"Dia adalah pemain biola yang paling terkenal di Indonesia."
Tentu saja saya terkejut mendengar M, murid les privat saya ini mengatakan hal tersebut.
Saya tidak menyangka. Saya mengira, dengan adanya gambar Wage Rudolf Soepratman yang segede gaban di depan sekolah berarti peserta didik di sekolah tersebut tahu siapa sosok Wage Rudolf Soepratman!
Tentu saja, saya tidak mengadakan survei tentang pengetahuan para peserta didik dimana M bersekolah. Mungkin saja ada yang tahu tentang pencipta lagu "Indonesia Raya" ini. Pasti ada beberapa peserta didik yang tahu.
Namun ada satu pertanyaan besar di benak saya.
Seberapa banyak peserta didik yang tahu?
Tentu saja, yang saya maksud, bukan hanya di sekolah dimana M bersekolah, namun juga peserta didik di sekolah-sekolah lain. Berapa banyak yang tahu tentang Wage Rudolf Soepratman?
Kejadian dengan M ini terjadi beberapa tahun yang lalu, ketika covid-19 melanda, dan pembelajaran daring menjadi andalan dalam menjalankan proses belajar mengajar. Ketika itu, dia berstatus pelajar kelas enam SD. Sekarang, saat saya menulis artikel ini, M adalah peserta didik kelas X SMA.
Apakah M masih ingat perihal teguran saya karena asumsinya yang ngawur tentang Wage Rudolf Soepratman? Entahlah. Dan saya ragu apakah M masih ingat kalau saya meluruskan kekeliruan dia akan W.R Soepratman yang berjasa sebagai pencipta lagu "Indonesia Raya" dan bukan sebagai pemain biola yang paling terkenal di Indonesia!
Langkah orang tua dan sekolah dalam menanggulangi "ketidaktahuan" anak
Terlepas dari silang sengkarut dan kasak-kusuk perihal penggantian kurikulum, saya lebih ingin fokus kita mengarah kepada pahlawan di balik lagu nasional yang seperti terpinggirkan.
Kalau bicara masalah hari pahlawan, terkesan pahlawan-pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan, atau yang mengisi kemerdekaan di awal merdeka adalah pahlawan-pahlawan yang sebenarnya. Mungkin itu opini sebagian besar warga, karena saya berpikiran seperti itu di usia dini. Pola pembelajaran mata pelajaran sejarah seperti "mengkultuskan", "mengotak-ngotakkan" kategori pahlawan pada pahlawan yang berjuang di medan pertempuran atau yang mempertahankan kemerdekaan di saat awal merdeka.
Padahal, selain pejuang-pejuang di garis depan, ada juga pahlawan-pahlawan yang bergerak dalam kesenyapan, tapi gaung kebermanfaatan hasil karyanya tetap abadi, bahkan setelah pahlawan-pahlawan tersebut meninggal dunia.
Saya sendiri, sedari SD sampai SMA, sejauh ingatan saya yang rapuh, kebanyakan pendidik di sekolah-sekolah saya sangat jarang atau bisa dikatakan malah tidak pernah membahas pahlawan nasional yang berkecimpung di bidang mencipta lagu nasional.
Bahkan sekelas Wage Rudolf Soepratman yang sangat berjasa menciptakan lagu nasional "Indonesia Raya" yang mana lagu beliau menjadi lagu wajib saat mengibarkan bendera merah putih di setiap sekolah pada upacara di hari Senin pagi, dan terutama ketika pengibaran Sang Saka Merah Putih ketika memperingati Kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 Agustus, nama W.R Soepratman hanya sedikit "menyempil" sebagai tokoh yang menciptakan lagu tersebut di materi pelajaran sejarah Indonesia.
Tidak ada pembahasan tentang biografi, kehidupan beliau, dan proses penciptaan lagu. Begitu minim pembahasan.
