Karena peluru itu sudah merusak jaringan otot, jadi jangan dibuat banyak bergerak sampai benar-benar sembuh, ya. Kalau tidak, tanganmu nanti tidak bisa digunakan lagi secara maksimal.
Hari ini adalah dua hari setelah penembakan malam itu. Namie sudah diperbolehkan keluar rumah sakit, tapi, ada syarat yang harus ia penuhi. Dan, ia rasa, syarat itu ternyata memberikan keuntungan. Dengan alasan agar putrinya cepat sembuh, ayah memperbolehkan Namie absen berlatih bela diri. Selain itu, ayah selalu menyuapi dan mengajaknya bercanda. Seharusnya, ini adalah waktu yang tepat untuk meminta penjelasan tentang rahasia-rahasia ayah karena mereka sedang “dekat”. Akan tetapi, Namie terlanjur terlena oleh kedekatan itu—sehingga tidak mau merusaknya dengan hal-hal berat.
Bisa dikatakan, Namie sedang bahagia. Baru kali ini ia merasa diperhatikan oleh ayah—sehingga walau pun Masato sempat mengatainya anak pembawa sial saat menemuinya di rumah sakit, dan Nisae yang sekarang kondisinya sedang drop karena mengetahui saudaranya tertembak, ia tidak begitu memikirkannya. Ia rasa, ia berhak egois sedikit saja untuk menikmati hidupnya. Bukankah selama ini ia sudah terlalu banyak “berkorban”?
Sampai saat ini, sudah banyak teman Namie yang mengunjunginya, terkecuali Shigeru dan Rin. Entahlah, begitu ia sadar beberapa jam setelah penembakan, ia tidak melihat batang hidung pemuda bermarga Endo itu. Orangtuanya juga tidak mengatakan apa-apa. Lalu, hal apa yang membuat Rin tidak kunjung menjenguknya? Sungguh, Namie ingin sekali bertemu dengannya. Jujur saja, ia mulai merasa nyaman di dekat anak terakhir keluarga Okumura itu.
***
“Paman, bagaimana rencana kita selanjutnya?”
“Habiskan makan malammu dulu. Kita bicarakan setelah ini.”
Shigeru mengembuskan napas berat seraya menjatuhkan sendok dan garpunya di piring. Menimbulkan dentingan yang mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang ia pendam dan saat ini rasanya ingin keluar. Paman bertanya apa yang dipikirkan keponakannya itu.
“Aku tidak tenang. Kalau rencana kali ini tidak berhasil, Namie pasti bisa menggagalkan rencana kita yang lainnya. Dia itu cerdas, paman.”
Paman tertawa renyah. Keponakannya ini rupanya sudah lupa atas apa yang dilakukannya untuk “menghindar” dari endusan polisi. “Kau sebenarnya juga cerdas, Shigeru. Ya, tapi itu kalau kau tenang.”
Agar tidak bertemu orangtua Namie, Shigeru menghubungi supir pamannya supaya menyuruh anak laki-laki yang seusia dengannya untuk pergi ke rumah sakit. Ia berniat seolah-olah Kazumi adalah teman yang pergi bersama Namie. Begitu orangtua gadis itu datang, Kazumi harus berakting sedih karena merasa sangat bersalah tidak bisa menjaga temannya dengan baik. Kemudian, ia buru-buru pamit dengan alasan polisi ingin memintainya keterangan. Sebenarnya, yang pergi ke kantor polisi adalah Shigeru itu sendiri. Ia pergi ke sana bersama paman untuk menyuap atasan polisi untuk tidak melanjutkan penyelidikan kasus penembakan malam itu, dan melakukan kerjasama saat mereka melakukan rencana licik lagi.
“Jika kau meninggalkan jejak, maka carilah sesuatu untuk menghapusnya,” ujar Shigeru dengan senyum penuh kemenangan.
***
“Hai, kak, apa kau tidak pergi ke kantor?”
“Kau lihat ‘kan, aku masih membaca majalah,” balas Masato ketus tanpa mengalihkan pandangan dari bacaannya pagi ini tentang ekonomi.
Namie menggigit bibir bagian bawah, menahan emosinya keluar. Ia ingin bertanya lagi kenapa kakak laki-lakinya itu begitu membencinya. Tetapi, sekarang bukanlah waktu yang tepat. Ia takut akan memerkeruh suasana karena pertengkaran yang akan terjadi kalau ia terus menerus mengganggu mood Masato.
“Semoga harimu menyenangkan,” kata Namie, lantas pergi meninggalkan kakaknya yang masih asyik meluruskan kaki serta menidurkan tubuhnya di sofa empuk itu.
Benar-benar hari yang membosankan bagi Namie! Tidak ada aktivitas dan juga teman mengobrol. Ia hanya berjalan ke sana ke mari untuk membunuh waktu sebelum akhirnya nekat menemui Masato di tempat favoritnya, perpustakaan pribadi. Ayah yang ingin diceritakannya tentang kemajuan luka tembaknya sudah keluar rumah pagi-pagi sekali. Kembarannya yang cantik dan baik hati itu masih lemah karena terlalu syok atas tragedi malam itu. Ibu tirinya? Itu tidak mungkin karena perhatiannya masih tertuju penuh untuk merawat Nisae.
Iseng, Namie pun memasuki ruang kerja ayah. Niat awalnya ingin menutup pintunya yang sedikit terbuka. Namun, ia ingin sekalian tahu isi ruangan yang tidak pernah dikunjunginya itu. Pasalnya, ayah lebih memilih keluar ruangan ketika putrinya mengetuk pintu karena ingin berbicara. Apakah memang ada yang disembunyikannya dari Namie?
Ruang kerja bergaya elektik itu cukup luas, dengan penataan furniture yang teratur. Meja dan kursi kerjanya diletakkan menghadap jendela. Mungkin, ini ayah lakukan agar bisa mengalihkan pandangan barang sejenak ke hijaunya pepohonan di depan rumah. Di sisi kanan dan kiri ruangan, terdapat sofa panjang berwarna merah marun serta lemari tempel yang berada persis di sampingnya. Di sana terdapat tumpukan map dengan berbagai warna. Lalu, sisa tembok yang tidak tertutupi apa-apa ditempeli foto-foto berpigura.
Namie tertarik dengan salah satu foto, yang kebetulan ukurannya juga paling besar. Gambar di foto itu adalah ayah yang sedang mencium perut ibu kandungnya yang sudah besar. Namie rasa, anak yang dikandung saat itu adalah ia dan Nisae.
Kenapa tidak ada foto ibu tiriku? Apa dia tidak merasa tersinggung karena ayah seperti belum bisa melupakan istri sebelumnya?Batin Namie begitu menyadari hal itu. Lalu, seingatnya juga, ayah dan ibu barunya itu tidak pernah terlihat mesra di hadapan anak-anaknya. Mereka seakan-akan tidak mempunyai chemistry.
Tidak mau terlalu larut dengan pertanyaan-pertanyaan yang kini berserakan di pikirannya, Namie putuskan untuk melakukan hal lain. Ia membuka laci meja kerja ayah, lalu memeriksa isinya. Tidak ada yang penting; karena ia harap, apa yang ditemukannya bisa menjadi petunjuk atas rahasia-rahasia ayah selama ini.
Namie beralih ke lemari tempel di sisi kanannya. Ia mulai mengambil map yang paling bawah dari tumpukan. Lagi-lagi, bukan hal penting. Isinya hanya sekadar daftar gaji karyawan ayahnya tahun lalu. Ia menatap keseluruhan isi lemari itu, lalu mengembuskan napas. Ini akan memakan banyak waktu untuk memeriksa semuanya. Kemudian, ia berpikir, dan beberapa saat setelahnya, muncul sesuatu di pikirannya.
Peluang. Ya, peluang. Sama seperti pelajaran Matematikaku sewaktu SMP dulu, Namie membatin.
Setelah mengembalikan apa yang diambilnya tadi ke tempat semula, Namie mulai melakukan aktivitas penghitungan di otaknya. Jenis warna map di lemari tempel itu ada lima. Lalu, jumlah mapnya sendiri kira-kira ada 500. Lima dibagi 500 sama dengan 0, 01. Kosong, kosong berarti putih. Ya, Namie melihat ada dua map putih, kemudian di sebelahnya ada map berwarna hijau. Lalu, apa isi map itu berisi hal penting baginya? Ia pun buru-buru mengambilnya. Di dalamnya banyak sekali lembaran-lembaran dengan banyak tulisan serta gambar-gambar. Akan lebih baik jika ia mengambil seluruh isinya, kemudian meneliti satu persatu di kamarnya. Selain itu, telinganya samar-samar mendengar suara mesin mobil memasuki halaman, yang mungkin saja itu ayahnya. Bisa gawat kalau sampai ia ketahuan.
