Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kapan Pemerintah Menghargai Waktu Warganya?

22 Oktober 2024   14:06 Diperbarui: 22 Oktober 2024   14:14 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Shutterstock via kompas.com)

Pelayanan di Indonesia sudah mendarah daging lambatnya. Sepertinya pemerintah tidak pernah belajar. Warga menjadi korban dari pelayanan publik yang amburadul dan tidak jelas alur prosesnya.

Kalau tidak terpaksa, saya juga tidak bakalan mau berurusan dengan instansi pemerintah, semisal kelurahan, kecamatan, dan lain sebagainya, karena pengalaman doeloe sudah menyakitkan dan membuat kapok.

Tapi, kali ini, terpaksa saya menemani kakak perempuan saya, L, untuk berurusan dengan instansi pemerintah. 

"Ton, tolong temani aku ke BPJS Ketenagakerjaan ya. Kamu bisanya kapan? Yang kamu lowong aja harinya," tanya L pada saya saat ketemu di suatu pagi, ketika saya jogging.

Saya mengatakan kalau pekerjaan saya fleksibel aja jadwalnya, sehingga bisa kapan saja. 

"Pagi ini juga bisa," kata saya.

"Wah, gak bisa aku. Ada paketnya M datang hari ini...," respon L cepat. 

Karena saat itu hari Kamis, dan esoknya Jumat, hari yang pendek. Jelas tidak mungkin mengurus Jaminan Hari Tua (JHT) di hari Jumat yang "pendek" jadwal operasional BPJS Ketenagakerjaan. 

Sabtu jelas tutup layanannya. Minggu juga tutup.

"Ya, udah, Senin aja," kata saya cepat.

"Oke, Senin," L setuju.

Senin, 14 Oktober 2024. Sepakat berangkat ke kantor BPJS Ketenagakerjaan Samarinda demi mengurus JHT.

Senin, 14 Oktober 2024

"Ton, jam 9 ya. Mudahan ga hujan. Kalo hujan jam 10. Tks," begitu bunyi WA L di pagi itu, Senin, 14 Oktober 2024.

Ah, jengkel kalau sudah berurusan dengan instansi pemerintah dengan situasi hujan di perjalanan. 

Untungnya, hujan cuma gerimis kecil. Meskipun begitu, biarpun hujan tidak deras, tetap membuat basah jaket yang kami kenakan. Faktor jarak yang jauh menjadi penyebab. Kami menempuh sekitar sepuluh kilometer dari rumah ke kantor BPJS Ketenagakerjaan.

Rasa jengkel dalam diri, tapi mau bilang apa lagi? Sebenarnya saya tidak ada urusan di BPJS Ketenagakerjaan, tapi karena saudara perempuan saya membutuhkan kehadiran saya untuk menemaninya ke sana, saya tidak bisa berkata 'tidak'!

Perjalanan seakan tak pernah berakhir. Tiba di kantor BPJS Ketenagakerjaan, "journey" masih belum tuntas. 

Waktu menunjukkan pukul 09.20 WITA di jam tangan saya sewaktu sampai di gedung BPJS Ketenagakerjaan.

Memasuki ruangan, rasa sejuk angin Air Conditioner (AC) sejenak mengusir kegusaran.

Ya, hanya sejenak, karena setelah itu hanya ada kejengkelan, karena pelayanan yang lama dan tidak jelas kemana kami bisa mengadu.

Ada mesin pengambil nomor antrean di sebelah kiri pintu, tapi tidak ada petugas di situ. L ingin langsung menekan tombol di layar tablet, tapi saya mencegahnya. "Kita tanya security dulu," kata saya.

Security sedang sibuk melayani beberapa warga. Setelah tiba giliran kami, sang security malah mengarahkan kami ke luar, "Ibu ke luar, ke bagian sebelah kiri gedung, dan temui seorang yang berbaju hijau di situ. Di sini sudah penuh antrean, Bu, jadi ibu menunggu di sana sampai dapat panggilan."

