Sebenarnya saya tidak ingin memperpanjang poin tiga ini, karena tulisan ini sudah terlalu panjang, tapi saya tidak bisa mengekang diri untuk menceritakan waktu saya masih kuliah dulu.
Waktu itu, saya ingin mandiri, sehingga saya memutuskan untuk indekos. Orang tua, khususnya ibu, sangat menentang keputusan saya. Beliau ingin saya menjaga saudara perempuan saya, kakak perempuan saya, E.
Namun saya sudah bosan diperlakukan sebagai orang yang "numpang". Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa menghidupi diri saya tanpa bantuan dari keluarga.
Meskipun susah pada awalnya, saya berhasil membuktikan pada keluarga besar saya, bahwa segala kebutuhan hidup saya, mulai dari bayar indekos, untuk makan-minum-kebutuhan sehari-hari, bahkan sampai membayar uang kuliah bisa saya penuhi.
Bagaimana saya memenuhi semua itu? Tentu saja saya tidak bisa memenuhi semua itu dengan mengandalkan gaji saya sebagai seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar negeri di Samarinda. Saya punya "keranjang" yang lain. Saya mengajar juga di sebuah kursus bahasa Inggris. Kebetulan saya diterima sebagai instruktur bahasa Inggris di kursus tersebut. Yah, sangat membantu sekali. Apalagi ada juga beberapa les privat setelah itu. Jadi sangat padat jadwal saya.Â
Pagi sampai jam dua siang, saya mengajar di sekolah. Jam 14.30 WITA sampai jam 18.00 WITA, saya kuliah. Pulang sebentar, mandi, makan, dan mengajar di kursus atau les privat dari jam 19.00 WITA sampai jam 21.00 WITA. Esok hari, siklus yang sama berulang.
Bendahara sekolah, P, terkadang mengeluh karena saya tidak mencarinya saat gajian tiba. Berbeda dengan pegawai honorer lainnya, saya malah harus dicarinya.
"Susah betul nyari kamu, Ton. Emangnya kamu gak perlu duit lagi?" keluh P.
"Bukan begitu, Bu. Saya membiarkan yang lain ambil duluan. Saya gak enak kalau menyela. Lagian saya juga ada pemasukan dari les dan kursus. Jadi ada back-up. Bukan bermaksud sombong ya, Bu," kata saya.Â
Dari pengalaman tersebut semakin menguatkan saya kalau seandainya ada banyak "keranjang", maka semakin banyak "telur" yang dihasilkan. Semakin banyak sumber pendapatan, semakin cepat kita bisa mewujudkan impian.
Harapan
Semoga BCA tidak berhenti pada film ini, tapi juga mensponsori pembuatan film-film berikutnya tentang literasi keuangan di kemudian hari. Bank-bank lainnya hendaknya juga memproduksi film-film dengan topik literasi keuangan, karena film adalah salah satu media yang efektif dalam mengedukasi warga akan pentingnya literasi keuangan demi kesejahteraan keluarga pada khususnya dan demi tercapainya Indonesia Emas 2045 pada umumnya.