SMA adalah saat dimana hidup keluarga sangat prihatin. Jadi kontraktor alias kontrak rumah setahun sekali. Aku naik kelas, otomatis pindah rumah juga.
Kebanyakan orang mengatakan masa SMA adalah masa yang indah, namun bagiku, SMA adalah masa yang menyedihkan. Makan dengan tempe, tahu, atau sekadar mie instan saja sudah bersyukur. Boro-boro memikirkan untuk pacaran, untuk biaya sekolah saja sudah sulit membayar. Dan juga, ayah waktu itu sudah sakit-sakitan. Terkena diabetes menyebabkan kesehatannya jadi sangat terganggu. Tapi yang lebih terganggu adalah pikirannya. Dulu banyak orang yang mengelu-elukannya karena dia sukses sebagai pengusaha, tapi waktu dia bangkrut dan usaha tutup, tidak ada lagi yang peduli padanya.
Hanya keluarga, saudara, dan beberapa sahabat yang masih berhubungan dekat dengan ayah.
* * *
Meskipun aku tidak begitu mengenal pribadinya semasa ayah masih ada, namun aku menganggap ayah sebagai pahlawanku.
Dalam diam, ayah menghidupi keluarga semasa sukses.
Dalam diam, ayah tidak mengungkapkan kebangkrutannya, supaya keluarga tidak cemas, dan dia menanggungnya dalam diam, yang mengakibatkan penyakit yang harus dideritanya.
Dalam diam, ayah tidak mengeluh karena penyakitnya, terutama di saat banyak orang meninggalkannya saat sudah tak berpunya, seakan dia mengidap penyakit berbahaya.
Dalam diam pula, ayah meninggal, di saat dini hari, di mana keluarga masih terlelap, dan melihatnya sudah berpulang ke rumah Bapa di Surga di saat menjelang matahari mau bersinar.
Ayah seorang laki-laki yang menumbuhkan rasa hormat di hatiku. Tentu saja, dia bukan ayah yang sempurna, namun dia tak pernah sekalipun mempermalukan atau mengecewakan kami, keluarganya.
Aku masih ingat di saat ayah, sewaktu masih jaya, suka mengajakku bersama ibu, bertiga, naik mobil pickup Chevrolet ke Kilometer 5 Balikpapan, saat sore hari sekitar jam empat, untuk melihat kebon kami di sana, tempat ayah memelihara ayam dan sapi. Betapa senangnya aku waktu ayah mengajak ke sana.