Namie hendak membuka pintu rumah, akan tetapi, ayah memegang pundaknya. Pertanda jika ada sesuatu yang dilupakan putri terakhirnya itu. Ia menoleh, dan mendapati ayahnya mengangsurkan sesuatu yang terbungkus kain putih.
“Bawalah,” perintah ayah tidak terbantah, setelah Namie memandangnya penuh tanda tanya seolah-olah menegaskan jika untuk apa ia membawanya?
Dengan berat hati, Namie menerimanya. Sungguh, ia ingin hidup normal seperti teman-temannya. Bercanda, tertawa lepas, tanpa ada sesuatu yang harus ia waspadai. Ia bahkan bukan putri raja atau presiden, yang harus mempunyai perlindungan tersendiri saat keluar rumah. Ayah mungkin mengkhawatirkannya perihal penembakan padanya malam itu. Namun, ia sendiri sudah tidak ambil pusing. Lagi pula, ia rasa dalang dari penembakan itu sedang memersiapkan rencana lainnya. Tidak mungkin akan melakukan hal yang sama, menembaknya lagi.
Malam ini, Namie dan Rin akan bertemu di Shirokanedai National Park. Di sana, pengunjungnya sangat ramai, apa lagi malam minggu seperti ini. Soal keamanan, adanya securitydan juga CCTV, membuat taman itu mendapatkan predikat aman dari para pengunjung. Lalu, bagi Namie sendiri, apa yang harus ditakutkan jika pergi ke sana sedangkan fasilitas keamanannya sendiri sudah memadai?
***
Rin datang terlebih dahulu dari Namie. Ia sudah mengirim pesan pada temannya itu di mana posisinya sekarang. Kalau tidak, gadis itu akan kesulitan menemukannya, mengingat Shirokanedai National Park cukup luas dan banyak terdapat pepohonan yang tinggi dan berbagai rumput liar. Selain itu, spot yang ia pilih agak gelap dan sepi. Ia memang berniat membicarakan hal pribadi.
“Bagaimana kabarmu, Namie-chan?”
Namie terduduk di ayunan sebelah Rin, mengayunkan kaki, lantas menjawab. “Lumayan,” katanya sambil tersenyum sekadarnya. Setelahnya, tidak ada perbincangan di antara mereka. Bukankah sebelumnya Namie begitu menginginkan pertemuan ini? Seharusnya, akan ada banyak topik pembicaraan yang ia berikan. Apa ia terlalu gengsi untuk berbicara terlebih dahulu? Ia bahkan sekarang terdiam sembari memandang langit—hingga tidak sadar jika Rin memerhatikan tiap lekuk wajahnya.
“Kata dokter, kapan kau bisa melepas penopang tanganmu?”
“Minggu-minggu ini,” jawab Namie. Ia memberikan jeda cukup lama sebelum melanjutkan perkataannya. “Kau tahu, ini sangat menyebalkan!”
Rin tersenyum. Ia merasa bahagia melihat Namie mengeluh, mengingat imej pendiam yang melekat pada gadis itu. “Aku punya kabar gembira untukmu.” Rin mengabarkan. Namie tidak menunjukkan rasa ingin tahunya dengan perkataan, melainkan langsung menatap Rin antusias.