Berbeda dengan pahlawan nasional lainnya seperti Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, R.A.Kartini, Ir.Soekarno, dan lain-lain, yang sangat detail penjabaran masa kecil, remaja, dewasa, dan kiprah mereka dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Oleh karena itu, menurut saya, ada 3 (tiga) langkah yang perlu dilakukan orang tua dan sekolah dalam menanggulangi "ketidaktahuan" anak tentang pencipta lagu nasional.
1. Orang tua dan sekolah memberikan edukasi kepada anak tentang lagu-lagu nasional
Mungkin untuk tahap awal, menyanyi adalah langkah yang memang tepat, terutama untuk mengajar peserta didik di usia dini. Terkadang, seni, khususnya seni musik dan seni suara terpinggirkan pada pendidikan formal. Terlihat ada, tapi dalam pelaksanaan tiada.
Saya pernah diprotes oleh seorang rekan guru, I, karena dia menganggap porsi saya dalam meminta peserta didik menyanyikan lagu bahasa Inggris terlalu lama. Saya heran dengan anggapannya yang tidak tahu hal yang sebenarnya. Karena sentimen pribadi, I menyerang "kebijakan" saya dalam mengajar lagu bahasa Inggris. Kejadian ini terjadi beberapa tahun yang lalu dan masih membekas di ingatan saya.
Kalau mengajar anak menyanyi dalam bahasa Inggris saja mendapat protes yang tidak pada tempatnya, bagaimana dengan mengajar peserta didik menyanyikan lagu nasional?
Selama lebih dari 20 tahun mengajar di berbagai sekolah dasar, saya melihat kecenderungan pengertian "belajar" adalah sunyi-senyap-hening-diam. Akibatnya, terkesan belajar jadi terlihat membosankan karena hanya berkutat dengan membaca-menulis-berhitung-menghafal-mengerjakan tugas.Â
Keributan di dalam kelas dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari dan tidak boleh terjadi.
Atau kegiatan proses belajar mengajar yang menimbulkan "kebisingan" akan mengganggu ketenangan belajar kelas-kelas yang lain.
Serius adalah satu kata yang dapat menggambarkan pembelajaran di sekolah formal di Indonesia.
Mau apa pun kurikulumnya, sampai berapa kali kurikulum diganti, sepertinya jiwa proses belajar mengajar di lembaga pendidikan formal, khususnya di lembaga pendidikan negeri alias punya pemerintah, kebanyakan tetap seperti itu.Â
Dan, entah apakah karena itu, bisa dikatakan, saya tidak pernah sekalipun mendengar rekan-rekan guru, khususnya guru kelas, mengajarkan peserta didik untuk menyanyikan lagu-lagu nasional.
Kalau pun hal itu terjadi, biasanya guru-guru kelas mengajarkan lagu-lagu nasional menjelang peringatan hari kemerdekaan di bulan Agustus. Selebihnya, di sebelas bulan lainnya, praktis sunyi senyap seperti di kuburan.Â
Memperkenalkan lagu-lagu nasional kepada peserta didik sudah seharusnya dilakukan sejak usia dini, supaya kejadian "tidak tahu" bisa diminimalisasi. Jangan sampai dagelan "ketidaktahuan" peserta didik zaman now diekspos besar-besaran, seperti kasus sebelumnya dimana hal kecil seperti kepanjangan dari SMP saja tidak tahu (entah benar atau tidak video tersebut).
Telusuri lagu-lagu nasional yang bisa diajarkan kepada peserta didik. Dan sedapat mungkin pendidik menguasai seni musik dan seni olah vokal. Paduan suara tidak bisa berkembang di sekolah karena tidak ada "suara-suara" yang lain, seperti suara dua dan suara tiga.
Susah?
Yah, menurut saya, tidak apa berjerih lelah barang sedikit. Hasilnya akan terbayar kelak setelah terlihat. Kalau cuma suara satu saja, itu bukan paduan suara, tapi seragam suara.
