran and the practice of hadith.
There was a time when philosophers, especially Muslims, had an important role in the advancement of exact sciences. This period is often referred to as the Golden Age of Islam.
Why is that? Because it was at this time that western philosophers and intellectuals recognized the existence of Islam. Also at this time coincided with the Dark Ages for the Romans because their thoughts were indoctrinated by the entry of Christianity.
One of the Islamic philosophers who played an important role in this was Ibnu Sina, or Westerners called him Avicenna. This article was created solely by the author to share and discuss the theory of existence and divinity that has been studied by Ibnu Sina. The author is still far from perfect in understanding the whole material, so if there are any mistakes, please apologize me.
Abstrak
Filsafat adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang segala hal entah dari konteks fisik maupun non-fisik. Berdasarkan sejarahnya, kata filsafat berasal dari Yunani yang memiliki arti cinta sebuah kebijaksanaan. Konotasi bijaksana disini adalah filsafat akan terus mengkaji suatu objek secara mendasar hingga titik temunya (kebenarannya)
dapat diterima secara universal, karena itu, segala hal yang menggunakan research melalui filsafat pasti memiliki hasil yang tidak berat sebelah. Meskipun dalam berfilsafat tentu diperlukan radikal dalam berfikir, aksiologi yang didapatkan haruslah seimbang pun tidak memihak hingga terjadi berat sebelah.
Dalam Islam, filsafat juga cukup memberi kontribusi baik dalam menafsirkan ayat Al-Quran dan pengamalan hadist. Ada masa dimana para filsuf terutama dari kalangan muslim memiliki peran cukup penting dalam kemajuan ilmu eksak.
Masa itu sering disebut sebagai Golden Age of Islam. Mengapa demikian? Sebab di masa inilah para filsuf barat dan orang-orang intelek mengakui keberadaan Islam.
Pun juga di masa ini bertepatan dengan Dark Ages untuk bangsa romawi karena pemikirannya didoktrin oleh masuknya agama Kristen. Salah satu tokoh filsuf islam yang berperan penting ini adalah Ibnu Sina, atau orang barat menyebutnya sebagai Avicenna.
Artikel ini dibuat semata-mata penulis ingin berbagi dan berdiskusi tentang teori akan eksistensi dan ketuhanan yang telah dikaji oleh Ibnu Sina. Penulis masih jauh dari kata sempurna dalam memahami keseluruhan materi, jadi jikapun ada salah kata, mohon sekiranya dimaafkan.
Pendahuluan
Filsafat memiliki banyak manfaat dalam berbagai bidang keilmuan, apalagi di Dunia Islam. Filsafat pertama kali masuk dalam ranah keislaman dipioneri oleh Al-Kindi. Namun Al-Kindi menjadikan filsafat sebagai komparasi keagamaan, seperti halnya Al-Ghazali. Namun bukan berarti semua kajian yang dilakukan oleh
Al-Kindi hanya berpaku pada hal metafisik, malah bahkan Al-Kindi sendiri mengatakan bahwasannya filsafat hanyalah ilmu yang dapat dikaji melalui apa yang mampu dicapai oleh akal manusia, maka dari itu, menurutnya filsafat memiliki keterbatasan dan juga tidak dapat mengatasi hal-hal metafisik seperti surga, neraka, dan lainnya.
Namun tidak dengan Ibnu Sina. Kalau Al-Kindi seorang Arab dan Al-Farabi seorang Turki, maka Ibnu Sina adalah orang Persia. Semuanya itu menunjukkan corak universal peradaban Islam. Hal itu dimungkinkan oleh agama yang melandasi filsafat itu sendiri, Islam, dan berkat bahasanya, yaitu bahasa Arab.
Beliau bahkan mengkaji beberapa hal yang bersangkutan dengan metafisik melalui filsafat. Tepatnya pada masa puncak dari tradisi Helenisme, yaitu artikulturasi dari pemikiran parafilosofi Islam yang kental akan research filsafat, namun dengan peneitian-penelitian yang dilakukan Ibnu Sina itu,
mulailah ilmu keintelektualan mendapat sorotan, bukan hanya dari ilmuwan arab, melainkan hingga ke pelosok negeri. Didukung dengan beberapa buku Yunani yang ia terjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan kecerdasan Ibnu Sina dengan menemukan penemuan baru dibidang metafisik maupun fisik, beliau membawa Islam semakin dikenal baik oleh masyarakat barat pada masa itu, pun juga masa keemasan Islam diakui oleh seluruh umat.
Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibnal-Hassan ibn Ali ibn Sina. Anak kedua dari tiga bersaudara. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H (8-980 M). Ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh ibn Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara.
Di kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat tiga orang anak, Ali, Husein (ibn Sina), dan Muhammad. Diumur yang masih 10 tahun, ia diberi kecerdasan yang lain dari anak-anak seumurannya. Beliau mampu menghafal al-Qur’an.
Selain itu, beliau juga dapat memahami sastra Arab. Di umur yang ke 14 tahun gurunya memperkenalkan Ibnu Sina kepada buku dan pemikiran Aristoteles, dengan begitu ia sangat tertarik, bahkan sang guru pun takjub dengan pemahaman Ibnu Sina yang sangat baik.
Pada masa mudanya ia tertarik pada aliran Syi’ah Isma’iliyah dan aliran kebatinan. Ia banyak mendengarkan percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran tersebut dengan ayahnya atau kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai soal-soal akal pikiran dan kejiwaan menurut cara mereka. Tetapi, sebagaimana dikatakannya sendiri dalam auto biografinya,
ia tidak dapat menerima aliran-aliran tersebut dan menjauhinya. Selain itu, ia juga mempelajari ilmu kedokteran secara otodidak, seakan-akan ia selalu haus ilmu dan bacaan. Dengan banyaknya teori yang ia hafal, satu persatu dokter mulai menaruh perhatian lebih kepada Ibnu Sina,
dan di umur yang masih 17 tahun, ia sudah melakukan sebuah praktek dalam melayani pasien. Pun juga ia mempelajari kitab Metafisika karangan Aristoteles yang telah beliau baca sebanyak empat puluh kali.
Namun, ia masih belum memahaminya hingga pada akhirnya ia menemukan sebuah buku karya Al-Farabi. Telah dipastikan, diumurnya yang masih 18 tahun, ia sudah menguasai ilmu pengetahuan (termasuk kepada kedokteran) pun juga ilmu filsafat.[1]
Namun, diusianya ke 22 tahun, ayahnya meninggal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat baginya, sehingga ia dengan berat hati meninggalkan Bukhara menuju jurjan, di mana ia berjumpa dengan Abu ‘Ubaid al–Jurjani kemudian menjadi salah seorang muridnya, dan penulis sejarah hidupnya.
Tetapi, ia tidak lama bermukim di kota ini karena kekacauan politik, lalu ia pergi ke Hamazan. Di kota Hamazan ini ia berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-Daulah dari dinasti Buwaihi (1015-1022). Pada masa itulah, ia diangkat menjadi perdana menteri di istana.
Di antara filsuf Arab yang termasyhur di Barat, Ibnu Sina yang dikenal Avicenna itu sering disebut juga sebagai Aristoteles Baru. Kebesarannya sebagai tokoh filsafat terbukti ketika Al-Ghazali melakukan sebuah serangan terhadap pemikiran kaum filsuf, namun Al-Ghazali tidak menemukan tokoh filsafat dihadapannya secerdas Ibnu Sina.
Hingga diakhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan dan meninggal di Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun.[2] Ketika ditelusuri lebih lanjut, kematian Ibnu Sina disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian organ pencernaannya (maagh) karena ia sangat bersikukuh dalam mengkaji urusan agama dan ilmu pengetahuan.
Pada waktu siang ia bekerja, malam ia membaca dan menulis hingga larut malam. Bulan-bulan terakhir kehidupannya, ia berpakaian putih, menyedekahkan hartanya kepada fakir-miskin, dan mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah.
