Terkadang ada berbagai hal unik yang terjadi di dalam kehidupan. Satu hal berikut sungguh di luar nalar dan saya belum pernah mengalami, bahkan belum pernah mendengar kasus berikut sebelumnya. Baru kali ini saya menemui hal aneh ini.
Seorang kenalan, L, yang berdomisili di Jakarta mempunyai suami yang "aneh"
Sang suami, P, memaksa L menghabiskan air rebusan daun pepaya untuk mengobati kanker rahim yang sedang dideritanya.
"P nyuruh aku minum sampai habis...," keluh L pada saya.
Itu baru satu hal
Hal lain yang menambah keheranan saya adalah P bahkan membuat video TikTok tentang manfaat meminum air rebusan daun pepaya tersebut dengan modal "Diyakini" dan "Katanya".
Dalam tiga bulan terakhir ini, ternyata terkuak kelakuan P.
Ternyata P sangat percaya pada video-video YouTube dan sumber-sumber dari internet.
Beberapa minggu yang lalu, P meminta tolong pada saya untuk menerjemahkan suatu fail yang berisi sebuah jurnal ilmiah tentang kanker.
"Ton, tolong terjemahkan ke bahasa Indonesia ya. Kalau kamu ada waktu. Kalau sudah selesai, bisa kamu kasihkan ke L juga, supaya dia baca," kata P.
Saya mengiyakan, tapi dalam hati, merasa aneh dengan permintaan P.
Keanehan pertama, P mengambil sumber yang tidak jelas siapa penulisnya dan latar belakangnya. Menelan "bulat-bulat" apa yang ditemui di dunia maya adalah kecerobohan yang fatal.
Keanehan kedua, tahun penerbitan jurnal ilmiah ini adalah 2010. Rentang waktu 14 tahun yang sangat lama! Sejauh saya ketahui, tiga tahun usia maksimal jurnal masih menjadi pertimbangan. Kalau 14 tahun usia jurnal, sudah kedaluwarsa dan mungkin tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Saya mengabaikan saja jurnal dari P. Selain saya sibuk dengan pekerjaan, saya pikir ya buat apa terjemahkan informasi yang sudah 14 tahun berlalu? Informasi khususnya tentang kanker akan usang karena sudah 14 tahun berselang. Kalau bicara untuk mengobati, informasi tersebut sudah ketinggalan 'roket'.
Parahnya lagi, P mau L berobat secara alami lewat cara herbal. Selain air rebusan daun pepaya, disinyalir ada lagi upaya P supaya kanker dalam tubuh L musnah sampai ke akar-akarnya. Tentu saja, sekali lagi, secara herbal.
"P tidak setuju L berobat ke dokter. Dia ngeluh capek ngantar berobat. Antrenya panjang, katanya. Dia sudah gak kuat," koarnya.
"Padahal sudah ditanggung BPJS. Masih ngomel-ngomel. Udah gitu, pelitnya minta ampun! Dia..."
Celetukan I terus berlanjut dan saya hanya sebatas mendengarkan saja. P begini dan begitu. Sebagai kakak ipar, I tidak terlalu mengumbar kejelekan sikap P. Hanya yang aneh yang berhubungan dengan pengobatan kanker L. Sifat-sifat, kelakuan yang aneh dari P yang menjadi bahasan.
Bagi Anda
Ini akan menjadi masukan bagi siapa saja yang membaca tulisan receh saya ini, khususnya masukan buat P (kalau merasa) dan warga +62 dalam menghadapi penyakit kronis, entah itu dirinya sendiri, pasangan, maupun anggota keluarga lainnya.
Ada tiga masukan:
1. Lihat latar belakang dan kredibilitas sumber dari internet
Melimpah ruah berbagai informasi di internet mengubah cara warga +62 dalam mencari info atau pengetahuan yang mereka butuhkan.
Kalau di zaman doeloe, media cetak (buku, majalah, tabloid) dan media elektronik (radio, televisi) menjadi sumber informasi dan terbatas adanya; berbeda dengan zaman now yang seakan semuanya serba ada.
Mau cari cara membuat empek-empek yang maknyus? Tinggal searching di Google. Hasil berupa artikel cara membuat empek empek teryahud sampai video YouTube tentang pembuatan empek-empek terheboh tersaji di depan mata, terserah mau pilih yang mana.
Mau tanya tentang cara memperbaiki sepeda motor? Semudah membalikkan telapak tangan. Tinggal tanya Mbah Google.
Tapi di sisi lain, ada persoalan yang menganga lebar.
Menelan bulat-bulat informasi yang terhidang di dunia maya sebagai kebenaran yang absolut adalah persoalan besar yang bukan main-main. Kebanyakan orang yang saya kenal, herannya, percaya penuh pada informasi yang mereka peroleh dari internet.
Sudah seharusnya sikap "awas" berada dalam diri. Semua orang bisa menyuarakan isi otaknya saat ini. Kita harus hati-hati dalam mencerna segala hal yang berada di dunia maya. Tidak boleh menerima seratus persen, tapi juga tidak boleh menolak begitu saja.
Kita harus melihat latar belakang dan kredibilitas sumber dari internet.
Seperti halnya P yang mungkin memercayai jurnal ilmiah yang dia temui di internet sebagai kebenaran. Entah apakah dia tidak tahu menahu tentang tingkat legalitas informasi di internet. Entah karena isi jurnal sesuai dengan jalan pikirannya. Sepertinya alasan kedua yang dia pilih karena dia ngotot menyatakan isi jurnal itu benar.
Secara pribadi, saya tidak membaca sepenuhnya jurnal yang P kirim karena saya merasa tidak perlu untuk menerjemahkan. Selain karena perkara tahun publisitas yang 14 tahun lalu sehingga saya meragukan relevansi jurnal untuk masa sekarang, saya juga tidak tahu siapa penulis jurnal tersebut.
Nama penulis dan tempat bekerja memang tertera, tapi keraguan dalam hati tidak bisa hilang.
Apakah benar orang ini seorang ilmuwan dan bekerja di situ?
Ini menjadi pertanyaan besar. Apalagi penulis jurnal ini orang luar. Bukan orang Indonesia.
Ibarat kata, memercayai jurnal tersebut seperti "berjudi". Bisa benar, bisa juga salah.
Makanya profil penulis jurnal atau status media sosial, dan latar belakang pembuat video YouTube adalah hal vital bagi warganet. Pastikan membaca jurnal, artikel, status media sosial, dan video YouTube dari orang-orang yang berkompeten di bidangnya, apalagi kalau menyangkut kesehatan.
Salah memercayai sumber yang tidak kredibel, nyawa taruhannya.
Bagi saya pribadi, buku tetaplah sumber referensi terbaik. Meskipun begitu, tetap saja, bukan persoalan penerbit mana yang menerbitkan buku tersebut, tetapi siapa penulisnya. Apakah penulis tersebut mempunyai rekam jejak yang baik dan sesuai dengan spesialisasinya atau tidak.
Ingat, peribahasa yang berbunyi 'jangan beli kucing dalam karung!'.
2. Cermati sejauh mana berbahayanya penyakit dan pilih metode berobat terampuh
Dalam kasus-kasus penyakit tertentu, berbagai pertimbangan memang berkecamuk dalam hati.
Tergantung seberapa berat kasus penyakit. Semakin berbahaya penyakit; penanganan pengobatan akan semakin ribet, lama, membosankan, dan membutuhkan biaya besar.
Herannya, P malah menyarankan supaya L berobat secara alami saja. Herbal.
Padahal istrinya mengidap penyakit kanker. Penyakit yang berbahaya dan mematikan.Â
Bagaimana bisa P berkata, "Tidak bisa, aku gak tahan lagi," kata-kata yang meluncur deras keluar setelah seharian menemani L, sang istri, untuk menjalani kemoterapi dan radiasi di rumah sakit. Baru terapi pertama. Bukan dia yang mengalami, tapi istri, namun lagak lagunya seakan P mengalami siksaan berat.