Orang tua juga harus ikut andil dalam mengenalkan lagu-lagu nasional. Kesibukan bekerja dan mengurus rumah tangga tidak bisa dijadikan dalih tidak sempat mendidik anak khususnya yang berkenaan dengan budi pekerti di dalam lagu nasional yang bisa menumbuhkan semangat nasionalisme dan bela negara.
Jangan sampai anak lebih dekat dan lekat dengan lagu-lagu luar dibanding lagu-lagu nasional di bumi pertiwi ini.
2. Orang tua dan sekolah menjelaskan filosofi di balik lirik lagu
Lirik lagu bukan sekadar kata-kata tanpa makna. Ada filosofi, nilai-nilai moral yang terkandung di setiap untaian kata di dalam lagu nasional tersebut.
Sekadar menyanyikan, tataran yang selalu berulang di setiap zaman, dari masa ke masa. Guru hanya menitikberatkan pada menyanyi, tapi lupa (atau malah lalai) untuk menjelaskan hakikat tentang lirik lagu yang menceritakan tentang semangat juang pantang menyerah, akal budi tentang cinta Indonesia, atau hal-hal positif lainnya.
Orang tua dan sekolah harus bahu-membahu mendidik anak secara aktif, bukan sekadar menyanyikan lagu-lagu nasional tersebut, namun juga menanamkan secara sadar nilai-nilai moral yang terkandung di dalam lirik lagu-lagu nasional kepada anak, dengan harapan anak dapat menerapkan nilai-nilai luhur tersebut di dalam kehidupan mereka, mewarnai dunia dengan kebaikan dan kebermanfaatan untuk sesama.
3. Orang tua dan sekolah menceritakan tentang para pencipta lagu nasional tersebut
Ini yang menjadi missing link, mata rantai yang terputus dari pendidikan yang mengacu pada lagu-lagu nasional.
Pendidikan lebih berfokus pada "menyanyikan" daripada turut menggali lebih dalam lagu-lagu nasional tersebut, khususnya para pencipta lagu-lagu nasional yang seakan terpinggirkan dan terlupakan dalam catatan sejarah.
Jangan lupa. Karena lagu "Indonesia Raya", semangat juang para pemuda menjadi bergelora ketika dinyanyikan pertama kali di depan umum di Jakarta pada 28 Oktober 1928, ketika Kongres Pemuda II berlangsung. Dan dalam banyak kasus, lagu-lagu nasional lainnya memberikan warna dan jiwa patriotik dalam diri para anak bangsa di masa-masa sebelum dan awal kemerdekaan.
Sayangnya, pendidikan di bumi pertiwi ini hanya terbatas pada "menyanyikan". Para pencipta lagu nasional hanya tersempil dalam teks lagu setelah judul. Itu pun hanya tertulis dalam huruf kecil.Â
Atau mungkin sekarang lebih parah lagi. Kebanyakan generasi zaman now mungkin sudah tidak tahu beberapa judul lagu nasional, tidak tahu liriknya, tidak tahu bagaimana menyanyikannya, dan kemungkinan besar tidak tahu siapa yang menciptakan lagu-lagu nasional tersebut!
Kiranya para pencipta lagu-lagu nasional tersebut mendapat apresiasi yang seharusnya mereka dapatkan. Sudah seharusnya putra-putri Indonesia saat ini mengenal sosok-sosok yang menciptakan lagu-lagu nasional tersebut.
Orang tua di rumah dan pendidik di sekolah sudah seharusnya menjelaskan tentang biografi singkat pencipta lagu, proses penciptaan, dan kapan mereka menciptakan lagu-lagu nasional tersebut.
Menghargai para pencipta lagu-lagu nasional tidak sebatas menyanyikan lagu-lagu mereka dan mengetahui nama pencipta lagu, namun juga mengetahui kisah hidup mereka dan alasan, latar belakang mengapa mereka menciptakan lagu-lagu nasional tersebut, proses jatuh bangun dalam menciptakan lagu, dan seberapa besar apresiasi pemerintah pada mereka yang berkenaan dengan karya mereka.