L dan saya beranjak ke arah sebelah kiri gedung. Di sana tidaklah sulit mencari sang petugas berbaju hijau, karena beberapa warga mengerubungi sang petugas berbaju hijau dengan name tag PT.Bijak di sebelah kiri atas pakaian.

Sibuk dengan smartphone dan memberikan penjelasan tentang BPJS Ketenagakerjaan. Petugas tersebut menanyakan seputar aplikasi JMO, apakah sudah menginstal atau belum di HP; menanyakan kartu anggota BPJS Ketenagakerjaan; dan segala hal yang berkaitan dengan masa kerja di perusahaan sebelumnya.

L mendapat pertanyaan dan penjelasan yang kurang lebih sama dari sang petugas. Setelah itu, sang petugas memberikan nomor antrean kepada L. "Nanti ibu dipanggil," kata petugas tersebut.

Saya melihat nomor urut di kartu pemberian tersebut. 26. 

Kami pun menunggu. Serasa penantian tiada akhir. 

Lima nomor dipanggil untuk setiap "gelombang", karena kursi di dalam ruangan tidak cukup untuk menampung sekian banyak orang.

"Nomor 21 sampai 25, masuk ke dalam ruangan," kata sang security.

Nah, panggilan sebentar lagi tiba.

Begitu pemikiran saya. 

Eeh, ternyata kami di-prank, karena setelah menunggu dan menunggu entah berapa lama, pada jam 10.45 WITA, sang security meminta maaf karena nomor antrean hanya sampai nomor 25, karena habisnya jam layanan di BPJS Ketenagakerjaan. Saya bingung. Waktu belum menunjukkan pukul 15.30 WITA, tapi jam layanan sudah habis? Haloooo.

Sang security meminta L untuk kembali lagi ke kantor BPJS Ketenagakerjaan pada esok hari, Selasa, 15 Oktober 2024, pada pukul 08.00 WITA.

Hadeeeh.

Menunggu selama lebih dari satu jam dan hasilnya nol besar.

Selasa, 15 Oktober 2024

Seperti kaset rusak, kami kembali ke kantor BPJS Ketenagakerjaan. Kali ini kami tiba jam 08.10 WITA. Agak terlambat dari anjuran waktu, dan orang-orang sudah penuh di ruangan.

Prosedur tetap sama. Security meminta kami untuk menemui petugas berbaju hijau di sebelah gedung BPJS Ketenagakerjaan. Seperti dejavu rasanya.

Sang petugas berbaju hijau memberikan nomor antrean.

Tertera angka 6.

Apakah kali ini akan cepat?

"Panggilan nomor antrean manual enam sampai sepuluh, silakan memasuki ruangan," kata security.

Aaaahhh.

Semoga benar terwujud "kecepatan" pemanggilan dan juga proses penanganannya.

Kenyataan?

Saya terpaksa harus tetap menunggu di luar, karena saya tidak mengurus apa-apa di BPJS Ketenagakerjaan. Hanya menemani L. 

Saya mengira, paling lambat 30 menit menunggu. Ternyata saya salah. 

Customer Service (CS) memanggil L pada jam 12.00 WITA (L mengirim gambar nomor antrean baru ke saya lewat WA, sehingga saya bisa memantau pergerakan antrean lewat pengeras suara). 

Tunggu punya tunggu, L memanggil saya di "ruang tunggu" khusus di luar gedung pada pukul 12.20 WITA.

Saya hanya berpikir wow dengan pelayanan di negeri +62 ini.

Empat jam lebih masa penantian.

Apakah negara maju ada yang memperlakukan warganya seperti ini?

Masukan buat BPJS Ketenagakerjaan

Sebenarnya, bisa dikatakan hampir semua instansi pemerintah lelet di negeri +62 ini. Masukan berikut saya khususkan untuk BPJS Ketenagakerjaan, tapi sebenarnya juga relevan dengan instansi pemerintah yang lain.