Namie buru-buru keluar ruangan, lalu memasuki kamar. Ia mengunci pintunya agar tidak ketahuan juga jika seumpama saja ayahnya masuk, dan melihatnya sedang cukup panik menyembunyikan berkas-berkas yang ia “curi.” Begitu mendengar pintu terkunci yang berusaha dibuka serta seorang lelaki yang memanggil namanya, Namie mengacak-acak rambutnya agar seolah-olah tampak bangun tidur.
“Iya, ayah,” katanya seraya menuju pintu. “Ada apa?” lanjutnya dengan mata yang sengaja ia sipit-sipitkan saat berhadapan langsung dengan pria paruh baya itu.
“Kau sedang tidur, kan?”
Namie mengangguk sekali, kemudian berpura-pura menguap.
“Baguslah,” ayah mengecup kening putri tomboynya itu. “Selalu kunci pintumu saat tertidur atau pun mandi,” lanjutnya, kemudian ia buru-buru menuju ruang kerjanya.
Namie memandang bahu lelaki itu sampai hilang dari indera penglihatannya. Tiada hari tanpa hal mencurigakan yang kau lakukan, ayah. Aku memang diam sesuai permintaanmu. Tapi, bukan berarti aku menghentikan rasa penasaranku untuk menyelidiki ini semua.
***
Namie hendak membuka pintu rumah, akan tetapi, ayah memegang pundaknya. Pertanda jika ada sesuatu yang dilupakan putri terakhirnya itu. Ia menoleh, dan mendapati ayahnya mengangsurkan sesuatu yang terbungkus kain putih.
“Bawalah,” perintah ayah tidak terbantah, setelah Namie memandangnya penuh tanda tanya seolah-olah menegaskan jika untuk apa ia membawanya?
Dengan berat hati, Namie menerimanya. Sungguh, ia ingin hidup normal seperti teman-temannya. Bercanda, tertawa lepas, tanpa ada sesuatu yang harus ia waspadai. Ia bahkan bukan putri raja atau presiden, yang harus mempunyai perlindungan tersendiri saat keluar rumah. Ayah mungkin mengkhawatirkannya perihal penembakan padanya malam itu. Namun, ia sendiri sudah tidak ambil pusing. Lagi pula, ia rasa dalang dari penembakan itu sedang memersiapkan rencana lainnya. Tidak mungkin akan melakukan hal yang sama, menembaknya lagi.
Malam ini, Namie dan Rin akan bertemu di Shirokanedai National Park. Di sana, pengunjungnya sangat ramai, apa lagi malam minggu seperti ini. Soal keamanan, adanya securitydan juga CCTV, membuat taman itu mendapatkan predikat aman dari para pengunjung. Lalu, bagi Namie sendiri, apa yang harus ditakutkan jika pergi ke sana sedangkan fasilitas keamanannya sendiri sudah memadai?
***
Rin datang terlebih dahulu dari Namie. Ia sudah mengirim pesan pada temannya itu di mana posisinya sekarang. Kalau tidak, gadis itu akan kesulitan menemukannya, mengingat Shirokanedai National Park cukup luas dan banyak terdapat pepohonan yang tinggi dan berbagai rumput liar. Selain itu, spot yang ia pilih agak gelap dan sepi. Ia memang berniat membicarakan hal pribadi.
“Bagaimana kabarmu, Namie-chan?”
Namie terduduk di ayunan sebelah Rin, mengayunkan kaki, lantas menjawab. “Lumayan,” katanya sambil tersenyum sekadarnya. Setelahnya, tidak ada perbincangan di antara mereka. Bukankah sebelumnya Namie begitu menginginkan pertemuan ini? Seharusnya, akan ada banyak topik pembicaraan yang ia berikan. Apa ia terlalu gengsi untuk berbicara terlebih dahulu? Ia bahkan sekarang terdiam sembari memandang langit—hingga tidak sadar jika Rin memerhatikan tiap lekuk wajahnya.
“Kata dokter, kapan kau bisa melepas penopang tanganmu?”
“Minggu-minggu ini,” jawab Namie. Ia memberikan jeda cukup lama sebelum melanjutkan perkataannya. “Kau tahu, ini sangat menyebalkan!”
Rin tersenyum. Ia merasa bahagia melihat Namie mengeluh, mengingat imej pendiam yang melekat pada gadis itu. “Aku punya kabar gembira untukmu.” Rin mengabarkan. Namie tidak menunjukkan rasa ingin tahunya dengan perkataan, melainkan langsung menatap Rin antusias.
“Sebelumnya, aku ingin bertanya, kenapa kau melarangku menjengukmu di rumah atau bahkan menjemputmu?” Rin memasang wajah kesal yang dibumbui sedikit manja.
Mimik Namie kontan berubah kecewa. Teman duduknya itu, rupanya sengaja mengulur-ngulur waktu. Ia mendengus, sejak pertama kali ia melihat Rin malam ini, teman sekelasnya itu tampak lebih serius. Tapi, ternyata sifat konyolnya masih saja ada.
“Aku bosan di rumah, itu saja,” jelas Namie. Rin masih terdiam. Nampak seperti menunggu jawaban lanjutan. Gadis itu pun mengembuskan napas berat. “Taman ini berada di antara rumah kita. Tidakkah lebih baik jika kita langsung bertemu di sini?”
Namie dan Rin belum ada yang berniat bicara. Mereka saling melempar pandangan lekat, nyaris berkedip. Karena gerogi, Namie semakin mengeratkan genggaman tangan kanannya pada pegangan ayunan. Sedangkan Rin, ia menyelami mata gadis pendiam itu dalam. Ia ingin memahami apa yang gadis itu rasakan selama ini. Ia yakin jika kediaman Namie berhubungan dengan rahasia-rahasia yang disembunyikannya—sampai-sampai di waktu-waktu tertentu, teman sekelasnya itu terlihat tertekan.
Rin nyaris saja bisa merasakan kesedihan Namie secara mendalam, jika saja gadis itu tidak mengalihkan wajah darinya. Seseorang di sampingnya itu mungkin sadar kalau Rin sedang mengorek tentang suasana hatinya melalui tatapan. Namie pikir, tidak ada seorang pun yang perlu tahu tentang hal abstrak itu. Cukup hadir di dekatnya dan membuatnya nyaman adalah satu-satunya hal yang ia pedulikan.
“Polisi terkesan menutup kasus penembakan ini. Tapi, aku berusaha menyelidikinya sendiri semampuku. Ternyata, orang yang menembak kita adalah sama,” ujar Rin.
Segera setelah perkataan Rin selesai, Namie menatap temannya itu lagi. Kali ini, sorot matanya sudah berbeda, terlihat baik-baik saja. “Ayahku juga sudah tidak memikirkan kasus itu lagi. Ia seakan-akan sudah tahu dalang di baliknya.” Ia mengangkat tangan kanannya, lantas mengacungkan jari tengah serta telunjuknya, kemudian memberikan isyarat tanda kutip. “Sekarang ia “memersiapkanku” untuk melawan. Ia menyuruhku membawa pistol saat keluar rumah.”
“Apa ayahmu punya musuh?” selidik Rin.
“Ya, tapi lebih tepatnya, ada yang ingin membalas dendam pada keluargaku. Sayangnya, ayah terkesan merahasiakannya. Sikapnya yang aneh justru membuatku curiga,” papar Namie. Ia menundukkan kepala dan mengaitkan jemari-jemarinya. Sejujurnya, ia merasa bersalah pada Rin. Karenanya, ia malu untuk menatap teman sekelasnya itu.
Rin akan menanggapi perkataan Namie, akan tetapi, temannya yang tomboy itu keburu menyela perkataannya. “Maaf, aku sudah melibatkanmu dalam bahaya. Setelah ini, kau tidak harus menjadi temanku,” ucapnya seraya meraih tangan pemuda konyol itu, menggenggamnya erat, tanpa berniat menatapnya. Saat itu, mata Namie sedang berkaca-kaca. Ia hanya tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang lain. Lagi pula, ia bukan Nisae si cantik yang pantas untuk terlihat menangis. Sedari kecil, ia sudah dididik dengan keras, di mana menangis adalah hal yang sangat dilarang.
“Aku juga tidak harus menuruti kemauanmu, kan?” putus Rin, menatap gadis yang tidak menampakkan wajahnya itu dengan pandangan sinis. Ia lalu lebih mengeratkan genggamannya pada gadis itu. Semakin lama, tangan mungil yang telapaknya terasa kasar itu, menjadi dingin dan bergetar. Membuat hati Rin tidak keruan. Sesak, pedih, dan juga iba bercampur menjadi satu. Ia kontan teringat drama-drama yang menceritakan tentang seorang gadis penyakitan di mana umurnya tidak akan lama lagi. Orang-orang mungkin lebih merasa kasihan pada gadis di cerita itu. Tetapi, Rin menyadari satu hal, jika seseorang yang lemah namun dipaksakan untuk menjadi kuat, ia juga patut dikasihani. Kalau dianalogikan, Rin rasa kalau Namie layaknya kue Senbei[1], terlihat keras, tapi begitu kau jatuhkan sedikit saja, kue itu akan hancur.