Dengan begitu, generasi zaman now dan seterusnya bisa lebih menjiwai saat menyanyikan lagu-lagu nasional tersebut, tidak hanya menyanyikan karena ritual semata dan keharusan menyanyikan menjelang hari besar nasional. Ada penghargaan dan penghayatan dalam setiap helaan napas saat menyanyikannya.
Harapan
Tentu saja, apa yang saya tuangkan dalam artikel ini lebih "bernuansa" masukan. Syukur-syukur kalau tulisan saya ini dibaca oleh pengambil kebijakan di negeri ini.Â
Harapan segebung dalam diri menyeruak, namun hanya beberapa yang tertuang. Namun kalau harus merangkum, harapan terbesar dari berbagai harapan itu termaktub dalam dua harapan.
Pertama, Pemerintah memberikan porsi yang cukup untuk mengapresiasi para pencipta lagu-lagu nasional di dalam kurikulum.Â
Terkadang saya bingung dengan kurikulum Indonesia yang silih berganti, berbarengan dengan pergantian menteri pendidikan, tapi dalam penerapan ya kok gitu-gitu aja. Tidak ada perubahan. Mata pelajaran seabrek, seakan "menyuapi" peserta didik tidak cukup dengan mata pelajaran yang sedikit jumlahnya.Â
Yah, biarlah menteri pendidikan yang baru dilantik yang memikirkan tentang itu. Yang jelas, kiranya pemerintah dapat "menyelipkan" topik pengajaran tentang para pencipta lagu-lagu nasional di dalam kurikulum, supaya generasi muda dan selanjutnya mengenal tokoh-tokoh pencipta lagu nasional.
Kedua, Kiranya pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional pada beberapa pencipta lagu nasional lainnya.
Waktu saya mencari pencipta lagu nasional yang sudah mendapat gelar Pahlawan Nasional dari Negara, saya mendapati, lewat mbah google, ternyata hanya baru 2 (dua) orang yang mendapat anugerah kehormatan tersebut, yaitu Wage Rudolf Soepratman dan Ismail Marzuki. Sampai sekarang, setelah berpuluh-puluh tahun kemudian, pemerintah belum pernah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada para pencipta lagu nasional yang lainnya.Â
Saya tidak tahu bagaimana prosedur pemerintah dalam menetapkan setiap warga negara Indonesia layak memperoleh gelar Pahlawan Nasional, tapi yang jelas, para pencipta lagu nasional tersebut, seperti halnya profesi-profesi lain, layak mendapat apresiasi yang sepantasnya mereka dapatkan, karena mereka sudah berkontribusi, memberikan sumbangsih untuk negara.
Paling tidak, jika terkendala dengan proses penganugerahan gelar, pemerintah dapat memberikan penghargaan, bukan sekadar sertifikat, tapi juga dalam bentuk royalti dan bantuan finansial untuk para pencipta lagu nasional dan keluarganya.
Pahlawan tidak harus berasal dari garis depan
Akhir kata, pahlawan tidak harus berasal dari garis depan pada medan pertempuran. Setiap warga negara Indonesia adalah pahlawan di bidang profesi masing-masing jika bertujuan untuk kebaikan dan kebermanfaatan bagi bangsa dan negara.
Kiranya, lewat artikel sederhana dari orang yang bukan siapa-siapa seperti saya ini, kita bisa menghargai para pencipta lagu nasional. Bukan sekadar tahu lagu mereka, namun juga tahu siapa yang menciptakan lagu-lagu tersebut; mengetahui dan menghayati kisah hidup dan proses penciptaan lagu; serta memberikan penghargaan yang selayaknya dan sepantasnya, baik dalam bentuk materi maupun immateri.
Jangan sampai kasus anak menyebut Wage Rudolf Soepratman sebagai pemain biola paling terkenal di Indonesia terulang kembali di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H