Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Supervisi Sudah Direkayasa

6 Februari 2021   21:19 Diperbarui: 6 Februari 2021   21:27 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah hampir setahun Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dilaksanakan. Tentu saja, masih ada saja "kegagapan" yang terjadi selama proses belajar mengajar yang tidak lazim.

Selama bertahun-tahun, pembelajaran secara tatap muka menjadi andalan dan tiba-tiba covid-19 merenggut kenyamanan yang sudah terbentuk dalam diri.

Keluhan demi keluhan terlontar, khususnya dari kebanyakan murid dan terutama sekali mayoritas guru.

Akan menjadi panjang kali lebar kalau diceritakan apa saja keluhan-keluhan tersebut di tulisan ini.

Dalam hal ini, bukan itu yang menjadi pembahasan di sini. 

Mungkin bisa dikatakan sebuah kejengkelan melihat dan mendengar apa yang terjadi minggu lalu.

Supervisi sudah direkayasa?

Dua minggu yang lalu, saya mendengar lagi kalau Bu Lidya (bukan nama sebenarnya), guru kelas Robert (nama samaran) harus menghadapi supervisi kembali.

Sebagai guru les dari Robert, siswa kelas enam di salah satu SD swasta di Samarinda, saya mendapati bahwa ini adalah kali kedua Bu Lidya mendapat supervisi. Yang pertama terjadi di tahun lalu, 2020, sekitar awal bulan Oktober kalau tidak salah.

Apa yang saya "dengar" di bulan Oktober 2020 dan Januari 2021 adalah sama saja.

Bu Lidya sudah merekayasa, mempersiapkan segala sesuatu sebelum dirinya disupervisi oleh kepala sekolah dan pengawas.

Dia sudah menyiapkan siapa-siapa saja murid-muridnya yang bertugas berdoa, baik doa pembuka maupun penutup.

Dia juga memberitahu materi ajar apa yang akan dipelajari saat supervisi berlangsung dan "membocorkan" pertanyaan-pertanyaan apa saja yang akan dia lontarkan beserta jawaban-jawabannya.

Yang biasanya PJJ diadakan pada pukul 08.30 WITA atau 09.00 WITA, tapi karena adanya supervisi, PJJ dilaksanakan pada pukul 08.00 WITA dengan kepala sekolah dan pengawas sebagai "tim penilai" kompetensi guru.

Minggu yang lalu, tepatnya hari Kamis, 28 Januari 2021, pukul 08.00 WITA, PJJ lewat Zoom dimulai. Mungkin lebih tepatnya dikatakan sebagai PJJ rasa supervisi, karena proses belajar mengajar sudah di-setting sedemikian rupa, mulai dari awal sampai akhir, dengan menggunakan aplikasi seperti "papan tulis virtual", Bu Lidya menjelaskan tentang Matematika, dengan topik bangun ruang.

Saya tidak melihat layar smartphone Robert ketika PJJ lewat Zoom sedang berlangsung. Saya hanya mendengar PJJ di dapur, karena ibunda Robert meminta saya untuk sarapan terlebih dahulu sambil menunggu Robert selesai PJJ.

Secara pribadi, saya ikut prihatin dengan kondisi supervisi yang sedang berlangsung. Saya jadi teringat dengan ujian Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) dulu dimana saya berusaha semaksimal mungkin mengajar saat itu supaya lulus ujian.

Yang membedakan adalah setelah ujian PPL, saya meninggalkan sekolah dimana saya sudah menjalankan kewajiban PPL dan kembali ke kampus. Kewajiban saya untuk mengajar di sekolah tersebut sudah selesai.

Berbeda dengan guru yang sudah menetap mengajar di salah satu sekolah. Setelah supervisi, dia harus tetap menjaga kualitas mengajar di setiap waktu.

Bu Lidya terlihat menggebu saat menjalani supervisi. Dominasi bicara terbanyak berada di pihaknya. Saya jarang mendengar para muridnya memberikan komentar atau menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Sekitar jam 09.00 WITA, satu jam setelahnya, pengawas mohon diri, pamit mengundurkan diri dari ruang kelas Zoom dengan alasan ada keperluan di tempat lain. 

