Apalagi ada gabungan kata di dalam pengertian Literasi Keuangan yang sangat mengena dan berkaitan dengan film "Home Sweet Loan".
Gabungan kata tersebut adalah "sumber daya" yang setelah saya telusuri, makna gabungan dua kata ini menurut KBBI adalah:
1. faktor produksi terdiri atas tanah, tenaga kerja, dan modal yang dipakai dalam kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang jasa, serta mendistribusikannya.
2. bahan atau keadaan yang dapat digunakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya.
3. segala sesuatu, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang digunakan untuk mencapai hasil, misalnya peralatan, sediaan, waktu, dan tenaga.
Menimbang tiga pengertian dari "sumber daya", pengertian kedua yang mendekati persoalan yang diangkat dalam film "Home Sweet Loan".
Pendidikan di Indonesia, bisa dikatakan, terlalu terpaku dengan teori, khususnya yang berkaitan dengan Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia. Apakah salah? Tidak salah, namun alangkah baiknya kalau pendidikan literasi keuangan diajarkan juga sejak usia dini. Karena kita bisa melihat, maraknya penipuan lewat daring dan tergiurnya kebanyakan warga akan pinjaman online (pinjol) adalah salah dua dari beberapa blunder rakyat yang masih minim pengetahuan tentang literasi keuangan.
Orang tua sebagai "sekolah perdana", sekolah awal bagi anak, yang harus menanamkan terlebih dahulu pendidikan tentang literasi keuangan pada buah hati mereka.
Ibaratnya, uang tidak jatuh "gedebuk" langsung dari langit begitu saja. Ada proses panjang untuk mendapatkannya. Tapi sayangnya kebanyakan generasi zaman now seperti lupa atau tidak tahu akan proses sukar untuk mendapatkan uang. Ditambah lagi dengan adanya uang elektronik, seperti e-money atau penggunaan yang umum dari berbagai aplikasi mobile dari perbankan memudahkan belanja tanpa uang tunai atau istilahnya cashless.
Anak-anak jadi kecanduan dalam berbelanja, seperti yang dialami oleh beberapa kenalan yang mengeluh kalau anak-anak mereka membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan atau malah terus membeli makanan di luar daripada makan masakan orang tua mereka di rumah.
"Banyak barang yang dibeli yang akhirnya tergeletak begitu saja, entah karena dia bosan dengan itu, rusak, atau tidak seperti yang dia harapkan," kata L, seorang ibu rumah tangga yang bingung dengan anak laki-lakinya, murid SMA kelas X di salah satu SMA swasta di Samarinda, yang keranjingan membeli barang secara online.