Cuaca panas menyengat memudahkan mengambil keputusan. Mobil. Tidak apa biaya agak sedikit mahal, yang penting bisa menikmati sejuknya air conditioner mobil. Lagipula jarak dari titik tersebut ke rumah juga tidak bisa dibilang dekat. Mungkin lebih dari sepuluh kilometer.
Kali ini, sang driver bisa dikatakan "kembaran" Gunadi yang berkuliah di UT, namun dalam versi yang lebih muda.
Tapi kali ini, Dani (nama samaran) bukan kuliah di UT. Dia kuliah di Politeknik Negeri Samarinda (Polnes). Baru semester satu dan akan beranjak ke semester dua.
Saya lupa program studi (prodi) yang dia ambil. Yang jelas, dia bukan tipikal kebanyakan generasi zaman now yang gemar nongki-nongki di kafe sambil menikmati segelas kopi porsi seuprit dengan harga selangit.Â
"Saya gak suka yang begituan, Mas," Dani menjawab waktu saya menanyakan soal nongki dan kopi, "Lebih baik saya kerja narik seperti ini. Kasihan orang tua di kampung. Mereka sudah tua. Saya mau meringankan beban mereka. Paling tidak, saya bisa membiayai kuliah dan membayar indekos dengan hasil keringat saya sendiri."
"Salut saya dengan mas ini. Ngomong-ngomong, ini mobil siapa?"
"Ini mobil bapak saya, tapi gak dipake lagi di kampung. Saya bilang ke bapak, daripada mobilnya nganggur, nanti bakalan cepat rusak. Lebih baik saya pake buat narik di Maxim. Bapak saya bolehkan. Asal kuliahnya tidak terganggu, katanya."
"Semoga kuliah mas lancar jaya dan cepat lulus dengan nilai yang memuaskan," kata saya menutup perbincangan, karena mobil sudah tiba di rumah Samarinda.Â
"Amin. Terima kasih, Mas."
* * *
Saya belajar banyak hal dari orang-orang yang bersinggungan, khususnya yang berinteraksi langsung dengan saya.Â