Tak lama berselang, sekitar sepuluh menit kemudian, kepala sekolah juga mohon diri meninggalkan ruangan.

Bu Lidya tetap mengajar sampai jam 09.30 WITA.

Dari awal jam 08.00 WITA sampai selesainya pada pukul 09.30 WITA, kurang lebih sama dengan supervisi yang Bu Lidya hadapi di bulan Oktober 2020.

Pertama, Persiapan yang berlebihan sebelum supervisi. Padahal dalam keseharian, PJJ terkesan membosankan dan seperti layaknya kebanyakan bimbingan belajar (bimbel) yang hanya sekadar membahas soal-soal ujian nasional.

Kedua, Meminta anak untuk proaktif di dalam proses belajar mengajar, tapi pada kenyataan di supervisi (dan juga dalam PJJ sehari-hari), Bu Lidya yang mendominasi berbicara hampir 90 persen selama proses belajar mengajar. "Bosan, ibunya ngomong terus," begitulah Robert memberikan komentar saat saya menanyakan pendapatnya tentang PJJ lewat Zoom rasa supervisi tersebut.

Ketiga, Penyakit kembali lagi, Bu Lidya memberikan banyak PR, mengejar ketuntasan materi dengan penjelasan ala kadarnya tanpa kedalaman pemahaman materi dalam diri peserta didik, baik di saat supervisi maupun tidak.

Supervisi sebelum dan saat pandemi

Bagi saya secara pribadi, supervisi sebelum pandemi dan saat pandemi adalah sama saja di pemandangan saya. Cuma berbeda dalam hal ruang kelas saja.

Sebelum pandemi, supervisi dilakukan di ruang kelas nyata dengan murid-murid yang berada di hadapan, beserta kepala sekolah dan pengawas yang berada di belakang kelas atau di samping meja guru.

Sekarang, saat pandemi, ruang kelas Zoom menjadi primadona. Aplikasi "papan tulis virtual" menjadi satu-satunya media pembelajaran yang digunakan.

Berbeda hanya dari segi ruang kelas, tapi metode penilaian kompetensi dan supervisi guru kelihatan tetap sama. Tidak berubah.

Saran buat Kemendikbud

Sekiranya Kemendikbud membaca tulisan ini, perkenankan saya untuk memberikan saran tentang proses belajar mengajar, supervisi, beserta pernak-perniknya.

Ada tiga saran yang ingin saya berikan.

1. Pemerintah kiranya memberi pelatihan cara mengajar yang efektif di saat pandemi kepada para guru

Metode ceramah masih menjadi andalan dalam proses belajar mengajar di saat pandemi sampai hampir mendekati ulang tahunnya yang ke satu tahun.

PJJ rasa tatap muka nyata dilakukan. Kebanyakan guru yang saya lihat, seperti halnya Bu Lidya, belum bisa move on, tidak berusaha mencoba mencari cara-cara lain yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.

Alih-alih berkreasi dengan metode-metode kekinian yang sesuai dengan keadaan, kebanyakan guru yang saya temui malah mengeluh, menyalahkan pemerintah karena menunda pembelajaran tatap muka, dan berkomentar panjang kali lebar perihal kelelahan yang mereka derita selama menjalani proses mengajar di saat pandemi ini.

Sudah saatnya pemerintah tidak hanya membicarakan soal "hasil" (dibaca: UN diganti dengan asesmen) terus-menerus, tapi proses belajar mengajar juga sama pentingnya.

Apa gunanya hasil gemilang dalam bentuk nilai-nilai rapor yang bagus, tapi sebenarnya jomplang dan tidak menyenangkan dari sudut proses pembelajaran?

Sudah menjadi rahasia umum kalau kebanyakan proses pembelajaran saat ini masih belum lepas dari yang namanya:

  • hafalan
  • mengerjakan segebung tugas dengan kata tanya "menyebutkan"
  • guru bertanya, siswa memilih satu dari empat pilihan jawaban

Format PJJ rasa bimbel demi mempersiapkan peserta didik agar mereka dapat mengerjakan soal ujian dengan lancar dan tepat.