Teori Pemikiran Esensi oleh Ibnu Sina
Sebuah cerita mengatakan bahwa pada masa dimana ia sangat haus akan ilmu dan memiliki target untuk menuntaskan segala pemahaman teorinya diumur 18 tahun, Ibnu Sina telah hafal isi buku Metaphysica di luar kepala tanpa memahami kandungan maknanya,
hingga pada akhirnya ia menemukan buku Al-Farabi yang menerangkan maksud tulisan Aristoteles. Setelah itu barulah ia dapat memahami perumusan kalimatnya. Kenyataan itu membuat Ibnu Sina mengakui kedudukan Al-Farabi sebagai Guru Kedua setelah Aristoteles tentunya.[3]
Dalam kajian metafisika yang diimplementasiakan melalui filsafat, Ibnu Sina mendefinisikan bahwa metafisika itu adalah pengetahuan tentang segala yang ada sebagaimana adanya dan sejauh yang dapat diketahui oleh manusia. Dia mengklasifikasikan yang ada menjadi dua, yaitu wajibul wujud dan mumkinul wujud, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Wajib al-Wujud
Esensi yang mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak dapat dipisahkan dari wujud, keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Dalam hal ini, Ibnu Sina memberikan contoh Tuhan. Karena, keberadaan Tuhan ini tidak mungkin “tidak ada”.
Secara wujud yang dapat diraih oleh empiris mungkin masih banyak yang mempertanyakan, namun dalam teori Wajib al-wujud ini, esensi Tuhan ada pada wujudnya, dan wujud dari diri-Nya adalah esensi itu sendiri. Dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi tiga tingkatan. Esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:
1. Esensi tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. Contoh, adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Contoh, alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3. Esensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan.
2. Mumkin al-Wujud
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh juga tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika dia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada maka tidak mustahil, yakni boleh ada boleh juga tidak ada. Contoh mudahnya adalah alam semesta. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Q.S Fusslihat ayat 53 yang berbunyi:
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدُ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami pada alam semesta dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Tuhan menyaksikan segala sesuatu “.[4]
Dengan demikian, Tuhan itu unik. Dalam artian, Dia adalah Kemaujudan yang Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang Mesti itu harus satu. Nyatanya,walaupun di dalam Kemaujudan ini tak boleh terdapat kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa esensi Tuhan identik dengan keberadaan-Nya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat didefinisikan.
Teori Pemikiran Ketuhanan oleh Ibnu Sina
Konteks Ketuhanan disini adalah sifat-Nya yang Maha Mengatur dan Maha Tahu. Diterangkan dalam kitab Al-Isyarat :”Maha tahu adalah perwakilan dalam undang alam semesta, dalam pengetahuan abadi, dalam suatu waktu tertentu”. Undang pelimpahan Tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan pelimpahan rasionil.
Keterangan tersebut menyebabkan orang dapat melihat bagaimana Ibnu Sina menguraikan tentang sifat Maha Tuhan dan mengenai baik dan buruk. Orang akan merasa pesimis dan memberikan uraiannya bahwa antara baik dan buruk, baiklah yang akan menang.
Tuhan menghendaki baik oleh karena itu ia menyempurnakan wujud-Nya. Makhluk adalah baik, dan kesempurnaan makhluk hakikatnya terdapat pada diri makhluk itu sendiri. Sebab, segala kebaikan dan kesempurnaan datang dari Tuhan. Pun diperjelas dengan sifat Tuhan yaitu Rahman dan Rahim. Dia akan menjelma dalam setiap apa yang dikuasai-Nya.
Selama dunia ini tersusun dari kebutuhan dan kemungkinan, dunia ini terjadi dari benda bentuk, potensi dan hakikat, serta kejahatan yang selamanya pasti ada. Meskipun jika memang makhluk adalah baik, maka dapat disimpulkan bahwasannya kejahatan lebih sedikit daripada kebaikan.
Namun, dengan adanya nafsu dalam diri makhluk, sebuah kejahatan dapat timbul dari makhluk itu sendiri. Ibnu Sina menggambarkan tentang pengertian benda itu sebagai seorang perempuan yang tidak cantik. Ia memutuskan untuk memakai topeng sekedar untuk menutupi ketidakcantikannya.
Oleh karena itu, perempuan tidak dapat terpisah dari topeng tersebut, topeng tersebut memberi kecantikan padanya. Ini juga ada hubungannya dengan Tuhan sebagai puncak makhluk.
Ketika Ibnu Sina mendefinisikan Tuhan sebagai puncak makhluk, maka Tuhan pula merupakan puncak rupa depan yang memberi nikmat. Dalam artian, meskipun perempuan tadi merasa tidak cantik, dalam sudut pandang Tuhan sebagai pencipta, semua sama.
Semua baik, semua tidak ada yang membedakan di mata-Nya secara rupa depan. Kita harus mengenal Tuhan sebagai wakil sebab. Nafsu adalah sebab akhir dari makhluk yang mencoba memperoleh kesempurnaan dan kebaikan. Rasa ketidakpuasan dan judgement dari masyarat sekitar juga bisa menjadi alasan mengapa ia harus melakukan banyak cara agar dapat dilihat “baik” dalam pandangan sesama makhluk. Bukan Sang Pencipta.
Undang alam semesta adalah sebaik–baik undang makhluk, dan dunia kita adalah sebaik–baik alam yang dapat difahamkan oleh otak manusia.
Untuk membuktikan bahwa Tuhan Maha Mengetahui, Ibnu Sina pernah menghadapi tiga buah pernyataan yang berlawanan, yaitu :
a. Tentang pendirian filsafat Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan berada diluar alam.
b. Tesis Al-Qur’an yang mengatakan : “Tuhan adalah Maha Tahu akan segala yang tidak terlihat. Tidak ada sebutir atom atau lebih kecil dari itu atau lebih besar di langit dan di bumi yang tersembunyi kepada-Nya, itulah seterang–terangnya bukti” (Surat 34/4)
c. Tentang pendapat Plato dan Neoplatenis, yang mengatakan bahwa Tuhan adalah prinsip pertama, Yang Esa dan Dia jauh dari apa yang dapat disifatkan oleh pengetahuan , sebab dengan meletakkan kepada Tuhan pengetahuan. Dia mempunyai sifat yang rangkap yaitu tahu dan pengetahuan.
Dalam An-Najat, salah satu karya Ibnu Sina berkata bahwa : “Kebenaran pertama, jika ia tahu dirinya sendiri, dia tahu bahwa Dia adalah dasar pertama dari makhluk dan segala sesuatu yang keluar daripada-Nya”. Putusan paham Ibnu Sina diberikannya, bahwa ilmu Tuhan tentang kekhususan adalah didasarkan pada pokok pelajaran sebab musabab. Segala sesuatu berkehendak kepada hubungan sebab dan akibat.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwasannya pemikiran Ibnu Sina cukup berpengaruh dan menambah wawasan baru kepada kita. Penulis juga mengagumi Ibnu Sina akan kegigihannya dalam mencari ilmu dan haus akan kaingintahuannya. Salah satu sifat tersebut sangat pantas diimplementasikan kepada remaja masa kini. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam artikel ini,
Ibnu Sina memiliki banyak teori, namun yang penulis kaji ada dua macam, yaitu tentang esensi dan Ketuhanan. Ternyata didalam pehamanan Ibnu Sina kepada esensi terdapat tiga tingkatan, yaitu yang tak dapat mempunyai wujud, yang mungkin atau boleh berwujud namun pasti hancur, dan terakhir adalah tidak boleh memiliki wujud, dimana esensi-Nya adalah wujud dari diri-Nya sendiri, yang dapat disebut sebagai Tuhan.
Setelah itu, bab kedua yang membahas Ketuhanan yang dimaksudkan oleh Ibnu Sina adalah sifat Maha Mengatur dan Maha Tahu. Maha Mengatur yang disini adalah semua ciptaan Tuhan sudah pasti baik, apapun itu, karena yang mencipta telah menyempurnakannya.
Mungkin ketika sesama makhluk saling menjustifikasi tentang kesempurnaan seseorang, pasti akan timpang sebelah. Namun itu tidak berlaku dipandangan Tuhan. Acapkali yang merusak ciptaan-Nya adalah sesama makhluk itu sendiri.
Daftar Pustaka
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta : P3M, 1987.
De Boer, hal.166
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Q.S Fusshilat:53
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H