Rin melepaskan genggaman tangan Namie lantas berdiri memunggungi gadis yang enggan menunjukkan wajahnya itu. “Ayo, berdirilah di belakangku,” titahnya sambil menutup lubang telinganya dengan telapak tangan. “Sekarang aku tidak bisa begitu mendengar. Jadi, menangislah kalau mau menangis,” lanjutnya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
Sebelum berangkat menemui Namie, Rin iseng-iseng membaca buku Psikologi milik kakaknya. Kemudian, ada semacam tips yang sangat menarik perhatiannya. Kurang lebih isinya seperti ini: Cara ampuh untuk menenangkan seseorang bukanlah dengan menyuruhnya berhenti menangis, yang disertai nasihat-nasihat bijak. Tapi, bersedialah menjadi seseorang yang membuatnya nyaman untuk menumpahkan segala kesedihan. Lagi pula, ia pikir, temannya yang pendiam itu sangat memerlukan sandaran, bukan pesaran yang mengatakan ini-itu. Siapa tahu, dengan begitu, Namie menjadi seseorang yang lebih terbuka.
“Aku mempunyai kembaran, namanya Nisae,” kata Namie seraya mengalihkan kedua tangan Rin. Ia ingin temannya itu mendengar semua keluh kesahnya. Biarlah ia terlihat lemah. Sejujurnya, ia sudah menyerah dengan kepura-puraannya. Bukankah merasa sedih juga sifat alami seseorang?
Jadi, gadis yang membukakanku pintu waktu itu adalah kembarannya? Pantas saja, tapi, batinan Rin terhenti karena merasa ada suatu hal yang janggal. Namun, buru-buru Namie melanjutkan perkataannya—sehingga si Okumura itu tahu kelanjutannya.
“Kami dididik dengan cara yang sangat berbeda. Dia dididik selayaknya seorang anak gadis. Sementara aku, ayah seakan-akan memandangku sebagai anak laki-laki. Apa kau tahu, aku juga ingin sekali berpenampilan seperti perempuan!” ungkap Namie, yang meninggikan kalimat terakhirnya. Rin mengepalkan kedua tangannya erat di samping tubuh. Ia merasa geram dengan ketidakadilan ayah mereka. “Diam-diam aku menggambar desain pakaian perempuan. Tidak ada yang tahu bahkan Nisae sekali pun. Dia seorang gadis yang banyak bicara, kalau dia tahu, dia pasti akan melapor ke ayah kalau aku juga ingin feminim seperti dia.”
“Apa berlatih Wushu juga keinginan ayahmu?” tanya Rin sambil menyetabilkan dirinya yang masih merasa geram. Ia kini justru yang menundukkan wajah. Sementara seseorang di belakangnya menatap punggungnya dengan tegas.
“Iya, dan bukan Wushu saja. Masih banyak jenis bela diri yang aku ikuti. Oleh karena itu, aku sudah menjadi master Karate karena berlatih saat masih berumur tiga tahun,” balas Namie, membuat dada Rin terasa lebih sesak lagi. Bagaimana bisa seorang ayah tidak was-was jika gadis sekecil itu sudah melakukan olahraga keras? Sampai saat ini pun, Rin masih dimanjakan kedua orang tuanya, tidak terbayang bagaimana kasih sayang yang diterimanya saat masih kecil. Dadanya berdesir, merasa sedikit bersalah pada orang tuanya yang sering dimarahi karena begitu menyayanginya. Ia kini sadar, ia adalah salah satu anak di dunia ini yang beruntung. Bahkan, teman sekelasnya itu saja sudah harus merasakan kerasnya pertarungan sedari masa-masa asyiknya bermain.