Dengan adanya pelatihan, paling tidak dalam bentuk daring, guru dapat mengembangkan diri dalam hal cara mengajar, supaya tidak monoton dengan metode ceramah terus menerus.

2. Evaluasi dan revisi cara penilaian kompetensi-supervisi guru

Saya tidak tahu apakah ada evaluasi dan revisi perihal penilaian kompetensi-supervisi guru, tapi sejauh saya lihat, sampai detik ini, belum ada perubahan yang signifikan. Penilaian kompetensi dan supervisi guru terlihat sama saja menurut pengamatan saya.

Jangan sampai hanya berkutat pada kelengkapan administrasi pembelajaran (seperti program tahunan, program semester, silabus, rpp, dan lain sebagainya) dan "pengalaman mengajar yang sudah lama" sehingga melupakan esensi hak peserta didik untuk mendapat pendidikan yang sebenarnya.

Jangan sampai terkesan pendidikan berada di menara gading sehingga tidak bisa dimengerti oleh peserta didik.

3. Adakan supervisi "dadakan"

Tidak salah mengadakan supervisi yang terjadwal. Itu benar adanya, tapi akan menjadi tidak benar kalau guru kemudian mengajar secara apa adanya sesudahnya dengan persiapan ala kadarnya.

Setelah dua kali supervisi, saya melihat Bu Lidya kembali dengan gaya mengajar yang lama. Metode ceramah. Buka buku halaman berapa, membahas sekadarnya, memberikan PR kepada peserta didik sesudahnya, dan selebihnya terulang kembali di hari berikutnya.

Gaya seperti ini sama saja dengan gaya kebanyakan guru ketika saya masih mengajar di beberapa sekolah dulu. Ketika menghadapi supervisi, kebanyakan guru mempersiapkan materi ajar dengan maksimal, tapi setelah supervisi, persiapan mengajar menjadi sangat minimal, bahkan tidak ada persiapan sama sekali.

"Semua (materi ajar) sudah ada di sini," kata Pak Hadi (bukan nama sebenarnya), salah seorang rekan guru, sambil menunjuk dahinya dengan jari telunjuk kanan, "Tak perlu persiapan lagi."

Menurut saya, seharusnya ada juga supervisi "dadakan". Tentu saja, dalam hal ini bukan untuk mencari-cari kesalahan guru, tapi untuk menjaga kualitas pengajaran supaya tetap prima dan guru juga harus selalu siap setiap saat, semaksimal mungkin berupaya memberikan yang terbaik demi kemajuan pendidikan anak bangsa.

Untuk PJJ melalui Zoom, guru bisa merekam video terjadinya PJJ dari awal sampai akhir, dan setelah itu diunggah ke YouTube dengan pengaturan unlisted sehingga selain guru, cukup pengawas dan kepala sekolah saja yang bisa melihat video yang sudah diunggah.

Dengan adanya pengawasan tidak langsung seperti itu, guru tidak bisa "main-main" dalam mengajar. Adanya supervisi "dadakan" seperti itu akan membuat guru tetap fokus mengajar semaksimal mungkin karena ada pemantauan secara terus-menerus dan berkelanjutan, bukan hanya sekadar sekali atau dua kali supervisi dalam satu semester.

Jangan mengeluh (lagi)

Jangan mengeluh (lagi).

Kondisi saat ini juga dialami oleh negara-negara lain, bukan hanya oleh negara kita. Tak mudah memutuskan kebijakan di tengah pandemi covid-19. 

Tidak adanya pembelajaran tatap muka adalah langkah yang terpaksa diambil untuk mencegah penularan covid-19. Suka tidak suka, kita harus menghadapi pembelajaran jarak jauh (PJJ). 

Berikan segenap daya dan pikiran demi mencerdaskan anak bangsa. Meskipun corona menghadang, itu tidak akan merintangi kita untuk tetap berkarya dan berjuang demi mewujudkan pendidikan yang berhasil di Indonesia.

Tetap berjuang seraya berdoa. Lakukan sebaik mungkin tugas kita sebagai guru.

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun