Hasil harus maksimal, peserta didik dicecoki oleh bahan pelajaran yang seabrek, dan tugas yang segebung (apalagi di masa pandemi ini).
Apakah kurikulum ini ramah pada peserta didik?
Bukan ramah, tapi marah! Membebani peserta didik sedemikian rupa, sehingga malah menambah stres saat belajar di rumah. Sudah tak bisa bertemu dengan teman, dikasih PR yang banyak lagi!
Harapan saya, kiranya pemerintah sadar dan membuat kurikulum yang ramah pada peserta didik. Hasil penting, tapi proses juga sama pentingnya. Jangan sampai menimbun banyak informasi di benak peserta didik dengan ujian yang hanya berbasis hafalan, tapi ternyata apa yang dimasukkan ke otak hanya "sampah" belaka. Tidak pernah diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Peserta didik bukan gelas yang diisi air, tapi seperti tanah liat yang dibentuk menjadi jambangan bunga yang indah. Salah membentuk, akan hancur berantakan pada akhirnya.
Ketiga - Lingkungan pergaulan
Dengan siapa anak bergaul merupakan hal ketiga yang penting sekali untuk diperhatikan. Lingkungan masyarakat di sekitar rumah mempengaruhi pola pikir anak. Namun yang terlebih berpengaruh lagi adalah dengan siapa anak berteman.
Saya ingat akan suatu kalimat dulu dari seorang guru yang mengajar saya di SMA. Beliau mengatakan, “Berteman dengan penjual parfum, akan ketularan harumnya.”
Saya rasa itu tetap aktual sampai saat ini dan seterusnya. Kalau berteman dengan teman yang baik, kita pun akan ketularan baik. Tapi sebaliknya, kalau kita berteman dengan teman yang tidak sopan, kita pun akan ketularan tidak sopan.
Orangtua dan guru sangat berperanan dalam memberikan pengertian kepada anak, khususnya orangtua, supaya anak tidak masuk dalam pergaulan yang salah.
Tak jarang saya melihat peserta didik saya yang awalnya baik, sopan, dan rajin, berubah menjadi nakal, sering bolos, tidak sopan, dan malas, dikarenakan berteman dengan teman-teman yang nakal dan kurang ajar.