Saya menulis ini sudah atas seizin teman saya, Pak Sandi (bukan nama sebenarnya). Beliau tidak keberatan saya menuangkan percakapan antara beliau dengan saya, asal nama aslinya tidak disebutkan. Begitu juga dengan nama dan tempat-tempat tertentu yang menjadi bahan perbincangan.Â
Saya lumayan akrab dengan teman saya ini, karena dulu sama-sama mengajar bahasa Inggris di SD, meskipun tidak di SD yang sama. Saya mengenal Pak Sandi di suatu seminar tentang pembelajaran bahasa Inggris untuk tingkat SD.Â
Omong punya omong, ternyata saya merasa 'klik' kalau berbicara dengan beliau. Begitu juga sebaliknya.
Sejak itu, kami menjalin pertemanan. Namun, karena kesibukan dalam mengajar, kami jarang melakukan komunikasi. Hanya sesekali menelepon atau mengirim pesan singkat. Menanyakan kabar atau menawarkan les privat kalau ada yang meminta jasa les.Â
2006 sampai 2020. 14 tahun pertemanan. Tapi dari tahun 2013 sampai awal 2019, saya kehilangan nomor hape beliau, karena hape saya rusak, sehingga beberapa nomor hape termasuk nomor hape beliau raib. Terhapus. Karena nomornya tersimpan di memori hape, bukan di kartu simcard.Â
Saya bertemu beliau kembali tanpa sengaja di sebuah pusat perbelanjaan di awal tahun lalu, 2019.
"Wah, Pak Anton. Masih ingat saya?"
"Ya, masih, Pak Sandi. Masa konco dilupain. Apa kabarnya, Pak?"
"Baik, Pak. Puji Tuhan. Semua sehat. Saya, istri, anak. Semua baik-baik saja. Kabar bapak bagaimana? Masih ngajar?"
"Masih, Pak."
"Lama gak kontak nih. Sibuk ya, Pak?" tanya Pak Sandi sambil melihat-lihat baju di sekitarnya.Â
"Mau kontak bapak, tapi hape saya rusak. Nomor-nomornya banyak yang hilang," saya pun sesekali membolak-balik baju yang menarik perhatian. Sayang, harganya tidak menarik.Â
"Oh begitu. Iya, memang jengkel kalau hape rusak dan membawa lari nomor kontak konco," Pak Sandi masih melirak-lirik pakaian yang ada di hadapannya. Sepertinya tertarik, tapi setelah itu dia mengurungkan niat. Mungkin karena masalah harga atau sekadar melihat saja.Â
"Sama siapa, Pak?" tanya Pak Sandi, memecah kesunyian.Â
"Sendiri," jawab saya singkat.Â
"Gimana kalau kita singgah ke rumah makan di atas? Kan udah jam makan siang."
"Waduh, jangan makan di sini. Mahal."
"Tenang. Saya yang jadi bosnya. Kan saya yang ngajak," Pak Sandi tersenyum. Seakan mengerti akan keuangan saya yang lagi cekak saat itu.Â
"Beneran nih, Pak? Serius?"Â
"Iya. Serius. Hitung-hitung sebagai balas jasa karena dulu bapak pernah membantu saya dan memberikan murid les ke saya."
Kami pun beranjak ke rumah makan yang dimaksud di rumah makan @nomention. Setelah memesan makanan dan minuman, kami pun ngobrol ngalor-ngidul, mengingat pengalaman ikut seminar dulu dan yang lainnya.Â
Sampai ke topik yang agak sensitif.Â
"Dulu, waktu saya ke sekolah bapak, teman bapak di sana bilang, kalau bapak berhenti mengajar," kata saya.Â
"Ya, Pak."
"Kenapa berhenti, Pak?"
"Saya sudah capek dengan janji-janji pemerintah. Guru honorer akan diangkat nanti, tapi kenyataan tidak seperti itu."
"Hanya gara-gara itu, Pak?"Â
"Sebenarnya ada lagi yang lain. Asal Pak Anton sabar aja. Ceritanya panjang dan sangat tidak menarik."
