"Berarti tidak buta warna sepenuhnya kan, Pak?"
"Memang, tapi tetap dianggap tidak memenuhi syarat," jawab Pak Sandi.Â
"Dan kepala sekolah bapak menyuruh bapak resign dan alih profesi? Terlalu banget!" Saya tidak habis pikir, "Kok ada kepala sekolah yang tidak menghargai jasa anak buahnya!"
"Ah, saya sih bisa mengerti, Pak. Dia kepala sekolah baru. Baru setahun menjabat, tapi sudah menimbulkan masalah. Masa teman saya tadi yang baru tiga tahun kerja tapi surat SK Pegawai dibuat tujuh tahun masa kerjanya! Masa sama dengan saya!"
"Lalu bapak diam saja?" tanya saya.Â
"Oh, saya protes ke kepsek. Saya bilang kalau SK teman saya itu berubah waktu dia menjabat sebagai kepsek. Eh, dia malah bilang, SK teman saya itu di zaman kepsek sebelum dia. Dia mengaku tidak tahu menahu.Â
"Sejak itu dia tidak suka dengan saya. Sentimen, meskipun tidak kentara. Dan kelihatan nyata waktu dia tahu masalah buta warna saya."
"Lalu bapak langsung resign saat itu juga?"
"Oh, tidak. Saya kan punya keluarga. Ada istri dan anak. Seandainya saya berhenti, bagaimana menghidupi keluarga? Dua tahun saya bergumul. Mempertimbangkan. Cercaan karena buta warna masih berkumandang. Saya pun berdiskusi dengan istri. Istri saya bilang, 'Ya sudah, Mas. Resign aja. Daripada Mas tidak merasa enjoy kerja di sana. Tuhan akan memberikan rezeki di tempat lain. Bukan hanya dari situ saja.'"
Pak Sandi menyesap sedikit es teh manisnya, lalu melanjutkan lagi, "Saya resign setelah dua tahun merenung. Teman-teman guru sempat membujuk saya untuk mengurungkan niat berhenti. Tapi saya sudah bertekad bulat. Saya berhenti.
"Sekarang saya sudah tenang. Meskipun harus membanting tulang. Pagi menjajakan kue buatan istri dari rumah ke rumah dengan sepeda motor, lalu siang sampai malam, ngajar les privat dan istri buka bimbel calistung di rumah. Capek, tapi tidak sakit hati.Â