“Rin,” kata Namie dengan suara yang bergetar. Kini, buliran-buliran bening itu keluar tanpa ampun dari sepasang matanya. Seperti pelampiasan karena terlalu lama ditampung. “Aku merasa sendirian di dunia ini. Ayah selalu memaksakan kehendaknya, ibu tiri yang lebih sayang pada Nisae, dan juga kakak yang begitu membenciku karena katanya sudah takdir. Sementara Nisae, jujur aku iri padanya! Dia sakit, tapi, masih terlihat bahagia karena dimanjakan. Tubuhku yang kata ayah tahan banting, terus saja dipaksa terkena pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan. Lalu, apa bedanya aku dengan Nisae yang sama-sama minum obat?” Namie menghentikan perkataannya yang terbata-bata akibat dadanya yang sesak. Membuatnya lebih leluasa untuk menangis sejadi-jadinya. “Lihatlah isi tasku! Tidak ada bedak, tapi, pistol!” lanjutnya kemudian dengan setengah berteriak.
Embusan angin menjamah tubuh kedua anak SMA itu sesaat setelah perkataan Namie yang klimaks. Perlahan, meresap ke organ sensitif yang merasakan perasaan. Ngilu yang melumpuhkan, tubuh mereka terasa lunglai seperti kehilangan tulang punggung sebagai penyangga. Dengan langkah gontai, Namie mendekat ke teman laki-lakinya itu. Meletakkan kepalanya di pundak Rin, kemudian mencengkeram salah satu lengan pemuda itu.
“Rin, arigatou. Kalau saja malam itu kau tidak meneleponku, peluru itu pasti sudah melubangi kepalaku. Kau memang keberuntunganku,” ucap Namie lirih, namun, masih bisa didengar seseorang yang begitu dekat dengannya itu.
Cukup lama Rin dan Namie bertahan dengan pose seperti itu tanpa berniat mengatakan sepatah kata pun. Lagi pula, Rin pikir, temannya itu sedang merasa begitu nyaman karena akhirnya menemukan sandarannya. Biarlah gadis itu menumpahkan segala kesedihan yang sudah dipendam sebegitu lama dengan merelakan pundaknya basah karena tetes-tetes cairan bening itu.
Rin bergumam panjang. “Boleh aku berbalik?”
“Ah, gomenasai,” kata Namie sesunggukan seraya melepaskan cengkeramannya, lalu mundur beberapa langkah. Ia menatap Rin yang mendekat padanya dengan pandangan malu-malu.
“Kalau kau juga keberuntunganku, berarti kita diharuskan bersama untuk saling menjaga,” Rin member kesimpulan dengan nada yang begitu ramah disertai dengan senyum terbaik. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. “Yosh! Namie-chan, ajari aku bela diri, ya. Kalau perlu, menembak juga,” sambungnya dengan meletakkan kedua tangannya di pundak seseorang di hadapannya. Pun memberikan tatapan bersinar yang memancarkan kesungguhan. Namie hanya mengangguk-angguk, seperti anak kecil yang kehilangan balonnya karena tersangkut di pohon, kemudian datanglah sang kakak yang akan mengambilnya.
“Mulai sekarang, jangan berjuang sendiri. Mari, lakukan bersama-sama,” ajak Rin. Sekali lagi, Namie hanya mengangguk-angguk sebagai persetujuan. Lantas, membuat hati Rin begitu terenyuh saat menatap mata sembab yang penuh dengan harapan baru itu.
Seseorang di balik pohon yang terletak beberapa meter dari tempat Rin dan Namie pun mengambil sapu tangan dari dalam saku celana kainnya. Ia tidak kuasa lagi menahan tangis haru yang sedari tadi membuat hatinya tidak keruan.
Semoga kalian selalu beruntung, batin Hibari. Ia membalikkan tubuh, menyandarkannya pada batang pohon yang lebar itu. Ia berniat memandang langit hitam yang kala itu sedang penuh dengan kerlap-kerlip bintang. Beruntungnya, ia pun menyaksikan salah satu di antaranya jatuh dengan sangat cantik, seperti seorang pelukis yang mengusapkan warna pada kanvasnya. Ia tahu kalau membuat permohonan pada momen seperti itu hanyalah mitos. Akan tetapi, siapa tahu saja akan terkabul. Buru-buru ia mengatupkan kedua tangannya, kemudian membatin apa yang diinginkannya.
Rin yang arah menghadapnya sama seperti Hibari pun tahu akan sebuah fenomena astronomi tersebut. Ia kontan membalik tubuh gadis itu, lalu menyuruhnya untuk membuat sebuah permohonan juga. Tanpa berpikir panjang, mereka pun segera melakukannya.
[1] Makanan ringan khas Jepang yang dibuat dari beras atau tepung serelia yang lain. Biasanya berbentuk bundar, persegi, atau persegi panjang yang pipih. Dimasak dengan cara dipanggang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H