Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Broken Youth [Chapter 4: Hold My Hand]

17 Juli 2016   21:12 Diperbarui: 17 Juli 2016   21:19 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Sebelumnya, aku ingin bertanya, kenapa kau melarangku menjengukmu di rumah atau bahkan menjemputmu?” Rin memasang wajah kesal yang dibumbui sedikit manja.

Mimik Namie kontan berubah kecewa. Teman duduknya itu, rupanya sengaja mengulur-ngulur waktu. Ia mendengus, sejak pertama kali ia melihat Rin malam ini, teman sekelasnya itu tampak lebih serius. Tapi, ternyata sifat konyolnya masih saja ada.

“Aku bosan di rumah, itu saja,” jelas Namie. Rin masih terdiam. Nampak seperti menunggu jawaban lanjutan. Gadis itu pun mengembuskan napas berat. “Taman ini berada di antara rumah kita. Tidakkah lebih baik jika kita langsung bertemu di sini?”

Namie dan Rin belum ada yang berniat bicara. Mereka saling melempar pandangan lekat, nyaris berkedip. Karena gerogi, Namie semakin mengeratkan genggaman tangan kanannya pada pegangan ayunan. Sedangkan Rin, ia menyelami mata gadis pendiam itu dalam. Ia ingin memahami apa yang gadis itu rasakan selama ini. Ia yakin jika kediaman Namie berhubungan dengan rahasia-rahasia yang disembunyikannya—sampai-sampai di waktu-waktu tertentu, teman sekelasnya itu terlihat tertekan.

Rin nyaris saja bisa merasakan kesedihan Namie secara mendalam, jika saja gadis itu tidak mengalihkan wajah darinya. Seseorang di sampingnya itu mungkin sadar kalau Rin sedang mengorek tentang suasana hatinya melalui tatapan. Namie pikir, tidak ada seorang pun yang perlu tahu tentang hal abstrak itu. Cukup hadir di dekatnya dan membuatnya nyaman adalah satu-satunya hal yang ia pedulikan.

“Polisi terkesan menutup kasus penembakan ini. Tapi, aku berusaha menyelidikinya sendiri semampuku. Ternyata, orang yang menembak kita adalah sama,” ujar Rin.

Segera setelah perkataan Rin selesai, Namie menatap temannya itu lagi. Kali ini, sorot matanya sudah berbeda, terlihat baik-baik saja. “Ayahku juga sudah tidak memikirkan kasus itu lagi. Ia seakan-akan sudah tahu dalang di baliknya.” Ia mengangkat tangan kanannya, lantas mengacungkan jari tengah serta telunjuknya, kemudian memberikan isyarat tanda kutip. “Sekarang ia “memersiapkanku” untuk melawan. Ia menyuruhku membawa pistol saat keluar rumah.”

“Apa ayahmu punya musuh?” selidik Rin.

“Ya, tapi lebih tepatnya, ada yang ingin membalas dendam pada keluargaku. Sayangnya, ayah terkesan merahasiakannya. Sikapnya yang aneh justru membuatku curiga,” papar  Namie. Ia menundukkan kepala dan mengaitkan jemari-jemarinya. Sejujurnya, ia merasa bersalah pada Rin. Karenanya, ia malu untuk menatap teman sekelasnya itu.

Rin akan menanggapi perkataan Namie, akan tetapi, temannya yang tomboy itu keburu menyela perkataannya. “Maaf, aku sudah melibatkanmu dalam bahaya. Setelah ini, kau tidak harus menjadi temanku,” ucapnya seraya meraih tangan pemuda konyol itu, menggenggamnya erat, tanpa berniat menatapnya. Saat itu, mata Namie sedang berkaca-kaca. Ia hanya tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang lain. Lagi pula, ia bukan Nisae si cantik yang pantas untuk terlihat menangis. Sedari kecil, ia sudah dididik dengan keras, di mana menangis adalah hal yang sangat dilarang.

“Aku juga tidak harus menuruti kemauanmu, kan?” putus Rin, menatap gadis yang tidak menampakkan wajahnya itu dengan pandangan sinis. Ia lalu lebih mengeratkan genggamannya pada gadis itu. Semakin lama, tangan mungil yang telapaknya terasa kasar itu, menjadi dingin dan bergetar. Membuat hati Rin tidak keruan. Sesak, pedih, dan juga iba bercampur menjadi satu. Ia kontan teringat drama-drama yang menceritakan tentang seorang gadis penyakitan di mana umurnya tidak akan lama lagi. Orang-orang mungkin lebih merasa kasihan pada gadis di cerita itu. Tetapi, Rin menyadari satu hal, jika seseorang yang lemah namun dipaksakan untuk menjadi kuat, ia juga patut dikasihani. Kalau dianalogikan, Rin rasa kalau Namie layaknya kue Senbei[1], terlihat keras, tapi begitu kau jatuhkan sedikit saja, kue itu akan hancur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun