Aku menganggap MLM yang ini sama saja, seperti mlm-mlm yang sebelumnya.
"Sepertinya, aku tidak menikmati prosesnya. Bukannya tidak suka, tapi aku tak enjoy dengan apa yang kulakukan."
Aku berpikir seperti itu. Meskipun begitu, aku tetap melakukan, karena upline-ku, Pak Januar terus memotivasi, "Saya juga seperti bapak dulu. Merasa tak bisa, tak minat, tak bersemangat. Tapi kalau dilakukan secara konsisten, pasti lama kelamaan timbul rasa cinta."
Aku berpikir, "Yah, mungkin juga akan timbul 'cinta'. Dulu juga aku tak senang mengajar di esde, tak suka mengajar anak-anak usia dini, tapi lama kelamaan, aku pun menikmati, senang mengajar mereka, walau honor yang kudapat tak seberapa."
Tapi ini sudah akhir bulan Januari 2014. Sudah empat bulan, tapi hasil tidak seperti yang diharapkan. Pendapatan dari komisi penjualan produk tak seberapa, tapi pengeluaran, terutama dari operasional sangatlah besar. Target komisi besar memang dari aset jaringan. Semakin besar jaringan, dalam hal ini downline di bawahku, potensi pendapatan akan jadi semakin besar pula.
Yang sangat sulit adalah merekrut orang lain menjadi downline atau istilahnya member atau reseller di bawahku.
Mereka mau membeli produk, tapi tidak mau menjadi downline.
Hampir putus asa, sampai suatu ketika pada tanggal 13 Februari 2014, aku mendapat downline pertama. Hati gembira. Satu hari sebelum hari Valentine.
"Puji Tuhan. Dapat satu downline setelah empat bulan perjuangan," aku bersyukur kepada Tuhan.
Besok pagi, dini hari, berita duka itu tiba. Kakak perempuanku, Santi, menelepon pada jam 4. "Ayah meninggal, Gun."
Mungkin downline pertama ini hadiah dari ayah untukku.