Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketika Suaramu Tidak Didengar

2 Juni 2024   21:06 Diperbarui: 2 Juni 2024   21:15 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi(SHUTTERSTOCK/ANDREY_Popov via KOMPAS.COM)

Terkadang bayangan sempurna itu hanya ada dalam angan-angan belaka. Realita menggambarkan yang sebaliknya.

Secara pribadi, saya bersyukur kalau Tuhan masih memberikan napas hidup dan kesempatan bagi saya untuk berkarya di bumi.

Berkomunikasi dengan Tuhan lewat doa mudah dilakukan dimana saja dan kapan saja. Berbicara dengan manusia? Meskipun sang insan di hadapan, tetap sukar dilakukan.

Kenapa bisa begitu? Karena ada beberapa penyebab.

Saya berasal dari keluarga besar. Tujuh bersaudara dalam satu keluarga. Dimana posisi saya? Saya adalah si bungsu, anak terakhir dalam keluarga, anak laki-laki yang mengemban misi keluarga setelah dua kakak laki-laki yang lain tidak memperlihatkan hasil seperti yang orangtua harapkan.

Tapi, di balik tumpuan itu, ada kondisi yang menyakitkan hati bahkan sampai saat ini. Rasa sakit itu berupa diri merasa tidak berharga, disepelekan oleh para saudara.

Memang mereka tidak pernah mengatakan kalau mereka "menyepelekan" atau menyebut saya anak manja, dan sebagainya.

Namun dalam perlakuan, mereka memperlakukan saya tidak sebagai orang yang "setara". Setara dalam persepsi saya adalah layak didengarkan pendapatnya.

Apakah semua saudara saya seperti itu? Saya tidak pasti. Yang jelas, lagak laku dan tutur kata mengarah ke satu titik: meremehkan.

Seperti contoh saat berbicara, mengutarakan pendapat. Saya jarang menuntaskan pengutaraan pendapat. Bukan karena ada urusan lain sehingga pembicaraan berhenti. Bukan juga karena ada panggilan telepon yang masuk.

Saya tidak bisa menyelesaikan penyampaian pendapat karena saudara-saudara saya "memotong" pembicaraan saya.

L, kakak perempuan saya, salah seorang di antara saudara-saudara yang getol menyela saat saya bicara, terutama ketika dia tidak setuju dengan pendapat saya.

Karena jengkel dengan perlakuan itu, saya menulis sebuah artikel di Kompasiana berjudul "3 Langkah Efektif untuk Menjadi Pendengar yang Baik", lalu saya mengirimkan tautan tulisan ke WhatsApp L.

"Tolong kau baca ya," pinta saya pada L.

Setelah beberapa hari tidak berkabar, L menelepon, dan dia tidak memotong saat saya berbicara. Ada sesekali memotong, tapi masih dalam batas kenormalan.

Baru kali ini saya merasakan kekuatan dari sebuah tulisan.

Dengan orang-orang di luar keluarga selain memotong, ada hal lain yang mereka lakukan: mata memandang ke arah lain atau sibuk scroll-scroll layar hape.

Terlihat kebanyakan dari kenalan tidak antusias saat mendengarkan perkataan saya.

Asumsi saya, melihat dari kelakuan dan perkataan, mereka memandang "rupa" dan sisi finansial saya.

Yah, mau bagaimana lagi? Memang saya bukan dari kalangan "The Have". Saya bukan dari golongan berpunya. Untuk membeli hal remeh seperti ponsel saja, saya harus berpikir panjang kali lebar, menyesuaikan dengan isi dompet!

Cara suara bisa terdengar

Sindrom inferior sejak usia dini berlanjut sampai menjadi guru sambil kuliah. Minder karena tidak percaya pada kemampuan dan penampilan diri.

Namun, ada satu tindakan kecil yang ternyata, tanpa saya duga, mengubah hidup saya (jadi, jangan sepelekan hal kecil).

Tindakan kecil tersebut adalah membiasakan diri menuliskan buah pikiran di buku kecil yang saya bawa kemana-mana (kecuali saat ke kamar mandi).

Salah satu dosen kami saat itu, S, yang "mengilhami" saya meskipun tidak secara langsung berkaitan.

S membawa sejumlah buku-buku kecil seukuran saku dengan ukuran sekitar 7 x 8 cm, cukup muat di saku kemeja atau kantung celana.

"Ini bapak dan ibu harus bawa kemana pun Anda pergi. Termasuk saat mandi dan 'nabung' di toilet. Khusus yang di toilet, itu sih kalau mau bawa," ujar S menyeringai lebar.

"Bapak dan ibu bisa membacanya di waktu luang, misalnya saat mengantre di ruang tunggu dokter, ketika mengurus perpanjangan STNK, waktu berada dalam urutan nomor pelayanan nasabah di bank, dan lain sebagainya.

"Dalam waktu senggang tersebut, Anda bisa gunakan untuk menghafal kosakata baru yang Anda tulis di buku kecil ini. Dengan begitu, perbendaharaan kata Anda jadi bertambah. Sayang kalau Anda menghabiskan waktu kosong tersebut dengan sekadar menunggu, melamun, atau malah bergosip," kata S. Waktu peristiwa tersebut terjadi, kinerja gawai dan internet belum sebaik sekarang.

Dari buku kecil ini, saya tergerak untuk melakukan lebih lagi. Alih-alih hanya membawa buku kecil karya S, saya membuat satu buku kecil yang saya buat sendiri dari kertas kuarto dan dibalut dengan kertas cover.

Lalu apa isi kertas-kertas kosong di buku kecil buatan saya itu? Nah, itulah tugas saya untuk mengisinya.

Saya menulis di kertas-kertas kosong tersebut. Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Waktu itu saya berpatokan pada perkataan abadi dari seorang filsuf dan politikus ternama di Kerajaan Inggris pada masanya, Francis Bacon.

Beliau mengatakan, "Reading maketh a full man; conference a ready man; and writing an exact man."

Apabila diterjemahkan kata per kata, maka artinya menjadi sebagai berikut: 

Membaca membuat manusia menjadi utuh, konferensi orang yang siap; dan menulis orang yang tepat.

Dalam sebuah buku tentang menulis dalam bahasa Inggris (saya lupa judul buku dan penulisnya), "conference" ditulis "speaking".

Tiga dalam satu. Three in one. Tiga keterampilan yang sangat vital dalam berbahasa (minus listening, mendengar, yang seharusnya juga masuk hitungan).

Terlepas dari ketidakhadiran listening di daftar tersebut, saya melihat aspek writing yang ditempatkan terakhir dalam four language skills, tapi menjadi yang paling tinggi dalam pencapaian.

"Tepat", tingkatan kecermatan tertinggi dibanding mendengarkan, berbicara, dan membaca. Menulis adalah keterampilan yang paling susah untuk dicapai dibanding tiga keterampilan sebelumnya.

Pada awalnya, niat saya hanya untuk membiasakan menulis setiap hari. Kapan saja, dimana saja. Melatih keterampilan menulis, khususnya menulis dalam bahasa Inggris.

Namun lambat laun, saya menikmati menulis, saya menyukai proses menulis. Tidak ada yang memotong atau menginterupsi. Saya bisa menulis apa saja. Tanpa batasan.

Sayangnya, buku-buku kecil tersebut hilang saat pindahan rumah beberapa kali. Dan yang paling mengesalkan, buah pikiran semasa aktif-aktifnya sebagai pemuda lenyap begitu saja. Tulisan-tulisan itu lebih berharga, lebih mahal dibanding harga bahan buku-buku kecil itu.

Yah, tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur.

Namun tahun-tahun berikutnya muncul media sosial dan blog yang menjadi wadah "curhatan" banyak warganet. Saya pun termasuk salah satunya yang memanfaatkan media-media tersebut, meskipun tidak seaktif netizen yang lain.

Sampai pada suatu momen, tanpa sengaja, saya menemukan Kompasiana di salah satu deretan pilihan di kompas.com.

Rasa penasaran mendorong saya untuk meng-klik dan voila, ada beragam artikel dengan tampilan yang menarik.

Membaca satu demi satu artikel, lama kelamaan saya "kecanduan" menyimak tulisan-tulisan yang lain.

Sebatas membaca. Pada saat itu saya tidak tahu kalau setiap warganet bisa menuangkan tulisan di Kompasiana. Bukan cuma wartawan Kompas dan orang-orang terkemuka atau yang ahli di bidangnya.