Dalam hal ini, saya membatasi masukan ke dalam 5 (lima) masukan saja.

1. Menyediakan cabang pelayanan di berbagai kelurahan dan kecamatan

Melihat kondisi padatnya warga mengurus perihal BPJS Ketenagakerjaan, saya jadi teringat saat doeloe mengurus KTP di Disdukcapil.

Waktu itu ada banyak sekali warga Samarinda dari berbagai kecamatan yang tumplek blek ke Disdukcapil dengan berbagai keperluan.

Anda bisa bayangkan betapa padatnya penduduk di Disdukcapil saat itu, sampai-sampai untuk memasukkan tangan ke lubang loket saja harus rebutan! Saat mau mengeluarkan tangan, tangan kesangkut dan susah keluar dari lubang loket. 

Itu terjadi beberapa tahun yang lalu.

Memang dibandingkan jumlah warga yang berkepentingan di Disdukcapil, jumlah warga di BPJS Ketenagakerjaan belum seberapa, tapi kondisinya sama menurut saya.

Berbagai warga dari berbagai kecamatan datang ke BPJS Ketenagakerjaan untuk mendapatkan hak mereka. Bagaimana seandainya kalau mereka tinggal jauh dari BPJS Ketenagakerjaan? L dan saya saja jauh tinggalnya. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke BPJS Ketenagakerjaan. Jarak 10 kilometer bukanlah jarak yang dekat.

Sudah seharusnya BPJS Ketenagakerjaan "jemput bola". Mendekatkan diri, bukan malah menjauhkan diri dan mempersulit warga.

Menimbang penyebaran kelurahan dan kecamatan yang terbilang lebih merata, kenapa tidak memanfaatkan jumlah instansi-instansi pemerintah ini? Bekerja sama dengan kelurahan dan kecamatan akan bisa menjangkau banyak warga yang mempunyai keperluan dengan BPJS Ketenagakerjaan. 

Sudah saatnya sentralistis dikaji ulang. Desentralisasi seharusnya bisa dilakukan karena sudah ada internet yang memudahkan pekerjaan dan basis data tidak berbentuk fisik saja, namun juga sudah digital, sehingga seharusnya BPJS Ketenagakerjaan bisa bekerja di banyak tempat, bukan malah cenderung terpusat di satu tempat saja.

2. Menyewa atau membangun gedung pelayanan BPJS Ketenagakerjaan yang lebih besar daya tampungnya

Jika tidak memungkinkan melakukan poin pertama, karena berbagai kendala administrasi atau sebab hal-hal lain, bisa juga dengan menyewa atau membangun gedung pelayanan BPJS Ketenagakerjaan yang lebih besar daya tampungnya.

Generasi emas, menuju negara maju, semua itu hanya akan menjadi mimpi selamanya dan tidak akan pernah terwujud jika tidak pernah belajar dari kesalahan.

Saya tidak tahu mengenai evaluasi kinerja pelayanan publik di BPJS Ketenagakerjaan, tapi seharusnya itu juga harus dilakukan demi pemenuhan hak warga. Kalau perlu, memberikan angket tentang kinerja pelayanan publik di BPJS Ketenagakerjaan kepada warga adalah hal yang memang bisa memberikan gambaran apakah mereka (dibaca: BPJS Ketenagakerjaan dan jajarannya) sudah memberikan pelayanan kepada warga dengan cepat, benar, tuntas, dan bertanggung jawab; atau malah jauh dari S.O.P (apakah ada?) yang sudah ditetapkan.

Beberapa warga di dalam dan banyak warga di luar mencerminkan pembedaan yang sangat mencolok. Diskriminasi "waktu datang" seharusnya tidak terjadi. Di mata hukum, setiap warga mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik yang adil. 

Saya rasa, mencontoh bank-bank swasta bisa menjadi acuan bahwa warga adalah gambaran diri kita sendiri. Kalau kita sendiri diperlakukan dengan tidak semestinya, kita tidak akan kembali ke tempat tersebut di waktu mendatang. 

Seharusnya, dari bertahun-tahun melayani warga, sudah ada pemetaan jumlah warga yang mendatangi BPJS Ketenagakerjaan setiap harinya, sehingga bisa memperkirakan kapasitas gedung yang cukup untuk menampung warga yang datang berurusan di BPJS Ketenagakerjaan. 

Dengan adanya perbedaan "kasta" antara warga yang antre di ruang ber-AC di dalam gedung dan warga yang harus 'nrimo" nasib dengan angin cepoi-cepoi di luar ruangan, terkesan BPJS Ketenagakerjaan membiarkan penderitaan warga terus berlanjut dan tidak pernah belajar dari kesalahan.

3. Perlakukan warga sebagai "customer"

"Pelanggan adalah Raja"

Slogan ini sudah jamak dalam dunia bisnis. "Darah" dalam bisnis adalah profit. Profit bisa didapat jika omzet terus datang. Dan pelanggan adalah koentji dari mengalirnya omzet dan profit tersebut.

Memperlakukan warga sebagai "customer" bukan monopoli customer service. Memang, customer service adalah garda terdepan dalam pelayanan publik, namun ada juga faktor-faktor lain yang juga menentukan kenyamanan warga sebagai pelanggan. 

Poin pertama, gedung atau istilahnya "ruang tunggu" adalah hal yang krusial. Bagaimana warga menunggu dilayani adalah faktor penting. Tapi sebelumnya, garda yang paling terdepan adalah security, bagaimana melayani warga sebagai pelanggan saat memasuki ruangan. Terkesan sepele, tapi posisi terdepan adalah koentji bagi kenyamanan warga saat berurusan dengan instansi pemerintah.

Kembali ke ruang tunggu. Sudah seharusnya tidak ada pembedaan ruang tunggu bagi semua warga tanpa terkecuali. Awal datang atau datang belakangan sudah seharusnya mendapat perlakuan yang sama. Setara. Kesan 'tebang pilih' seharusnya tidak terjadi.

Sejauh mata memandang, kebanyakan aparatur sipil negara (ASN), khususnya yang berada dalam ranah melayani warga, seperti kurang memahami cara bertutur kata kepada warga; cara menangani warga dengan ramah dan sopan; atau cara menyelesaikan masalah warga dengan cepat, benar, tuntas, dan bertanggungjawab.

Kesan "elo yang butuh gue" masih sangat kental. Seharusnya, seperti layaknya bisnis, tanpa ada "customer", tidak mungkin instansi dapat tetap eksis dan bertahan.

4. Pangkas "waktu tunggu" warga

Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan

Entah siapa yang memopulerkan kalimat ini, namun saya meyakini kebenarannya.

Sayangnya, negeri +62 seperti tidak bisa lepas dari "menunggu". Dan bicara soal "menunggu" di bumi pertiwi ini seperti hal yang lumrah dan kebanyakan orang menormalisasi hal tersebut, apalagi dengan istilah yang sudah membumi bertahun-tahun dan sepertinya masih berlaku sampai saat ini.

Apa istilah tersebut?

"Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?"

UUD. Ujung-ujungnya Duit yang bermain. KKN pun terjadi. Sampai sekarang.

Tak heran jasa titip (jastip) laris manis tanjung kimpul karena kebanyakan orang tidak mau berurusan dengan instansi pemerintah karena lama, berbelit, dan menjengkelkan.

Herannya, ternyata waktu mata saya memandang, Customer Service (CS) di BPJS Ketenagakerjaan hanya ada 2 (dua) orang. Hal itu diperkuat oleh L, sewaktu menunggu langsung di ruangan.

Seharusnya lebih dari dua. Sedangkan di bank saja lebih dari itu. Bisa lima atau enam. Memang tergantung besarnya bank. Namun dengan banyaknya CS, semakin banyak warga yang tertangani, sehingga waktu tunggu pun menjadi lebih singkat.

Dengan hanya dua CS, hasilnya bagaimana?

Lama.

Satu kata yang selalu melekat kalau berkaitan dengan instansi pemerintah. 

Menangani warga sedapat mungkin harus cepat, tuntas, dan bertanggungjawab.

Apakah itu hanya impian?

Sepertinya masih sebatas impian, karena penerapan di lapangan sangat jauh bertolak belakang.

Empat jam lebih waktu tunggu tidaklah bisa dibanggakan sama sekali. Malah "waktu tunggu" bisa melebar menjadi 24 jam, jika harus kembali esok hari di jam awal buka layanan, 08.00 WITA.

Pertimbangkan asas kemanusiaan dalam hal ini. Pikirkan warga yang bekerja harian dan upah mereka terpaksa harus dipotong atau tidak memperoleh pendapatan karena tidak masuk bekerja. Pikirkan warga yang mungkin bermasalah dengan kesehatan, tapi terpaksa harus mengurus sendiri haknya di BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi harus dua hari berturut-turut kembali ke BPJS Ketenagakerjaan! Berapa kerugian warga dalam hal ini?

Pangkas "waktu tunggu" warga. Hapus stigma "lelet" dan "lola" alias loading lambat di dahi instansi pemerintah. Buat warga sejahtera. Percepat proses pelayanan publik. Dengan demikian warga bisa fokus bekerja, sehat, dan ujung-ujungnya memberikan sumbangsih juga untuk negara pada akhirnya.

Hargai waktu warga. Itu harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

5. Perbaiki pengoperasian aplikasi JMO, supaya lebih memudahkan warga untuk mengurus pemeriksaan atau pencairan dana JHT atau yang lainnya

Berkutat dengan aplikasi.

Itulah awal yang buruk saat bertemu dengan petugas berbaju hijau yang sudah dibahas di awal tulisan ini.

Saya heran dengan berbagai aplikasi dari beberapa instansi pemerintah. Saya tidak tahu banyak tentang keseluruhan aplikasi instansi pemerintah karena saya tidak menginstal semuanya. Hanya beberapa yang saya gunakan, karena berkaitan dengan kehidupan saya. JMO tidak termasuk, karena saya bekerja di sektor informal dan tidak bersinggungan dengan BPJS Ketenagakerjaan, namun kalau mau jujur, sewaktu melihat rating dan ulasan tentang aplikasi JMO di Play Store dan ketika melihat sendiri di BPJS Ketenagakerjaan bagaimana petugas menangani permasalahan warga, terkesan aplikasi ini masih banyak kekurangan dalam sistem pengoperasian.

Edukasi warga dalam pengoperasian aplikasi JMO juga perlu digalakkan supaya warga mandiri dalam memperoleh informasi akan hak mereka yang berkaitan dengan BPJS Ketenagakerjaan. Banyaknya warga yang memenuhi gedung BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan kurang jelasnya informasi pengoperasian aplikasi JMO dan tata kelola berbagai jaminan yang terdapat dalam BPJS Ketenagakerjaan.

Kapan Pemerintah Menghargai Waktu Warganya?

Biarlah masing-masing dari kita terus memantau hari-hari ke depan. Karena dengan bergantinya pemimpin negara, ada segudang harapan dari warga akan kemajuan, kebaikan, dan naiknya kesejahteraan rakyat.

Warga masih diperlakukan sebagai objek, bukan subjek. Apalagi warga biasa seperti saya. Mungkin kritik ini dianggap angin lalu saja dan tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Bagai setitik pasir di pantai. Ibarat sebutir debu. Bagai sebuah jarum di tumpukan jerami.

Sudah saatnya, bukan hanya retorika yang diusung, tapi tindakan nyata yang mengemuka. 

Kapan pemerintah menghargai waktu warganya? 

Biarlah kita membiarkan pemerintah menjawab sendiri, karena merekalah yang tahu kapan tindakan tersebut terealisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun