"Ton, tolong kamu berangkat ke Balikpapan ya. Bisa kan sekarang? Charlie masuk rumah sakit. Dia mau dioperasi," pinta Linda pada saya.
Saya pun mengiyakan tanpa berpikir lagi, karena situasi genting dan harus gercep. Gerak Cepat.
Saya segera pulang, mengepak beberapa helai pakaian; celana panjang; pakaian dalam; peralatan mandi seperti sabun, sikat gigi, pasta gigi, sabun wajah, pisau cukur kumis-jenggot; dan tak lupa, laptop, untuk menuntaskan tulisan yang belum selesai dan rencana diunggah di Kompasiana, serta membawa berbagai charger untuk mengisi daya smartphone dan laptop, supaya saya tidak "mati gaya" di Balikpapan.
Setelah memastikan semua "peralatan tempur" lengkap sempurna, saya pun beranjak menggapai smartphone dan membuka aplikasi Maxim.Â
Sempat galau antara memilih jasa motor atau mobil, mengingat saya pergi sendiri. Kesannya boros kalau pergi sendiri, tapi memakai mobil. Namun setelah berpikir panjang, ditambah "menimbang" beratnya tas pakaian yang harus diangkut, dengan terpaksa, saya memilih Maxim Car, mobil, karena perjalanan dari rumah ke titik perhentian pertama di dekat SMP 10 tersebut cukup jauh.
Kali ini, tanpa ragu, setelah mobil tiba, saya duduk di muka, di samping pak sopir yang siap bekerja, eeh, kok mirip lagu ya, hehehe.
Anyway, saya duduk di sebelah driver tanpa disuruh untuk pertama kali, kalau tidak salah ingat. Dan seperti biasa, saya bertanya tentang latar belakang kehidupan sang driver.
Jack (nama samaran) sudah menjalani profesi sebagai Maxim driver selama kurang lebih dua tahun. Suka duka berpadu. Ada manis pahit selama menjalani profesi ini.
Cerai dari istri pertama, membangun bahtera keluarga yang baru bersama istri kedua. Tetap membiayai dua anak dari istri pertama, dan hanya berdua saja dengan istri kedua.
Memang hidup tergantung dari setiap insan. Saya tidak terlalu banyak membicarakan kehidupan Jack karena agak sensitif. Dua anaknya berada di luar kota Samarinda, ikut istri pertama.
Percakapan terputus. Saya harus naik bus menuju Balikpapan.