Saya yakin, kebanyakan insan inginnya bisa bekerja dari rumah, mendapatkan cuan lewat daring, bisa berkumpul dengan keluarga setiap saat dibanding pergi bekerja di luar rumah; tak ingin melewati panas, hujan, dan macet-macetan di jalan; dan tentu saja, ingin punya banyak quality time bersama keluarga.
Apalagi di zaman sekarang, kondisi ekonomi ditengarai melesu dan daya beli masyarakat menurun drastis. Sebaliknya, harga-harga bahan pokok terus melambung, sehingga kebutuhan hidup pun meningkat pula.
Mencari penghasilan tambahan lewat online, syukur-syukur mencapai pendapatan yang 'wah' dari daring (sehingga bisa bekerja dari rumah seperti yang diimpi-impikan) mengemuka.
Sayangnya tidak segampang itu mendulang rezeki dari dunia maya. Tidak semudah scroll-scroll layar smartphone. Kalaupun dapat, hanya recehan, Jauh dari limpahnya cuan.
Fenomena "jalan cepat" menuju sukses, financial freedom, atau istilah-istilah bombastis keuangan lainnya jor-joran digunakan oleh para insan yang mengaku ahli, master, mastah di bidang digital marketing akhir-akhir ini.
Kita bisa lihat secara terang benderang bagaimana melimpahnya iklan-iklan kursus online atau zoom live gratis yang menawarkan kesuksesan "cepat" dalam tempo singkat dalam hitungan hari, minggu, atau bulan yang bertebaran semarak di media sosial.
Saya pribadi mungkin termasuk korban dari iklan-iklan tersebut.
Saya memulai kiprah belajar internet marketing beberapa tahun yang lalu saat HP sejuta umat, Nokia, berkuasa dan jaringan internet belum sekencang sekarang.
Ketika itu, ada seorang perempuan muda yang mengorbit karena keberhasilannya dalam dunia internet marketing. Dia kemudian membuat semacam kursus online yang mengajarkan tentang mencari cuan lewat internet marketing.
Melihat A diwawancara oleh beberapa stasiun televisi swasta nasional saat itu tentang keberhasilannya mendulang rezeki di internet marketing, saya jadi tertarik untuk belajar di kursus online yang A punya.
Saya pun membayar "uang sekolah" kursus tersebut untuk satu tahun keanggotaan.
Kurikulum yang terdapat dalam kursus online A bisa dikatakan sistematis, lengkap, dan sesuai dengan kebutuhan saat itu, yaitu menjual produk digital dan mendapat pemasukan dari adsense blog (seingat saya, hanya dua itu yang menjadi materi pokok).
ClickBank, marketplace produk digital saat itu, yang menjadi dasar menjual produk digital ke warganet dengan target pasar internasional. Waktu itu marketplace Indonesia seperti Ratakan belum ada (sudah bisa membayangkan berapa umur saya sekarang?).
Kursus A mengarahkan untuk mendapatkan penghasilan lewat ClickBank dan Adsense.
Dua tahun saya belajar dan mempraktikkan langkah demi langkah dalam kursus tersebut.
Hasil?
Nol. Zero. Tidak menghasilkan satu rupiah pun.
Saya tidak tahu mau menyalahkan siapa. Saya hanya menyalahkan diri saya sendiri yang terlena sampai dua tahun lebih mengerjakan materi kursus online A yang tidak ada pembaruan kurikulum.
Teknologi berkembang pesat. Otomatis pasti jelas ada perubahan algoritma atau sistem di dalam internet. Jadi selama dua tahun tidak ada perubahan bahan ajar tentu saja patut dipertanyakan.
Saya pun tidak melanjutkan keanggotaan. Cukup dua tahun saya menjalani cara yang tidak "work" pada diri saya.
Keinginan untuk mendapatkan cuan dari internet sempat padam beberapa tahun sampai suatu waktu ada peluang berbisnis online tanpa stok barang dari sosok laki-laki muda di dunia maya, khususnya Facebook.
R seperti menjadi jawaban dari doa saya akan mudahnya berbisnis online hanya bermodal smartphone dan kuota internet.
Citra anak muda yang sukses karena berjualan aksesoris gadget sungguh membuat saya tertarik untuk mengikuti jejaknya.
Dia menawarkan sistem reseller dengan aturan dropship dimana para penjual tidak perlu stok barang. Ibarat makelar yang mempromosikan produk dengan modal foto doang. Setelah mendapat pelanggan, penjual (dalam hal ini disebut dropshipper) akan mengkonfirmasi pesanan ke supplier, dan pada akhirnya supplier mengirim produk ke pembeli.
Kurikulum belajar online-nya pun cukup baik, meskipun saya mendapatkan kesan kalau R menjadikan para dropshipper sebagai 'kelinci percobaan'. Materi belajar yang selalu berganti dan tidak konsisten menjadi indikator tidak jelasnya resep sukses R dalam berbisnis online.
Konsep bisnis Pre-order dimana bergerak di ranah custom case dan aksesoris HP semisal tongsis, powerbank custom, flashdisk custom, dan yang lainnya, meskipun pada akhirnya lini produk unggulan hanya berpusat pada custom case, custom t-shirt, powerbank custom, flashdisk custom, dan photobook.
Sempat ada pembelian pada sekitar dua tahunan, namun setelah itu ada sedikit "perubahan" yang signifikan.
Perubahan pertama menyangkut ketersediaan stok casing hp yang sangat minim, menimbang ketiadaan stok casing hp tipe lama dan juga tidak tersedia stok casing hp keluaran terbaru. HP selalu "terbit" setiap waktu. Sepertinya sebagai supplier, R kelimpungan dengan kondisi 'banyak permintaan' tapi tidak bisa memenuhi karena minimnya stok casing yang dipesan.
Perubahan kedua, Kurikulum yang selalu berubah dalam hitungan bulan. Tidak konsisten dengan program membuat jengkel. Sebagai contoh, awalnya program mencanangkan posting foto produk di media sosial yaitu facebook dan instagram.
Setelah memposting foto produk di facebook dan instagram, baru menyusul posting ke marketplace, seperti Tokopedia dan Bukalapak di saat itu.
Biasanya, para mentor bertanya kepada kami setiap awal minggu yaitu setiap senin pagi tentang tugas-tugas dari kursus online yang kami harus lakukan.
Minggu lalunya posting di media sosial yaitu facebook dan instagram. Tugas di marketplace masih beberapa langkah sesudahnya.
Namun, pada minggu berikut, kurikulum berubah drastis. Marketplace mendahului media sosial.
"Lho, kenapa belum posting di marketplace?" tanya R di grup perpesanan singkat.
Saya merasa aneh dengan pertanyaan R. Apakah R lupa dengan kurikulum yang dia buat terdahulu? Mungkin saja begitu.
Namun sejak saat itu, saya tidak mempunyai rasa hormat pada R. Bagi saya, R hanya memanfaatkan "kepolosan" warganet akan bisnis online. Klaim suksesnya hanya sepihak saja. Apakah benar R sukses seperti yang dia katakan?
Saya meragukan itu.
Perubahan ketiga, keanggotaan yang tidak lagi "selamanya". Ingkar janji. Begitulah kira-kira kalau kita menggunakan istilah untuk perubahan ketiga ini.
Waktu pertama kali launching, R sudah jelas-jelas mengatakan bahwa keanggotaan dalam kelas online yang dia dirikan berlaku seumur hidup, sehingga anggota, member, hanya membayar sekali saja.
Ternyata, cuma dalam waktu sekitar dua tahun, R berubah pikiran. "Menimbang website harus ada maintenance, maka perlu ada registrasi anggota setiap tahun," kata R.
Tentu saja, kebanyakan anggota kecewa dengan kebijakan baru ini. Mudahnya R lupa akan janjinya sendiri.
Banyak anggota yang keluar. Itu asumsi saya karena membaca banyak komentar dari anggota-anggota yang kecewa dan mengatakan bahwa mereka akan keluar dari kelas online R.
Setelah perubahan ketiga, saya mantap dengan pilihan keluar dari kelas online R. Di antara tiga perubahan, perubahan ketiga memang yang paling menohok. Seandainya R menyampaikan dengan baik dan sopan, mungkin para anggota bisa memahami. Sebaliknya, R malah mengeluh tentang mahalnya maintenance website dan kewajiban para anggota yang harus membayar iuran keanggotaan setiap tahun.
Sempat vakum dari bisnis online karena kesibukan mengajar, yang terbaru saat ini, saya "come back" dengan mengikuti e-course. Bukan hanya satu, tapi beberapa, dan dari insan yang sama, sebut saja Ali.
Ali, menelurkan beberapa kursus online seputar mendapat cuan berlimpah melalui digital marketing (dibaca: facebook ads). Yah, Ali sangat piawai mempermainkan emosi siapa saja yang melihat iklannya yang bertebaran dengan semarak di media sosial.
Dan dua kata "Biar Cepat" menjadi daya tarik bagi siapa saja yang ingin cepat menghasilkan (dibaca: cepat kaya) di dunia daring.
"Kita pakai facebook ads. Biar cepat," kata Ali, setelah menyudahi intro di Zoom presentasi
Intinya, Ali menjual produk digital berupa video zoom pembelajaran dengan sistem affiliate.
Dan biar cepat menghasilkan, lagi-lagi, facebook ads menjadi andalan. Mempromosikan video zoom pembelajaran mencari cuan di bidang digital marketing. Ali hanya mengajarkan promosi lewat facebook ads.
E-course demi e-course dihasilkan oleh Ali, tapi menurut saya, tidak ada yang menghasilkan bagi saya. Ali pun tidak maksimal dalam membimbing. Terkesan dia hanya membuat video tutorial yang itu-itu aja lalu ya udah. Gak ada kelanjutan lagi.
Bagaimana dengan warganet?Â
Tentu saja, dari berbagai pengalaman mengikuti kursus daring, saya menarik pelajaran berharga perihal kehati-hatian dalam tindakan sebelum membeli kursus online.
Dalam hal ini, saya menyimpulkan 5 (lima) langkah taktis dalam mempertimbangkan pembelian kursus daring. Selain sebagai upaya mengingatkan diri sendiri supaya tidak gerasa-gerusu mengandalkan emosi dalam menetapkan keputusan untuk membeli, namun kiranya juga bisa menjadi tolok ukur bagi setiap insan sebelum mengambil keputusan membeli produk digital yang terlihat sangat "menggoda" dari penampakan iklan kursus yang begitu heboh menawarkan jalan cepat kaya lewat jalan yang "sederhana" (apakah memang "sederhana" dalam kenyataaannya?).
Lima langkah taktis itu adalah:
1. Lihat rekam jejak sang pembuat kursus daring
Rekam jejak atau track record seseorang menggambarkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Ketiadaan rekam jejak membuat warganet meragukan kompetensi sang pembuat kursus daring.
Sekarang banyak sekali orang yang mengaku master, mastah, atau ahli di bidang digital marketing. Iklan-iklan dari mereka yang mengaku expert tersebut menawarkan kursus daring dengan janji bahwa para murid bisa cepat menghasilkan uang dari digital marketing.
Pertanyaan paling mendasar adalah siapa mereka? Apakah benar mereka sudah meraih penghasilan puluhan bahkan ratusan juta per bulan atau hanya bualan kosong belaka?
Jangan juga langsung percaya dengan podcast para pesohor yang mewawancarai para mastah tersebut. Karena kemungkinan wawancara tersebut adalah endorse, mengiklankan para master, padahal kompetensi para mastah tersebut tidak "seheboh" kenyataannya.
Bukan sekadar melihat, namun juga mencermati dengan kehati-hatian tingkat tinggi akan koar-koar instan menghasilkan dari para mastah tersebut karena latar belakang mereka, rekam jejak mereka mungkin tidak seperti yang mereka katakan.
2. Cermati kurikulum belajarnya
Jangan membeli kucing dalam karung.
Mungkin Anda pernah mendengar atau membaca kalimat sebelumnya. Intinya, dalam membeli sesuatu, apa pun itu, harus mengetahui 'luar-dalam' sepenuhnya.
Cermati kurikulum belajarnya, apakah sesuai kebutuhan Anda atau tidak.
Dan yang paling penting adalah apakah ada update materi secara berkala dan rutin atau tidak; mengingat hampir sebagian besar para mastah tersebut menjanjikan akan ada update rutin materi terbaru pada kursus online.
Kenyataan yang saya alami setelah membeli? Jauh panggang daripada api. Setelah laris, para mastah seperti lupa dengan janji mereka. Mereka seperti lenyap ditelan bumi, hilang dari peredaran website yang menjadi wadah kursus.
Konsultasi gratis dan bebas kapan saja di aplikasi perpesanan singkat seperti WhatsApp (WA) dan telegram hanya pepesan kosong belaka. Terlalu banyak kursus online yang dijual yang pada akhirnya tak satupun yang terpelihara dan tertangani dengan baik.Â
Karena teknologi akan selalu terbarukan setiap saat, setiap detik. Apabila tidak ada kebaruan materi, maka cepat atau lambat, situs atau website. yang memuat materi pembelajaran akan lenyap, entah itu lenyap karena sang mastah tidak memperpanjang sewa domain dan hosting website atau lenyap karena ditinggalkan para membernya.
3. Amati harga kursus
Ada harga, ada rupa.
Pernyataan "harga dan rupa" memang sudah menjadi rahasia umum. Harga mahal dan murah menunjukkan kualitas suatu produk.
Secara pribadi, saya tidak sepenuhnya meyakini perihal harga dan rupa tadi, apalagi kalau menyangkut produk digital. Mahalnya produk digital tidak menjamin tingginya kualitas produk. Murahnya harga produk digital bukan berarti mencerminkan mutu produk yang rendah dan menyedihkan.
Menurut pengamatan dan pengalaman nyata yang saya alami, kebanyakan insan yang mengaku "mastah" atau jago di bidang digital marketing mematok harga yang "terkesan terjangkau" oleh warganet, tapi kualitas produk ternyata hanya semenjana.
Lucunya, setelah laris manis tanjung kimpul (meskipun kualitas menjadi pertanyaan), para mastah tadi menawarkan produk digital lainnya yang mereka klaim sebagai produk premium dengan harga jutaan bahkan sampai puluhan juta rupiah.
Tentu saja, harga kursus menjadi kendala kalau terlalu mahal bagi isi dompet.
Saran untuk Anda dan siapa saja yang ingin membeli kursus online, jangan sampai hanya mengandalkan emosi dalam membeli. Logika juga harus diikutsertakan dalam mengambil keputusan. Murah atau mahal itu tergantung dari tingkat ekonomi seseorang. Mungkin bagi seseorang yang berpenghasilan puluhan juta perbulan, harga produk digital senilai delapan juta rupiah tidak menjadi persoalan. Tapi bagi insan yang berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah, jangankan delapan juta, lima ratus ribu saja sudah terlalu mahal.
Jadi sesuaikan dengan isi dompet dan lihat apakah kebutuhan dasar atau pokok Anda sudah terpenuhi atau belum. Dengan begitu, membeli produk digital atau kursus online harus melihat tingkat urgensi kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan.
Oya, dan yang patut menjadi perhatian khusus juga adalah apakah harga produk digital atau kursus online itu adalah satu kali bayar untuk seterusnya/selamanya (lifetime) atau harus registrasi setiap tahun. Itu harus menjadi pertimbangan.
Apabila janji lifetime diingkari menjadi registrasi setiap tahun, kepercayaan warganet pada sang mastah pun lenyap seketika.
4. Terawang disiplin waktu harian Anda
Terkadang slogan "Biar Cepat " pada iklan-iklan yang menawarkan kursus online dengan tujuan mendapatkan cuan berlimpah harus disikapi dengan kehati-hatian.
Karena menganggap "Saya bisa, pasti Anda juga bisa" adalah sesuatu yang salah kaprah.
Disiplin waktu harian seharusnya juga menjadi pertimbangan, apalagi kalau tuntutan kursus online itu sangat tinggi.
Kalau Anda masih bekerja di sektor yang berbeda dan jam kerja yang menuntut totalitas, tentu saja menyediakan waktu untuk mempelajari materi kursus online menjadi tantangan yang berat.
Kalau tidak disiplin dalam mempelajari kursus online, bagaimana bisa menghasilkan?
5. Telaah logis atau tidaknya pencapaian tujuan
Faktor ketergesaan merebak sejak smartphone muncul. Kemudahan dalam satu genggaman membuat 'seakan' kecepatan adalah lumrah dan normal.
Sayangnya, dalam menggapai apa pun itu, tidak ada yang sebentar, seketika, simsalabim, jalan tol, jalan bebas hambatan, dan segala cara instan lainnya.
Ada proses panjang yang harus dilewati setiap insan. Ada yang (memang) cepat dalam hitungan hari. Ada yang lama, berminggu-minggu, baru terealisasi. Ada yang sampai bertahun-tahun baru terwujud. Ada juga yang sampai tutup usia tetap tidak tercapai. Selain faktor usaha, Tuhan juga turut menentukan.
"Biar Cepat" adalah "janji" yang ditawarkan kebanyakan insan yang mengaku mastah digital marketing.
"Biar cepat, pakai Landing Page...."
"Biar cepat, pakai Facebook Ads...."
"Biar cepat, gabunglah ke komunitas kami...."
Menawarkan jalan memperoleh cuan melimpah demi kesejahteraan hidup tidaklah salah. Yang keliru adalah menyajikan mimpi "proses cepat" seakan tanpa hambatan.
Setiap orang punya "kecepatan" masing-masing. Biarpun menjalankan pola dan metode yang sama, hasil tiap-tiap orang bisa berbeda-beda.
Istilah "kerja cerdas" tidak akan ada hasilnya jika tidak ada "kerja keras". Banyak pakar entah itu di bidang keuangan, kesehatan, olahraga, pendidikan, dan yang lainnya menekankan pada proses dan hasil. Bagaikan dua sisi pada uang logam yang tak terpisahkan. Tidak mungkin ada hasil memuaskan tanpa proses kerja keras berkelanjutan. Demikian juga sebaliknya. Jika proses berjalan dengan setengah-setengah, maka hasilnya juga tidak seperti yang diharapkan.Â
Mungkin Anda pernah mendengar Hukum 10.000 Jam? Yah, sederhananya, seseorang harus menempuh proses perjalanan selama berjam-jam untuk mencapai kesuksesan. Cepat atau lambat tergantung dari upaya setiap insan. Aplikasi atau alat tidak menentukan kecepatan mendapat cuan.
Jadi landing page, facebook ads, komunitas, dan alat-alat lainnya lainnya tidak menjamin keberhasilan seseorang dalam meraup cuan.
"Biar cepat" adalah kata-kata yang menyesatkan, karena seakan proses bisa "diakalin".
Apabila logika tidak masuk di akal dan terkesan "too good to be true", maka "biar cepat" yang menjadi slogan iklan hanya menjadi pendulang rupiah bagi sang mastah.
Jangan mudah tergodaÂ
Pada akhirnya, jangan mudah tergoda dengan bujuk rayu dan kata-kata bombastis "biar cepat" dari beberapa kalangan yang mengaku mastah digital marketing, karena mereka tidak pernah mengutarakan secara gamblang dan terang benderang tentang proses mereka dalam mencapai level mastery-nya.
Menonjolkan hasil, tapi tidak menampakkan rekam jejak proses, adalah seperti "menipu" warganet akan kondisi "kaya mendadak".
Oleh karena itu, berhati-hati sebelum membeli produk digital adalah suatu keharusan. Jangan sampai terbuai dengan janji manis sang mastah, apalagi sampai mendewakan mastah tersebut, karena dia pun sama seperti kita, manusia biasa, yang mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Dan bisa jadi yang mengaku mastah itu adalah penipu, memproklamirkan diri ahli, tapi kenyataannya tidak begitu.
Jadi, waspadalah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H