Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Broken Youth [Chapter 4: Hold My Hand]

17 Juli 2016   21:12 Diperbarui: 17 Juli 2016   21:19 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rin melepaskan genggaman tangan Namie lantas berdiri memunggungi gadis yang enggan menunjukkan wajahnya itu. “Ayo, berdirilah di belakangku,” titahnya sambil menutup lubang telinganya dengan telapak tangan. “Sekarang aku tidak bisa begitu mendengar. Jadi, menangislah kalau mau menangis,” lanjutnya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.

Sebelum berangkat menemui Namie, Rin iseng-iseng membaca buku Psikologi milik kakaknya. Kemudian, ada semacam tips yang sangat menarik perhatiannya. Kurang lebih isinya seperti ini: Cara ampuh untuk menenangkan seseorang bukanlah dengan menyuruhnya berhenti menangis, yang disertai nasihat-nasihat bijak. Tapi, bersedialah menjadi seseorang yang membuatnya nyaman untuk menumpahkan segala kesedihan. Lagi pula, ia pikir, temannya yang pendiam itu sangat memerlukan sandaran, bukan pesaran yang mengatakan ini-itu. Siapa tahu, dengan begitu, Namie menjadi seseorang yang lebih terbuka. 

“Aku mempunyai kembaran, namanya Nisae,” kata Namie seraya mengalihkan kedua tangan Rin. Ia ingin temannya itu mendengar semua keluh kesahnya. Biarlah ia terlihat lemah. Sejujurnya, ia sudah menyerah dengan kepura-puraannya. Bukankah merasa sedih juga sifat alami seseorang?

Jadi, gadis yang membukakanku pintu waktu itu adalah kembarannya? Pantas saja, tapi, batinan Rin terhenti karena merasa ada suatu hal yang janggal. Namun, buru-buru Namie melanjutkan perkataannya—sehingga si Okumura itu tahu kelanjutannya.

“Kami dididik dengan cara yang sangat berbeda. Dia dididik selayaknya seorang anak gadis. Sementara aku, ayah seakan-akan memandangku sebagai anak laki-laki. Apa kau tahu, aku juga ingin sekali berpenampilan seperti perempuan!” ungkap Namie, yang meninggikan kalimat terakhirnya. Rin mengepalkan kedua tangannya erat di samping tubuh. Ia merasa geram dengan ketidakadilan ayah mereka. “Diam-diam aku menggambar desain pakaian perempuan. Tidak ada yang tahu bahkan Nisae sekali pun. Dia seorang gadis yang banyak bicara, kalau dia tahu, dia pasti akan melapor ke ayah kalau aku juga ingin feminim seperti dia.”

“Apa berlatih Wushu juga keinginan ayahmu?” tanya Rin sambil menyetabilkan dirinya yang masih merasa geram. Ia kini justru yang menundukkan wajah. Sementara seseorang di belakangnya menatap punggungnya dengan tegas.

“Iya, dan bukan Wushu saja. Masih banyak jenis bela diri yang aku ikuti. Oleh karena itu, aku sudah menjadi master Karate karena berlatih saat masih berumur tiga tahun,” balas Namie, membuat dada Rin terasa lebih sesak lagi. Bagaimana bisa seorang ayah tidak was-was jika gadis sekecil itu sudah melakukan olahraga keras? Sampai saat ini pun, Rin masih dimanjakan kedua orang tuanya, tidak terbayang bagaimana kasih sayang yang diterimanya saat masih kecil. Dadanya berdesir, merasa sedikit bersalah pada orang tuanya yang sering dimarahi karena begitu menyayanginya. Ia kini sadar, ia adalah salah satu anak di dunia ini yang beruntung. Bahkan, teman sekelasnya itu saja sudah harus merasakan kerasnya pertarungan sedari masa-masa asyiknya bermain.

“Rin,” kata Namie dengan suara yang bergetar. Kini, buliran-buliran bening itu keluar tanpa ampun dari sepasang matanya. Seperti pelampiasan karena terlalu lama ditampung. “Aku merasa sendirian di dunia ini. Ayah selalu memaksakan kehendaknya, ibu tiri yang lebih sayang pada Nisae, dan juga kakak yang begitu membenciku karena katanya sudah takdir. Sementara Nisae, jujur aku iri padanya! Dia sakit, tapi, masih terlihat bahagia karena dimanjakan. Tubuhku yang kata ayah tahan banting, terus saja dipaksa terkena pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan. Lalu, apa bedanya aku dengan Nisae yang sama-sama minum obat?” Namie menghentikan perkataannya yang terbata-bata akibat dadanya yang sesak. Membuatnya lebih leluasa untuk menangis sejadi-jadinya. “Lihatlah isi tasku! Tidak ada bedak, tapi, pistol!” lanjutnya kemudian dengan setengah berteriak.

Embusan angin menjamah tubuh kedua anak SMA itu sesaat setelah perkataan Namie yang klimaks. Perlahan, meresap ke organ sensitif yang merasakan perasaan. Ngilu yang melumpuhkan, tubuh mereka terasa lunglai seperti kehilangan tulang punggung sebagai penyangga. Dengan langkah gontai, Namie mendekat ke teman laki-lakinya itu. Meletakkan kepalanya di pundak Rin, kemudian mencengkeram salah satu lengan pemuda itu.

“Rin, arigatou. Kalau saja malam itu kau tidak meneleponku, peluru itu pasti sudah melubangi kepalaku. Kau memang keberuntunganku,” ucap Namie lirih, namun, masih bisa didengar seseorang yang begitu dekat dengannya itu.

Cukup lama Rin dan Namie bertahan dengan pose seperti itu tanpa berniat mengatakan sepatah kata pun. Lagi pula, Rin pikir, temannya itu sedang merasa begitu nyaman karena akhirnya menemukan sandarannya. Biarlah gadis itu menumpahkan segala kesedihan yang sudah dipendam sebegitu lama dengan merelakan pundaknya basah karena tetes-tetes cairan bening itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun