Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Memetik Pelajaran Berharga dari Beberapa Driver Ojek Daring

3 Januari 2025   08:58 Diperbarui: 3 Januari 2025   14:16 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Driver Ojek Daring (Sumber: iStockPhoto/Chainarong Prasertthai via kompas.com)

Ini saya disclaimer dulu sebelumnya. Saya tidak berafiliasi atau meng-endorse atau mempromosikan Maxim dalam tulisan ini. Saya menulis artikel ini hanya untuk berbagi pengalaman saat menggunakan jasa Maxim driver. Saya tidak mendapat keuntungan apa-apa dari Maxim untuk penulisan artikel ini, baik itu keuntungan secara materiel maupun imateriel.

Kebanyakan saya menggunakan jasa Maxim, khususnya Maxim Car bersama dengan saudara perempuan saya, sebut saja Linda dan Dania. Biasanya kami menggunakan jasa Maxim Car saat hendak berangkat dari Samarinda ke Balikpapan atau sebaliknya.

Kami memesan jasa Maxim Car dari rumah Linda di pinggiran kota dan tujuan kami adalah ke titik perhentian bus yang pertama di dekat SMP Negeri 10 Samarinda di Jalan Untung Suropati.

Karena bertiga dan ada travel bag yang kami bawa, kami memakai jasa Maxim Car, karena tarif jasa Maxim lebih murah dibanding memakai jasa GoCar atau GrabCar. Sorry to say.

Dan, seperti ritual pakem yang terus berlangsung, saya didapuk kakak saya, Linda, untuk duduk di depan, di samping driver.

"Kamu aja yang duduk di depan, Ton," kata Linda.

Tentu saja, saya tidak menolak "titah" tersebut, karena ada keuntungan ganda yang saya peroleh dari "posisi" tersebut.

Keuntungan pertama, kedua kaki saya bisa bebas berselonjor tanpa harus terhalang oleh kursi di depan, seperti saat saya duduk di lajur dua. Kedua tungkai kaki leluasa untuk bergerak.

Keuntungan kedua, saya bisa mengobrol dengan driver, meskipun tidak terlalu leluasa karena kedua saudara perempuan mengingatkan untuk tidak terlalu "mengalihkan" fokus driver karena terlalu asyik bercakap-cakap.

Jadi, saat bepergian bersama Linda dan Dania, saya sedikit "mengerem" rasa ingin tahu saya tentang latar belakang driver.

Hingga pada suatu kesempatan, saya harus pergi seorang diri. Tepatnya kesempatan itu terjadi dua minggu yang lalu, hari Kamis, 19 Desember 2024. 

"Ton, tolong kamu berangkat ke Balikpapan ya. Bisa kan sekarang? Charlie masuk rumah sakit. Dia mau dioperasi," pinta Linda pada saya.

Saya pun mengiyakan tanpa berpikir lagi, karena situasi genting dan harus gercep. Gerak Cepat.

Saya segera pulang, mengepak beberapa helai pakaian; celana panjang; pakaian dalam; peralatan mandi seperti sabun, sikat gigi, pasta gigi, sabun wajah, pisau cukur kumis-jenggot; dan tak lupa, laptop, untuk menuntaskan tulisan yang belum selesai dan rencana diunggah di Kompasiana, serta membawa berbagai charger untuk mengisi daya smartphone dan laptop, supaya saya tidak "mati gaya" di Balikpapan.

Setelah memastikan semua "peralatan tempur" lengkap sempurna, saya pun beranjak menggapai smartphone dan membuka aplikasi Maxim. 

Sempat galau antara memilih jasa motor atau mobil, mengingat saya pergi sendiri. Kesannya boros kalau pergi sendiri, tapi memakai mobil. Namun setelah berpikir panjang, ditambah "menimbang" beratnya tas pakaian yang harus diangkut, dengan terpaksa, saya memilih Maxim Car, mobil, karena perjalanan dari rumah ke titik perhentian pertama di dekat SMP 10 tersebut cukup jauh.

Kali ini, tanpa ragu, setelah mobil tiba, saya duduk di muka, di samping pak sopir yang siap bekerja, eeh, kok mirip lagu ya, hehehe.

Anyway, saya duduk di sebelah driver tanpa disuruh untuk pertama kali, kalau tidak salah ingat. Dan seperti biasa, saya bertanya tentang latar belakang kehidupan sang driver.

Jack (nama samaran) sudah menjalani profesi sebagai Maxim driver selama kurang lebih dua tahun. Suka duka berpadu. Ada manis pahit selama menjalani profesi ini.

Cerai dari istri pertama, membangun bahtera keluarga yang baru bersama istri kedua. Tetap membiayai dua anak dari istri pertama, dan hanya berdua saja dengan istri kedua.

Memang hidup tergantung dari setiap insan. Saya tidak terlalu banyak membicarakan kehidupan Jack karena agak sensitif. Dua anaknya berada di luar kota Samarinda, ikut istri pertama.

