Selain itu, beliau juga dapat memahami sastra Arab. Di umur yang ke 14 tahun gurunya memperkenalkan Ibnu Sina kepada buku dan pemikiran Aristoteles, dengan begitu ia sangat tertarik, bahkan sang guru pun takjub dengan pemahaman Ibnu Sina yang sangat baik.
Pada masa mudanya ia tertarik pada aliran Syi’ah Isma’iliyah dan aliran kebatinan. Ia banyak  mendengarkan percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran tersebut dengan ayahnya atau kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai soal-soal akal pikiran dan kejiwaan menurut cara mereka. Tetapi, sebagaimana dikatakannya sendiri dalam auto biografinya,Â
ia tidak dapat menerima aliran-aliran tersebut dan menjauhinya. Selain itu, ia juga mempelajari ilmu kedokteran secara otodidak, seakan-akan ia selalu haus ilmu dan bacaan. Dengan banyaknya teori yang ia hafal, satu persatu dokter mulai menaruh perhatian lebih kepada Ibnu Sina,Â
dan di umur yang masih 17 tahun, ia sudah melakukan sebuah praktek dalam melayani pasien. Pun juga ia mempelajari kitab Metafisika karangan Aristoteles yang telah beliau baca sebanyak empat puluh kali.Â
Namun, ia masih belum memahaminya hingga pada akhirnya ia menemukan sebuah buku karya Al-Farabi. Telah dipastikan, diumurnya yang masih 18 tahun, ia sudah menguasai ilmu pengetahuan (termasuk kepada kedokteran) pun juga ilmu filsafat.[1]
 Namun, diusianya ke 22 tahun, ayahnya meninggal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat baginya, sehingga ia dengan berat hati meninggalkan Bukhara menuju jurjan, di mana ia berjumpa dengan Abu ‘Ubaid al–Jurjani kemudian menjadi salah seorang muridnya, dan penulis sejarah hidupnya.Â
Tetapi, ia tidak lama bermukim di kota ini karena kekacauan politik, lalu ia pergi ke Hamazan. Di kota Hamazan ini ia berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-Daulah dari dinasti Buwaihi (1015-1022). Pada masa itulah, ia diangkat menjadi perdana menteri di istana.
 Di antara filsuf Arab yang termasyhur di Barat, Ibnu Sina yang dikenal Avicenna itu sering disebut juga sebagai Aristoteles Baru. Kebesarannya sebagai tokoh filsafat terbukti ketika Al-Ghazali melakukan sebuah serangan terhadap pemikiran kaum filsuf, namun Al-Ghazali tidak menemukan tokoh filsafat dihadapannya secerdas Ibnu Sina.Â
Hingga diakhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan dan meninggal di Hamadzan pada 428 H (1037 M) dalam usia 57 tahun.[2] Ketika ditelusuri lebih lanjut, kematian Ibnu Sina disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian organ pencernaannya (maagh) karena ia sangat bersikukuh dalam mengkaji urusan agama dan ilmu pengetahuan.Â
Pada waktu siang ia bekerja, malam ia membaca dan menulis hingga larut malam. Bulan-bulan terakhir kehidupannya, ia berpakaian putih, menyedekahkan hartanya kepada fakir-miskin, dan mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah.Â
Â