Membahas berulang-ulang tentang jurnal Ilmiah kepada L karena ternyata tidak ada kabar perkembangan penerjemahan dari saya. Rupanya P menerjemahkan sendiri lewat Google Translate.
Percaya pada "Diyakini" dan "Katanya". Rapuhnya berpegang pada dua kata tersebut.
Tentu saja, adalah hal yang mengherankan, di zaman teknologi di luar nalar, di saat penanganan kesehatan sudah sangat maju, P malah masih berpikiran cupet dan tidak melihat situasi.
Penyakit sang istri, kanker, bukan penyakit biasa, Bukan flu, batuk, pilek, dan sebangsanya. Kanker tidak bisa ditangani dengan obat-obat biasa dari toko obat atau apotek terdekat.
Berpacu dengan waktu. Begitulah kondisi setiap penyintas kanker. Setiap detik sangat berharga. Penanganan segera harus terselenggara. Tidak bisa menggunakan cara yang biasa. Jangan bermain-main dengan nyawa.
Pengobatan alami atau herbal memang baik, tapi membutuhkan waktu yang lama untuk memberikan manfaat. Bagi penyintas kanker, mereka tidak punya banyak waktu. Maut sudah mengintai di depan pintu.
Metode berobat terampuh, cepat, dan tepercaya. Itulah yang seharusnya menjadi pilihan. Memercayai "Diyakini" dan "Katanya" seperti mencederai rasa kemanusiaan.
3. Berkonsultasi langsung pada ahlinya
Masih sambungan dari poin dua; metode berobat terampuh, cepat, dan tepercaya tetaplah berada pada figur dokter.
Bukan mendewakan dokter, namun kita harus melihat dari sisi keahlian dokter di bidang kesehatan, Bukan memercayai dukun, "orang pintar", paranormal, atau malah berpegang pada "Diyakini" dan "Katanya".
Tentu saja, memilih dokter yang berkompeten di spesialisasinya adalah suatu keharusan, apalagi kalau menyangkut penyakit mematikan seperti kanker.
Kalau sudah menemukan dokter yang tepat, dengarkan apa kata sang dokter. Berkonsultasi dengan ahlinya akan membuka cakrawala berpikir dalam menangani pengobatan kanker, baik untuk diri sendiri maupun untuk pasangan atau anggota keluarga.