Teori Pemikiran Esensi oleh Ibnu Sina
Sebuah cerita mengatakan bahwa pada masa dimana ia sangat haus akan ilmu dan memiliki target untuk menuntaskan segala pemahaman teorinya diumur 18 tahun, Ibnu Sina telah hafal isi buku Metaphysica di luar kepala tanpa memahami kandungan maknanya,
hingga pada akhirnya ia menemukan buku Al-Farabi yang menerangkan maksud tulisan Aristoteles. Setelah itu barulah ia dapat memahami perumusan kalimatnya. Kenyataan itu membuat Ibnu Sina mengakui kedudukan Al-Farabi sebagai Guru Kedua setelah Aristoteles tentunya.[3]
Dalam kajian metafisika yang diimplementasiakan melalui filsafat, Ibnu Sina mendefinisikan bahwa metafisika itu adalah pengetahuan tentang segala yang ada sebagaimana adanya dan sejauh yang dapat diketahui oleh manusia. Dia mengklasifikasikan yang ada menjadi dua, yaitu wajibul wujud dan mumkinul wujud, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Wajib al-Wujud
Esensi yang mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak dapat dipisahkan dari wujud, keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Dalam hal ini, Ibnu Sina memberikan contoh Tuhan. Karena, keberadaan Tuhan ini tidak mungkin “tidak ada”.
Secara wujud yang dapat diraih oleh empiris mungkin masih banyak yang mempertanyakan, namun dalam teori Wajib al-wujud ini, esensi Tuhan ada pada wujudnya, dan wujud dari diri-Nya adalah esensi itu sendiri. Dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi tiga tingkatan. Esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:
1. Esensi tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. Contoh, adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.