Memaksa L meminum air rebusan daun pepaya sampai tak tersisa setitik pun untuk mengobati kanker.
Membahas berulang-ulang tentang jurnal Ilmiah kepada L karena ternyata tidak ada kabar perkembangan penerjemahan dari saya. Rupanya P menerjemahkan sendiri lewat Google Translate.
Percaya pada "Diyakini" dan "Katanya". Rapuhnya berpegang pada dua kata tersebut.
Tentu saja, adalah hal yang mengherankan, di zaman teknologi di luar nalar, di saat penanganan kesehatan sudah sangat maju, P malah masih berpikiran cupet dan tidak melihat situasi.
Penyakit sang istri, kanker, bukan penyakit biasa, Bukan flu, batuk, pilek, dan sebangsanya. Kanker tidak bisa ditangani dengan obat-obat biasa dari toko obat atau apotek terdekat.
Berpacu dengan waktu. Begitulah kondisi setiap penyintas kanker. Setiap detik sangat berharga. Penanganan segera harus terselenggara. Tidak bisa menggunakan cara yang biasa. Jangan bermain-main dengan nyawa.
Pengobatan alami atau herbal memang baik, tapi membutuhkan waktu yang lama untuk memberikan manfaat. Bagi penyintas kanker, mereka tidak punya banyak waktu. Maut sudah mengintai di depan pintu.
Metode berobat terampuh, cepat, dan tepercaya. Itulah yang seharusnya menjadi pilihan. Memercayai "Diyakini" dan "Katanya" seperti mencederai rasa kemanusiaan.
3. Berkonsultasi langsung pada ahlinya
Masih sambungan dari poin dua; metode berobat terampuh, cepat, dan tepercaya tetaplah berada pada figur dokter.
Bukan mendewakan dokter, namun kita harus melihat dari sisi keahlian dokter di bidang kesehatan, Bukan memercayai dukun, "orang pintar", paranormal, atau malah berpegang pada "Diyakini" dan "Katanya".
Tentu saja, memilih dokter yang berkompeten di spesialisasinya adalah suatu keharusan, apalagi kalau menyangkut penyakit mematikan seperti kanker.
Kalau sudah menemukan dokter yang tepat, dengarkan apa kata sang dokter. Berkonsultasi dengan ahlinya akan membuka cakrawala berpikir dalam menangani pengobatan kanker, baik untuk diri sendiri maupun untuk pasangan atau anggota keluarga.
Anehnya, dalam kasus L, P tidak ikut hadir menemani L saat berkonsultasi dengan dokter. Adik L, E yang menemani.
Makanya, P tidak tahu menahu soal pengobatan pada penyintas kanker. Yang ada, P malah sok tahu soal pengobatan kanker dan dia tidak percaya sedikit pun akan perkataan E yang menjelaskan hasil konsultasi dengan dokter.
Sudah seharusnya pasangan, baik itu suami maupun istri berkonsultasi langsung pada ahlinya, yaitu dokter. Jangan sampai lepas tangan dan memikirkan diri sendiri.
Jangan salah berpegang
Pada akhirnya, di era Informasi yang sangat membeludak saat ini, kepala harus tetap bijak dalam memilih informasi yang akurat dan terpercaya.
Sortir dan pilih yang benar, aktual, dan tepercaya. Biar bagaimanapun, kita harus melihat siapa narasumber dan rekam jejaknya. Jangan sampai memercayai hoaks atau berita bohong.Â
Buku bisa menjadi acuan, namun apabila menyangkut nyawa yang terancam, dokter adalah pilihan yang terbaik, Berkonsultasi pada ahlinya untuk memberantas penyakit yang mematikan.
Berpegang pada "Diyakini" dan "Katanya"? Sangat rapuh, salah-salah nyawa bisa "terjatuh".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H