"Oh, kan kita juga lagi nunggu makanan datang. Pasti menarik kalau Pak Sandi yang cerita."
"Oke," Pak Sandi meneguk es teh manisnya sebentar, lalu berkata, "Saya buta warna, Pak."
"Buta warna? Terus masalahnya dimana, Pak?" tanya saya, masih belum mudeng.Â
"Gini. Ceritanya saya dan salah satu rekan guru di sekolah yang kebetulan juga guru bahasa Inggris katanya akan mendapat tunjangan dari pemerintah. Tunjangan untuk guru non-pns. Salah satu syaratnya yaitu melampirkan surat keterangan sehat.
"Oleh karena itu, saya bilang ke teman saya tersebut untuk sama-sama mengurus surat itu di puskesmas terdekat di @nomention. Nah, waktu dicek tekanan darah dan detak jantung  semua normal, sampai pada saat menjalani tes buta warna, saya mengalami kesulitan, karena kaburnya warna di buku tersebut, jadi saya sukar melihat angka atau huruf apa yang ada di buku itu.
"Jadi saya sebut asal saja. Akhirnya, setelah selesai, dokternya berkata, 'Pak, Pak, gimana mau jadi guru PNS kalau buta warna begini!'"
"Dia bilang begitu, Pak?" Saya heran.
"Iya," jawab Pak Sandi singkat.Â
"Bapak diam saja?" Saya penasaran.Â
"Untuk apa saya ribut? Lagipula saya tidak sendiri. Teman saya itu juga tidak bisa diberikan surat keterangan sehat karena tekanan darahnya sangat rendah. Dokternya menyarankan supaya teman saya itu minum suplemen supaya tekanan darahnya bisa normal kembali. Sarannya besok atau lusa, teman saya itu bisa kembali lagi ke puskesmas untuk periksa lagi."
"Kalau bapak?" tanya saya.Â
"Si dokter bilang dia tidak bisa memberi surat keterangan sehat karena saya buta warna. Surat itu harus disesuaikan dengan tujuannya, yaitu sebagai guru, harus sehat jasmani dan tidak boleh buta warna."
"Begitu dokternya bilang, Pak?" Saya geleng-geleng kepala.Â
"Iya. Dan kepala sekolah tahu soal itu dari teman saya tadi. Beliau mengatakan, 'Sudahlah. Bapak cari pekerjaan lain aja. Karena bapak kan buta warna.'"
"Sebenarnya bapak buta warna atau tidak?" tanya saya lagi.Â
"Saya cek ke puskesmas lain. Diagnosanya saya buta warna parsial, yaitu saya hanya bisa membedakan warna-warna tunggal, seperti merah, kuning, hijau, dan lain-lain. Kalau warna-warna itu ditaruh dalam satu kelompok, saya tidak bisa membedakan."
"Berarti tidak buta warna sepenuhnya kan, Pak?"
"Memang, tapi tetap dianggap tidak memenuhi syarat," jawab Pak Sandi.Â
"Dan kepala sekolah bapak menyuruh bapak resign dan alih profesi? Terlalu banget!" Saya tidak habis pikir, "Kok ada kepala sekolah yang tidak menghargai jasa anak buahnya!"
"Ah, saya sih bisa mengerti, Pak. Dia kepala sekolah baru. Baru setahun menjabat, tapi sudah menimbulkan masalah. Masa teman saya tadi yang baru tiga tahun kerja tapi surat SK Pegawai dibuat tujuh tahun masa kerjanya! Masa sama dengan saya!"
"Lalu bapak diam saja?" tanya saya.Â
"Oh, saya protes ke kepsek. Saya bilang kalau SK teman saya itu berubah waktu dia menjabat sebagai kepsek. Eh, dia malah bilang, SK teman saya itu di zaman kepsek sebelum dia. Dia mengaku tidak tahu menahu.Â
"Sejak itu dia tidak suka dengan saya. Sentimen, meskipun tidak kentara. Dan kelihatan nyata waktu dia tahu masalah buta warna saya."
"Lalu bapak langsung resign saat itu juga?"
"Oh, tidak. Saya kan punya keluarga. Ada istri dan anak. Seandainya saya berhenti, bagaimana menghidupi keluarga? Dua tahun saya bergumul. Mempertimbangkan. Cercaan karena buta warna masih berkumandang. Saya pun berdiskusi dengan istri. Istri saya bilang, 'Ya sudah, Mas. Resign aja. Daripada Mas tidak merasa enjoy kerja di sana. Tuhan akan memberikan rezeki di tempat lain. Bukan hanya dari situ saja.'"
Pak Sandi menyesap sedikit es teh manisnya, lalu melanjutkan lagi, "Saya resign setelah dua tahun merenung. Teman-teman guru sempat membujuk saya untuk mengurungkan niat berhenti. Tapi saya sudah bertekad bulat. Saya berhenti.
"Sekarang saya sudah tenang. Meskipun harus membanting tulang. Pagi menjajakan kue buatan istri dari rumah ke rumah dengan sepeda motor, lalu siang sampai malam, ngajar les privat dan istri buka bimbel calistung di rumah. Capek, tapi tidak sakit hati.Â
"Saya miris melihat kondisi Indonesia saat ini. Saya mendapat perlakuan diskriminasi 'tidak bisa menjadi guru karena buta warna'. Buta warna saja dipersoalkan, apalagi yang buta, tuli, bisu, dan lain-lain. Bagaimana dengan kaum disabilitas lainnya?Â
"Apakah kategori sehat hanya untuk yang lengkap dan sempurna secara fisik? Bagaimana dengan para koruptor? Kenapa tidak ada surat keterangan sehat dari bejatnya moral karena perilaku rakus akan korupsi? Surat keterangan sehat ini mendiskriminasi kalangan yang punya kelemahan dalam hal fisik.Â
"Buta warna, misalnya. Kalau untuk dokter, perawat, tentara, dan polisi, memang wajib bebas dari buta warna. Kalau untuk guru, apakah juga harus seperti itu? Bagaimana dengan seorang tunanetra yang mau menjadi guru? Apakah tidak boleh? Kan dia tidak tahu warna, karena tidak bisa melihat.
"Bapak pernah melihat seorang pengamen yang main gitar di pom bensin?" tiba-tiba Pak Sandi bertanya.Â
"Yang tunanetra itu ya, Pak?"Â
"Rupanya bapak tahu juga ya," Pak Sandi tersenyum.Â
"Ya, kebetulan pernah ada beritanya di koran. Saya juga pernah melihatnya secara langsung waktu mengisi bensin motor di pom @nomention."
"Nah, seandainya Mas pengamen tunanetra tadi mau jadi guru gitar, apa tidak boleh? Padahal dia punya kemampuan gitaran yang hebat. Mata buta tidak menghalanginya untuk meningkatkan kemampuan. Tentu saja, Pak Anton juga tidak kalah hebatnya kalau main gitar, hehehe."
"Ah, kemampuan saya masih belum seberapa, Pak," Saya merendah.Â
"Saya sih tidak mempersoalkan lagi tentang buta warna tersebut yang menjadi penghalang saya untuk menjadi guru. Karena toh saya masih bisa bekerja di sektor lain. Bagi saya, kalau ada guru yang buta warna seperti saya, tidak perlu kuatir. Kita masih bisa mengajar les privat di luar sekolah. Kita masih bisa berbisnis. Kita masih bisa menulis, karena menulis tidak perlu surat keterangan sehat dan tidak perlu status 'bebas buta warna'.Â
"Apakah orang yang buta warna tidak boleh menjadi guru? Siapa bilang? Paling tidak, boleh menjadi guru bagi murid les dan anak sendiri. Itu semua tidak perlu surat keterangan sehat.
"Wah, cerita selesai, makanan pun tiba. Ayo, Pak Anton. Dimakan. Jangan malu-malu," kata Pak Sandi menyilakan.Â
"Wah, kalau makan sih saya gak malu-malu, tapi malu-maluin, hehehe."
"Hahahaha, bisa aja, Pak Anton.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H