"Mau kontak bapak, tapi hape saya rusak. Nomor-nomornya banyak yang hilang," saya pun sesekali membolak-balik baju yang menarik perhatian. Sayang, harganya tidak menarik.Â
"Oh begitu. Iya, memang jengkel kalau hape rusak dan membawa lari nomor kontak konco," Pak Sandi masih melirak-lirik pakaian yang ada di hadapannya. Sepertinya tertarik, tapi setelah itu dia mengurungkan niat. Mungkin karena masalah harga atau sekadar melihat saja.Â
"Sama siapa, Pak?" tanya Pak Sandi, memecah kesunyian.Â
"Sendiri," jawab saya singkat.Â
"Gimana kalau kita singgah ke rumah makan di atas? Kan udah jam makan siang."
"Waduh, jangan makan di sini. Mahal."
"Tenang. Saya yang jadi bosnya. Kan saya yang ngajak," Pak Sandi tersenyum. Seakan mengerti akan keuangan saya yang lagi cekak saat itu.Â
"Beneran nih, Pak? Serius?"Â
"Iya. Serius. Hitung-hitung sebagai balas jasa karena dulu bapak pernah membantu saya dan memberikan murid les ke saya."
Kami pun beranjak ke rumah makan yang dimaksud di rumah makan @nomention. Setelah memesan makanan dan minuman, kami pun ngobrol ngalor-ngidul, mengingat pengalaman ikut seminar dulu dan yang lainnya.Â
Sampai ke topik yang agak sensitif.Â