Percakapan terputus. Saya harus naik bus menuju Balikpapan.

Tentu saja, saya tidak bisa duduk di samping sopir bus, karena memang tidak ada kursi di samping nakhoda kendaraan roda empat tersebut. Lagipula, tak tepat untuk mengajak sopir bus mengobrol. Tanggung jawab beliau dalam mengemudikan bus tidaklah ringan.

Waktu dua jam lebih berada di dalam bus yang melaju. Memang membosankan seperti biasanya. Tidak ada pemandangan yang menggugah mata untuk terus menatap keluar jendela.

Sesampai di Terminal Bus Batu Ampar, Balikpapan, saya berjalan sedikit untuk menuju Alfamart terdekat. Pengalaman meng-order Maxim Car menjadi pelajaran bahwa para driver di Balikpapan, baik itu dari Gojek, Grab, maupun Maxim tidak mau "mencari gara-gara" dengan para sopir angkot. Kebanyakan driver tidak mau menjemput penumpang di terminal bus tersebut. Mereka selalu mengarahkan para konsumen "melipir" ke tempat 'netral' semisal Alfamart, Alfamidi, atau Indomaret. Setelah konsumen sudah tiba di tempat 'netral', baru para driver tersebut akan mendatangi konsumen.

Tapi, herannya, sepanjang kaki melangkah, saya melihat beberapa ojek motor daring yang dengan santainya "ngetem", nongkrong di depan terminal secara terang-terangan. Bahkan ada yang "menawarkan" jasa antaran secara manual.

Saya terus berjalan ke Alfamart tanpa memedulikan tawaran-tawaran tersebut.

Ketika sudah tiba di Alfamart, saya mengakses aplikasi Maxim. Masih ragu dengan keputusan mengambil jasa sepeda motor atau mobil untuk sampai ke rumah orang tua saya. Tapi, melihat tas pakaian dengan isi yang tidak sedikit, saya memutuskan mobil adalah pilihan yang tepat. Lagipula, saya sudah capek. Naik sepeda motor bukan pilihan yang tepat, apalagi di jam pulang kerja, yaitu 16.30 WITA seperti saat itu.

Saya memutuskan untuk memesan Maxim Car. Dan tidak lama, ada yang menyambut pesanan saya.

Seperti biasa, saya menaruh travel bag di kursi belakang dan saya duduk di depan, di sebelah driver. Dan seperti biasa, saya mengajak sang driver untuk mengobrol. 

Kali ini saya berjumpa dengan seorang driver yang terlihat muda, tapi ternyata tidak semuda yang terlihat.

Fandi (bukan nama sebenarnya) adalah seorang perantau dari Makassar, Sulawesi Selatan. Baru setahun di Balikpapan. Sudah berkeluarga. Cerai dari istri pertama dan sudah mempunyai satu anak dari pernikahan tersebut. 

Dari pernikahan kedua, Fandi belum mempunyai anak.

Tidak terlalu banyak percakapan yang terjadi karena pikiran saya masih terdistraksi dengan kondisi Charlie di rumah sakit. Saya masih kepikiran akan apa yang akan saya lakukan setiba di rumah orang tua. 

Mandi, berpakaian ringkas, makan malam, dan langsung ke rumah sakit. 

Ternyata setelah sampai di rumah, ada Heri (nama samaran), kakak laki-laki saya, anak pertama dalam keluarga. 

"Pergi sama-sama aja nanti jam enam," kata Heri.

Rencana tetap berjalan dan kemudahan ada di hadapan.

* * *

Saya hanya empat hari di Balikpapan. Untuk menjelaskan tentang kegiatan selama empat hari di Balikpapan, mungkin saya akan menuliskan artikel khusus secara terpisah (kalau tidak malas menulis dan kalau sempat, hehehe).

Pada hari Senin, 23 Desember 2024, saya berangkat kembali ke Samarinda. Saya sudah membereskan segala pakaian dan peralatan mandi. Saya masukkan ke dalam travel bag.

Saya pastikan tidak ada yang ketinggalan. Laptop, charger, segala "peralatan tempur" untuk bekerja sudah masuk tas.

Sudah siap berangkat. 

Tinggal satu hal yang harus dilakukan. 

Meng-order Maxim Car (kembali) untuk menuju Terminal Bus Batu Ampar.

Satu lagi cerita dari seorang insan yang sering dipandang sebelah mata. Driver ojek online, baik itu menggunakan sepeda motor atau mobil, adalah manusia yang, mungkin kebanyakan dari kita menganggap mereka cuma berpendidikan sebatas SMA ke bawah, tapi pada kenyataan, justru akan membuat kita ternganga saat mendengar kenyataan yang mereka utarakan.

Dalam perjalanan dari rumah orang tua ke Terminal Bus Batu Ampar, Gunadi (bukan nama sebenarnya) menunjukkan bahwa status driver yang saat ini digeluti cuma bersifat sementara. 

Gunadi tidak mau seumur hidup menjadi driver. "Saya kuliah di UT, mas," katanya, sewaktu saya menanyakan tentang aktivitas dia selain nge-Maxim.

"Ngambil jurusan apa, Mas?" tanya saya.

"Manajemen," jawab Gunadi yang tetap fokus ke depan, meskipun sambil ngobrol. Tetap konsentrasi di jalan.

"Yah, memang enak kuliah di Universitas Terbuka. Tetap bisa bekerja. Kerja jalan, kuliah juga jalan," saya menimpali. 

"Iya. Makanya saya pilih UT. Supaya tetap bisa narik. Apalagi saya sudah berkeluarga."

"Oh, sudah nikah? Anak berapa?"

"Baru satu."

"Umur?"

"Baru satu tahun."

"Wah, pasti lagi aktif-aktifnya tuh."

"Iya," hanya satu kata tersebut yang keluar dari mulut Gunadi. Selebihnya, senyuman tipis menghias wajah. Mungkin membayangkan lucunya sang anak dalam hati. 

"Kuliah untuk masa depan ya, Mas?" saya memancing pembicaraan kembali. 

"Iya, Mas. Saya tidak mau jadi driver Maxim terus. Saya mau mendapat pekerjaan yang lebih menjanjikan dari segi jenjang karier, pendapatan, dan terutama saya ingin mempunyai quality time bersama keluarga. Saya kan berjuang untuk mereka. 

"Sekarang waktu saya tersita untuk pekerjaan ini dari pagi sampai sore. Malam saya belajar di rumah. Tapi suatu saat, ketika saya sudah meraih gelar sarjana, saya akan mencari pekerjaan yang menawarkan gaji yang memadai sesuai dengan pendidikan yang saya sudah tempuh," jawab Gunadi.

"Tetap narik untuk dapat tambahan?" tanya saya lagi.

"Yah, belum tahu, Mas. Lihat kondisi nanti," tutup Gunadi, karena saya sudah tiba di bus yang siap berangkat ke Samarinda.

* * *

Setelah bus berhenti di salah satu titik yang mengarah lebih dekat ke rumah di Samarinda, saya turun dan segera memelototi aplikasi Maxim. 

Sempat kegalauan muncul seperti di Balikpapan. Pertimbangan antara memilih Maxim motor atau mobil.

Cuaca panas menyengat memudahkan mengambil keputusan. Mobil. Tidak apa biaya agak sedikit mahal, yang penting bisa menikmati sejuknya air conditioner mobil. Lagipula jarak dari titik tersebut ke rumah juga tidak bisa dibilang dekat. Mungkin lebih dari sepuluh kilometer.

Kali ini, sang driver bisa dikatakan "kembaran" Gunadi yang berkuliah di UT, namun dalam versi yang lebih muda.

Tapi kali ini, Dani (nama samaran) bukan kuliah di UT. Dia kuliah di Politeknik Negeri Samarinda (Polnes). Baru semester satu dan akan beranjak ke semester dua.

Saya lupa program studi (prodi) yang dia ambil. Yang jelas, dia bukan tipikal kebanyakan generasi zaman now yang gemar nongki-nongki di kafe sambil menikmati segelas kopi porsi seuprit dengan harga selangit. 

"Saya gak suka yang begituan, Mas," Dani menjawab waktu saya menanyakan soal nongki dan kopi, "Lebih baik saya kerja narik seperti ini. Kasihan orang tua di kampung. Mereka sudah tua. Saya mau meringankan beban mereka. Paling tidak, saya bisa membiayai kuliah dan membayar indekos dengan hasil keringat saya sendiri."

"Salut saya dengan mas ini. Ngomong-ngomong, ini mobil siapa?"

"Ini mobil bapak saya, tapi gak dipake lagi di kampung. Saya bilang ke bapak, daripada mobilnya nganggur, nanti bakalan cepat rusak. Lebih baik saya pake buat narik di Maxim. Bapak saya bolehkan. Asal kuliahnya tidak terganggu, katanya."

"Semoga kuliah mas lancar jaya dan cepat lulus dengan nilai yang memuaskan," kata saya menutup perbincangan, karena mobil sudah tiba di rumah Samarinda. 

"Amin. Terima kasih, Mas."

* * *

Saya belajar banyak hal dari orang-orang yang bersinggungan, khususnya yang berinteraksi langsung dengan saya. 

Jack, Fandi, Gunadi, dan Dani membuka wawasan saya bahwa kehidupan tergantung pada diri setiap insan. Memang, Tuhan yang mengatur hidup manusia, tapi Tuhan juga memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih kehidupan seperti apa yang sang insan mau. 

Yang jelas, bijak dalam mengarungi kehidupan. Waktu di dunia fana ini singkat adanya. Oleh karena itu, manfaatkan waktu dengan baik demi orang-orang yang kita cintai, dan terutama, demi Dia yang telah menciptakan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun