Mungkin supaya aku kelak kalau sudah besar menjadi orang yang berguna. Mungkin itu impian mereka. Mereka biasa memanggilku 'Gun".
Banyak orang menyangka, sebagai anak bungsu, ayah dan ibu memanjakanku. Tapi itu cuma anggapan, prasangka kebanyakan orang. Nyatanya, tidak seperti itu.
Ayah dan ibu selalu mengingatkanku apabila aku meminta sesuatu, misalnya mainan, mereka selalu mengatakan, "Kakak-kakakmu dan juga kamu masih sekolah, Gun. Ayah harus membiayai sekolah dan juga makan kita sehari-hari. Nanti saja ya, kalau ada rezeki berlebih, ayah belikan mainan buatmu," kata ibu lembut.
Sejak itu, aku tak banyak menuntut apa-apa, karena sudah dibiasakan melihat kondisi ekonomi keluarga..Â
Toko ayah ada di depan rumah. Toko bahan bangunan yang cukup terkenal di Balikpapan yang waktu itu belum banyak pesaing. Balikpapan juga belum menjadi kota maju seperti sekarang. Masih kota kecil, dan masih dalam tahap membangun.
Aku terkadang menemani Kak Fandi, kakakku yang pertama, menjaga kasir. Meskipun masih kecil, tapi aku bisa melihat, betapa ayah bekerja keras di toko. Terkadang ayah turun langsung, mengangkat semen bersak-sak dari truk bersama pegawai-pegawainya. Kak Fandi, terkadang ikut membantu ayah mengangkat semen dan meletakkan sak-sak semen itu di sudut toko.
"Hati-hati ya, Gun. Jaga kasir. Tunggu sebentar ya," begitu pesan Kak Fandi.
Aku pun menjaga kasir.
Melihat ayah dan kakakku bekerja keras, aku pun jadi menyadari hidup ini keras. Mendapatkan uang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh kerja keras.
Sayangnya, waktu SMP, usaha ayah mengalami masalah. Aku tidak tahu persisnya seperti apa, tapi kata ibu, "Sepupumu, Hadi dan Michael, mereka mengambil uang tabungan dari bank tanpa sepengetahuan ayah. Uang yang seharusnya untuk bayar angsuran kredit usaha dari bank malah mereka gunakan untuk kepentingan mereka."
Itu kata ibu. Namun ayah tak pernah berkata apa-apa pada kami, anak-anaknya. Mungkin dia tidak ingin kami semua cemas dan tidak semangat bersekolah.