“Sudah lama jadi pengamen, Pak?” tanya Doni, membuka pembicaraan.
“Yah, lumayan, Mas. Baru dua bulan,” kata bapak itu.
“Luar biasa sekali permainan gitar bapak. Saya salut,” Doni memuji.
“Ah, cuma begini permainan saya. Apanya yang bagus, Mas,” Bapak itu merendah.
“Wah, bapak terlalu merendah. Untuk orang dengan kondisi, maaf, tidak bisa melihat, bapak sungguh luar biasa. Untuk orang dengan kondisi mata bisa melihat saja belum tentu bisa main sehebat bapak. Saya sendiri tidak bisa main gitar sebagus bapak, seperti yang bapak mainkan tadi,” kata Doni lagi.
“Mas bisa main gitar?” tanya bapak itu. Ada paras senang di wajah.
“Tidak terlalu, Pak. Cuma bisa memainkan lagu-lagu sederhana saja,” jawab Doni.
“Coba mainkan beberapa,” Bapak itu mengangsurkan gitar ke Doni. Doni menyambutnya.
Doni pun memainkan sebuah lagu yang dia bisa, yaitu “Naik-naik ke puncak gunung”, lagu yang dia sudah kuasai waktu duduk di kelas satu SMA dulu.
“Wah, bagus sekali, Mas. Gitu kok bilangnya biasa-biasa aja mainnya," kata Bapak itu memuji.
Dari situlah awal mula keakraban Doni dan Pak Handoko. Doni sampai bela-belain datang ke kamar kos Pak Han, panggilan singkatnya, dengan tujuan sekadar ingin menyaksikan cara Pak Han bermain gitar.