Setelah mengetahui bahwa setiap orang, tanpa memandang status dan kedudukan, dapat menuliskan karya tulis di K, saya pun mulai menuangkan, atau lebih tepatnya "menumpahkan" segala apa yang mengganjal di hati atau segala ide yang berseliweran di kepala.

Sebelumnya, menulis di blog gratisan seperti blogspot dan wordpress adalah kenikmatan pada awalnya. Namun kalau tidak dibagikan di media sosial, tidak banyak yang membaca. Meskipun dibagikan di medsos, bukan jaminan akan banyak yang membaca.

Di K, ada kemungkinan beberapa pembaca menyimak tulisan. Apalagi kalau mendapat label Artikel Utama. Saat itu terjadi, banyak pembaca melihat dan mengomentari tulisan.

Saya merasa "suara" saya didengar. Saya merasa orang-orang menghargai pendapat saya. Penghargaan dan Didengarkan yang saya jarang dapatkan dalam keluarga besar.

Dulu saya belum berani membagikan tautan artikel di K ke WhatsApp Group (WAG) Keluarga. Meskipun sudah mendapat label Artikel Utama sekalipun, saya tidak pernah membagikan tautan artikel ke WAG keluarga.

Sampai pada suatu saat, di suatu peristiwa, saya terpaksa harus memberitahu bahwa saya memenangkan kompetisi menulis di Kompasiana.

Memang, pandangan keluarga besar masih terlihat "meremehkan" tapi tidak seperti pandangan pertama. Mereka mulai menghargai pendapat saya meskipun tidak sepenuhnya mereka terima dan terapkan.

Sekarang, saya tidak terlalu banyak mengutarakan pendapat secara lisan, karena saya melihat kebanyakan orang yang saya ajak bicara tidak terlalu suka membaca. Otomatis, imbas minim membaca, mereka tidak sabar mendengarkan pendapat panjang kali lebar dari orang lain. Apalagi kalau pendapat tersebut tidak mereka setujui.

Alih-alih secara lisan, saya "menyuarakan" pendapat lewat tulisan. Perkara ada yang membaca atau tidak, semua itu tidak menjadi soal. Yang penting, "suara" saya sudah berkumandang.

Ketika suaramu tidak didengar

Ketika suaramu tidak didengar, maka menulislah! Tidak mesti menulis di Kompasiana. Banyak media bisa menampung "suara" kita. Media sosial, seperti Facebook, X (eks Twitter), dan Instagram adalah salah tiga diantaranya. Blog-blog gratisan seperti blogspot dan wordpress bisa juga menjadi wadah menuangkan "suara".

Apa pun pilihan Anda, menulislah setiap hari. Tumpahkan suara Anda. Edit sesudahnya. Setelah beberapa kali memeriksa (saya mempunyai standar revisi minimal tiga kali), Anda bisa menayangkan di media luring (kalau dewan redaksi media tersebut menganggap karya Anda layak muat) atau daring.

Dengan begitu, banyak warga bisa "mendengarkan suara" Anda lewat tulisan bernas Anda.

Tidak percaya diri dengan hasil tulisan? Setiap orang selalu merasa tulisannya jelek pada mulanya. Saya pun dulu juga begitu. Saya merasa tulisan saya buruk sekali waktu itu. Namun setelah sudah sering menulis, Saya merasa tulisan saya semakin bertambah baik dari segi diksi dan alur penulisan.

Practice makes perfect. Makin banyak menulis akan menghasilkan tulisan yang semakin baik dan enak dibaca. Tentu saja, harus dibarengi dengan membaca yang banyak supaya bejibun juga perbendaharaan kata yang dipunya dalam diri.

Pada akhirnya, meskipun sekarang video-video mulai dari durasi panjang berjam-jam sampai hanya berdurasi beberapa detik marak di YouTube, Facebook, Instagram, TikTok, dan berbagai media serupa; dan tentunya digandrungi kebanyakan warga +62, tetap saja menulis sangatlah penting dalam kehidupan dan lebih abadi, serta lebih mendalam. Tentu saja, ini murni subjektivitas saya dalam memilih preferensi menulis sebagai corong "menyuarakan" isi kepala dan hati saya.

Ketika suaramu tidak didengar, menulis bisa menggantikan peran "suara" dalam bentuk tulisan. Dengan begitu, terlihat jelas pemaparan dan tidak akan ada kesalahpahaman jika membaca tulisan sampai tuntas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun