"Memang, Pak, kami semua tidak ada di rumah dari pagi sampai sore, kadang sampai malam, karena suami saya kerja di bangunan, saya jualan sayur di pasar, dan kakak laki-lakinya juga kuli bangunan," kata sang ibu, pandangan beralih pada saya kembali.
"Kata Joko, dia menyerahkan surat itu pada Hadi. Apakah Hadi tidak memberikan surat itu pada bapak dan ibu?"
"Tidak, Pak," sang ibu berkata, lalu kemudian pandangan beralih ke Hadi.
"Saya curiga, anak ibu membuang surat itu. Saya sudah mempunyai banyak pengalaman, kalau diberikan pada anak yang bersangkutan, pasti surat tidak akan sampai ke orangtua."
"Bener, Le? Kamu buang surat dari Pak Guru?" tanya sang ibu pada anak laki-lakinya, Hadi.
Hadi cuma menunduk. Sekilas, terlihat air mata menitik dari pelupuk.
"Assalamualaikum," tiba-tiba ada salam dari luar, seorang pria, dengan rambut yang sudah banyak beruban, masuk. Saya berasumsi, bapak ini adalah ayah Hadi. Setelah itu, diikuti dengan seorang lelaki muda. Saya perkirakan, umurnya baru 20-an lebih. "Pasti kakak laki-laki yang disebutkan Joko dan ibunya Hadi," pikir saya.
"Wa'alaikumussalam," kami serentak membalas salam tersebut.
"Pak, ini guru Hadi di sekolah," ibunya Hadi memperkenalkan saya pada suaminya.
"Oya, Pak. Ada apa, Pak? Hadi nakal?" tanya ayah Hadi, sembari duduk bersila di ambal, di dekat pintu.
"Ah, kenakalan anak-anak biasa, Pak. Sudah tiga kali tidak membuat PR dan sudah tiga kali pula tidak masuk sekolah pas jam pelajaran saya di kelasnya," Saya menjawab dengan tersenyum.