Budaya membaca dan menulis di Indonesia memang masih rendah. Hal ini berdampak dalam segala sektor, terutama di sektor pendidikan. Namun, garda terdepan dalam bidang pendidikan adalah para pendidik, guru, yang seharusnya mengerti bahwa pusat dari pembelajaran adalah peserta didik, bukan pendidik.
Student-centered, bukan Teacher-centered.
Itulah yang harus menjadi fokus, yaitu keberhasilan peserta didik sebelum, selama, dan setelah proses belajar mengajar. Bukan kesuksesan guru dalam menuntaskan mengajar materi pelajaran.
Hitam di atas putih yang tertuang dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kiranya benar-benar menggambarkan tindakan-tindakan pendidikan untuk " membisakan" peserta didik dalam rangka menguasai bahasa Inggris. Semoga "membisukan" murid dalam proses belajar mengajar tidak terjadi dalam kenyataan.
3. Proses dan hasil sama pentingnya
Terkadang saya mencermati pola pikir kebanyakan warga +62 yang dari masa ke masa hanya melihat kesuksesan pesohor atau pengusaha, namun tidak menelusuri proses jatuh bangun yang dialami.
Tidak ada jalan instan untuk meraih keberhasilan.
Sayangnya, di Indonesia, melihat angka-angka grafik yang menaik dalam bidang pendidikan, seakan menyimpulkan pelaksanaan kurikulum dari hulu ke hilir berhasil secara paripurna, tanpa cacat cela.
Padahal tidak sesempurna yang dilihat. Carut marut masih terjadi. Angka atau persentase "baik" tidak berarti jika proses pelaksanaan masih "berlubang" di sana-sini.
Yah, rupanya spirit Ujian Nasional selama bertahun-tahun pelaksanaan masih belum pudar. Mengagungkan hasil, tapi mengabaikan proses.
Bukan proses mengajar yang menjadi perhatian guru, tapi malah pendidik harus berkutat dengan platform yang justru lebih menyusahkan, melelahkan, dan menyita waktu di luar jam mengajar.
Saya mendengar dari seorang teman, H, guru bahasa Inggris di sebuah SMA Negeri di Samarinda. Dia mengeluh tentang lelahnya kewajiban pendidik zaman now dalam menghadapi platform yang tidak mengerti capeknya manusia.