"Baru satu tahun."
"Wah, pasti lagi aktif-aktifnya tuh."
"Iya," hanya satu kata tersebut yang keluar dari mulut Gunadi. Selebihnya, senyuman tipis menghias wajah. Mungkin membayangkan lucunya sang anak dalam hati.Â
"Kuliah untuk masa depan ya, Mas?" saya memancing pembicaraan kembali.Â
"Iya, Mas. Saya tidak mau jadi driver Maxim terus. Saya mau mendapat pekerjaan yang lebih menjanjikan dari segi jenjang karier, pendapatan, dan terutama saya ingin mempunyai quality time bersama keluarga. Saya kan berjuang untuk mereka.Â
"Sekarang waktu saya tersita untuk pekerjaan ini dari pagi sampai sore. Malam saya belajar di rumah. Tapi suatu saat, ketika saya sudah meraih gelar sarjana, saya akan mencari pekerjaan yang menawarkan gaji yang memadai sesuai dengan pendidikan yang saya sudah tempuh," jawab Gunadi.
"Tetap narik untuk dapat tambahan?" tanya saya lagi.
"Yah, belum tahu, Mas. Lihat kondisi nanti," tutup Gunadi, karena saya sudah tiba di bus yang siap berangkat ke Samarinda.
* * *
Setelah bus berhenti di salah satu titik yang mengarah lebih dekat ke rumah di Samarinda, saya turun dan segera memelototi aplikasi Maxim.Â
Sempat kegalauan muncul seperti di Balikpapan. Pertimbangan antara memilih Maxim motor atau mobil.