Mohon tunggu...
Hallo SobatKampus
Hallo SobatKampus Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Hallo semangat yaa!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Puluh Detik Sebelum Fajar

23 Desember 2024   20:55 Diperbarui: 23 Desember 2024   22:31 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiga Puluh Detik Sebelum Fajar

Oleh: Nikmatul Maula

Detik jam dinding berdetak pelan memecah sunyi. Tik. Tok. Tik. Tok. Mata Senja masih terpaku pada layar laptop yang menyala redup, satu-satunya sumber cahaya di kamar kosnya yang sempit. Pukul 04:29:30. Tiga puluh detik lagi menuju fajar.

Sudah lima hari dia tidak tidur. Lima hari yang terasa seperti lima abad. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin pekat, sepekat kopi dingin yang setengah terminum di mejanya. Skripsi yang harus diselesaikannya masih menuntut perhatian. Deadline tinggal beberapa jam lagi.

Tik. Tok.

Senja mengerjapkan mata. Layar laptopnya mulai terasa kabur. Huruf-huruf seolah menari, mengejeknya. Dia ingat pesan ibunya kemarin: "Jangan terlalu memaksakan diri, Nak." Tapi bagaimana bisa dia berhenti sekarang? Tinggal sedikit lagi.

Tik. Tok.

Dua puluh detik menuju fajar.

Di luar jendelanya yang tertutup tirai tipis, burung-burung mulai bersahutan. Mereka selalu tahu kapan fajar akan datang, seolah memiliki jam biologis yang lebih akurat dari teknologi modern. Senja tersenyum getir. Bahkan burung-burung itu lebih teratur hidupnya dibanding dirinya saat ini.

Tik. Tok.

Sepuluh detik.

Mendadak, layar laptopnya berkedip. Jantung Senja seakan berhenti berdetak. Tidak. Tidak. Tidak sekarang. Dia belum menyimpan revisi terakhirnya!

Lima detik.

Dalam gerakan panik, jari-jarinya menari di atas keyboard, berusaha menyimpan file yang masih terbuka. Tapi laptopnya membeku. Tidak merespons.

Tiga.

Dua.

Satu.

Tepat ketika suara azan subuh mulai mengalun dari masjid terdekat, layar laptopnya mati total. Gelap. Seperti malam yang perlahan tersapu fajar.

Senja terduduk kaku di kursinya. Air mata mulai menggenang. Lima hari tanpa tidur, dan sekarang...

Tapi kemudian, sesuatu yang ajaib terjadi. Bersamaan dengan cahaya fajar yang mulai merayap masuk dari sela-sela tirai, laptopnya menyala kembali. Dan di sana, di tengah layar, file skripsinya terbuka. Tersimpan otomatis.

Senja tertawa. Tawa yang bercampur isak tangis lega. Dia bangkit, berjalan ke arah jendela, dan menyibak tirai. Fajar telah datang, membawa secercah harapan baru.

Dia teringat perjalanannya sampai ke titik ini. Enam bulan yang lalu, ketika proposal skripsinya ditolak untuk ketiga kalinya. Saat itu, dia nyaris menyerah. Tapi Bu Ratih, dosen pembimbingnya yang terkenal galak, justru memberikan dorongan yang tak terduga.

"Senja," kata Bu Ratih waktu itu, "Kamu tahu kenapa saya selalu menolak proposalmu? Karena saya tahu kamu bisa lebih baik dari ini. Kamu punya potensi yang belum kamu gali sepenuhnya."

Kata-kata itu menjadi titik balik. Senja mulai mengubah perspektifnya. Dia tidak lagi melihat skripsi sebagai beban, tapi sebagai kesempatan untuk membuktikan diri. Dia menghabiskan berbulan-bulan melakukan penelitian ulang, memperbaiki metodologi, dan menulis ulang hampir seluruh isi skripsinya.

Sekarang, di ambang fajar ini, semua pengorbanan itu terasa sepadan. Meski tubuhnya lelah, semangatnya justru semakin membara. File yang hampir hilang itu seolah menjadi pengingat bahwa Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan keajaiban-Nya.

Senja membuka jendela kamarnya lebar-lebar, membiarkan udara pagi yang sejuk menyapu wajahnya. Di kejauhan, matahari mulai mengintip malu-malu dari balik gedung-gedung tinggi. Kota Jakarta perlahan bangun dari tidurnya.

Dia teringat kata-kata ibunya dulu, saat pertama kali melepasnya ke Jakarta untuk kuliah: "Hidup di kota besar itu seperti mengejar fajar, Nak. Kadang kamu merasa tertinggal, tapi selama kamu tetap bergerak, fajar akan selalu menyambutmu."

Senja mengeluarkan sajadah dari lemarinya. Sudah lama dia tidak khusyuk dalam shalatnya, terlalu sibuk dengan deadline dan tekanan. Tapi pagi ini berbeda. Setelah wudhu, dia menghamparkan sajadah menghadap kiblat. Azan masih mengalun merdu.

Dalam sujudnya, air mata kembali menetes. Kali ini bukan air mata putus asa, melainkan air mata syukur. Syukur atas kesempatan kedua. Syukur atas pelajaran berharga tentang kesabaran. Syukur atas tiga puluh detik yang mengajarkannya bahwa setiap kesulitan selalu diiringi kemudahan.

Selesai shalat, Senja membuka laptop kembali. Masih ada beberapa revisi minor yang harus diselesaikan sebelum pengumpulan final nanti siang. Tapi kali ini, dia menghadapinya dengan hati yang lebih ringan. Di sampingnya, secangkir kopi hangat mengepul, menggantikan kopi dingin yang sudah berjam-jam terabaikan.

Dia membuka grup WhatsApp keluarga. Ada puluhan pesan dari ibunya yang belum dibaca. Dengan senyum, dia mengetik: "Ibu, doakan Senja ya. Hari ini skripsi selesai. Terima kasih sudah selalu percaya."

Balasan dari ibunya datang hampir seketika: "Alhamdulillah. Ibu selalu mendoakanmu, Nak. Jangan lupa istirahat."

Di luar, matahari sudah sepenuhnya terbit. Hari baru telah benar-benar dimulai. Senja meregangkan tubuhnya yang kaku. Mungkin setelah menyelesaikan revisi terakhir, dia akan tidur sejenak. Toh, masih ada beberapa jam sebelum waktu pengumpulan.

Dia menatap ke arah jendela sekali lagi. Langit sudah berubah menjadi biru cerah, awan-awan berarak pelan ditiup angin pagi. Burung-burung masih berkicau, seolah merayakan keberhasilan kecilnya pagi ini.

Tiga puluh detik sebelum fajar telah mengajarkannya banyak hal. Tentang ketabahan. Tentang kepercayaan. Tentang keajaiban yang datang tepat ketika kita nyaris menyerah. Dan yang paling penting, tentang makna sesungguhnya dari perjuangan.

Jam dinding masih berdetak. Tik. Tok. Tik. Tok. Tapi kali ini, bunyinya terdengar seperti musik di telinga Senja. Musik yang mengiringi lahirnya hari baru, harapan baru, dan semangat baru dalam hidupnya.

Pukul 10:00 pagi. Senja baru saja terbangun dari tidur singkatnya. Tiga jam istirahat ternyata cukup untuk memulihkan sebagian energinya. Dia meraih ponselnya dan melihat ada pesan dari Bu Ratih:

"Senja, ibu tunggu di ruangan jam 13.00. Jangan terlambat."

Jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang menentukan. Setelah merapikan diri dan memastikan file skripsinya sudah lengkap, dia bergegas ke kampus.

Koridor fakultas terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah menggema di lantai marmer, mengiringi detak jantungnya yang semakin cepat. Di depan ruangan Bu Ratih, dia berhenti sejenak. Menarik nafas dalam-dalam, teringat momen tiga puluh detik sebelum fajar tadi pagi. Kalau dia bisa melewati itu, dia bisa melewati ini juga.

"Masuk," suara Bu Ratih terdengar dari dalam ketika Senja mengetuk pintu.

Bu Ratih sedang membaca sesuatu di laptopnya ketika Senja masuk. Kacamatanya yang berbingkai merah menutupi sebagian wajahnya yang tegas. Wanita paruh baya itu mengangkat wajahnya, menatap Senja dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Duduk," katanya singkat.

Senja duduk dengan gugup, menggenggam flashdisk berisi skripsinya erat-erat.

"Saya sudah membaca draft terakhir yang kamu kirim tadi pagi," Bu Ratih membuka pembicaraan. "Ada yang ingin saya tanyakan."

Senja menahan nafas.

"Bagaimana kamu bisa menyelesaikan revisi sebanyak ini dalam semalam?"

"Saya... saya tidak tidur selama lima hari terakhir, Bu," jawab Senja jujur.

Bu Ratih mengangkat alisnya. "Lima hari?" Dia melepas kacamatanya, memijat pangkal hidungnya pelan. "Kamu tahu itu tidak sehat."

"Maaf, Bu. Tapi saya ingin memastikan semuanya sempurna."

Tiba-tiba, Bu Ratih tersenyum. Senyum pertama yang Senja lihat sejak mereka pertama kali bertemu enam bulan lalu.

"Justru itu yang ingin saya bicarakan," kata Bu Ratih. "Skripsimu... sudah jauh melampaui ekspektasi saya."

Senja mengerjapkan mata, tidak yakin dengan apa yang didengarnya.

"Metodologimu solid, analisismu mendalam, dan kesimpulanmu... well, saya rasa penelitianmu ini layak dipublikasikan di jurnal nasional."

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Senja. Semua pengorbanan, semua malam tanpa tidur, semua keraguan dan ketakutan... semuanya terbayar dalam satu kalimat itu.

"Tapi," Bu Ratih melanjutkan, "ada satu hal yang perlu kamu perbaiki."

"Apa itu, Bu?"

"Dirimu sendiri." Bu Ratih menatapnya dengan tatapan seorang ibu. "Kesuksesan akademis tidak boleh mengorbankan kesehatan. Kamu berbakat, Senja. Tapi bakat saja tidak cukup. Kamu perlu belajar menyeimbangkan semuanya."

Senja mengangguk, teringat pesan ibunya dan pengalaman spiritualnya tadi pagi.

"Minggu depan ada konferensi nasional di Bandung," lanjut Bu Ratih. "Saya ingin kamu mempresentasikan penelitianmu di sana. Tapi sebelum itu, saya mau kamu istirahat. Minimal tiga hari. Tidak ada diskusi."

Senja tersenyum di antara air matanya. "Terima kasih, Bu. Untuk semuanya."

Ketika keluar dari ruangan Bu Ratih, langit sudah berubah jingga. Senja berhenti di koridor, memandang matahari yang mulai terbenam di ufuk barat. Ironis, namanya Senja, dan hari ini dia belajar banyak dari fajar.

Ponselnya bergetar. Pesan dari ibunya: "Bagaimana tadi, Nak?"

Dengan jari bergetar karena bahagia, dia membalas: "Alhamdulillah, Bu. Senja lulus. Dan... ada kejutan lain. Nanti Senja cerita di rumah ya. Minggu depan Senja pulang."

Dia melangkah keluar gedung fakultas dengan hati ringan. Di gerbang kampus, dia berpapasan dengan Rama, teman seangkatannya yang juga sedang berjuang dengan skripsi.

"Sen! Gimana tadi?" tanya Rama.

"Alhamdulillah," Senja tersenyum. "Ram, kamu percaya gak, kadang kita cuma butuh tiga puluh detik untuk mengubah hidup kita?"

Rama menatapnya bingung, tapi Senja hanya tersenyum. Beberapa pengalaman memang lebih baik dihayati sendiri.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam lima hari, Senja tidur nyenyak. Dalam mimpinya, dia melihat dirinya berdiri di podium konferensi, mempresentasikan penelitiannya dengan percaya diri. Di barisan depan, dia melihat Bu Ratih tersenyum bangga, dan ibunya yang berkaca-kaca.

Ketika terbangun keesokan paginya, tepat tiga puluh detik sebelum fajar, Senja tersenyum. Dia tahu, ini hanya awal dari perjalanan panjangnya. Masih akan ada banyak tantangan, banyak malam tanpa tidur, banyak air mata, dan banyak keraguan. Tapi setidaknya dia tahu sekarang, bahwa setiap fajar membawa harapan baru, dan setiap detik adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Dia bangkit, mengambil wudhu, dan menggelar sajadahnya. Kali ini, dalam sujudnya, dia tidak hanya bersyukur. Dia juga memohon kekuatan untuk perjalanan berikutnya. Karena dia tahu, setiap pencapaian bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tantangan baru.

Di luar, fajar mulai menyingsing, membawa janji baru untuk hari yang baru. Dan Senja, dengan nama yang ironisnya mengingatkan pada senja hari, telah belajar untuk mencintai fajar dan semua harapan yang dibawanya.

Dia membuka jendela kamarnya lebar-lebar, membiarkan udara pagi memenuhi paru-parunya. "Terima kasih," bisiknya pada langit yang mulai terang. Terima kasih untuk tiga puluh detik yang mengubah hidupnya. Terima kasih untuk pelajaran berharga tentang kesabaran, ketekunan, dan kepercayaan. Dan terima kasih, untuk pengingat bahwa kadang-kadang, keajaiban datang tepat ketika kita nyaris menyerah.

Satu minggu kemudian, Bandung.

Senja berdiri di depan cermin hotel, merapikan blazer biru tuanya. Hari ini adalah hari presentasinya di konferensi nasional. Jam dinding menunjukkan pukul 04:29:30 pagi. Lagi-lagi, tiga puluh detik sebelum fajar.

Dia tersenyum mengingat bagaimana angka-angka itu kini memiliki makna khusus dalam hidupnya. Sejak pengalaman dengan skripsinya, dia selalu bangun di waktu yang sama, menjadikan momen ini sebagai ritual pribadinya untuk memulai hari.

"Bismillah," bisiknya pada bayangan di cermin.

Di meja, laptop dan berkas presentasinya sudah tertata rapi. Makalahnya akan menjadi pembuka untuk sesi pertama konferensi. Bu Ratih memang sengaja mendaftarkannya di slot awal, "Supaya kamu bisa lebih rileks setelahnya," katanya.

Senja membuka tirai kamar hotelnya. Kota Bandung masih terlelap, tapi langit sudah mulai menampakkan semburat jingga. Dari lantai 12 hotel ini, pemandangan pegunungan di kejauhan terlihat begitu memesona.

Ponselnya bergetar. Pesan dari ibunya:

"Anak ibu yang cantik, jangan lupa sarapan sebelum presentasi. Ibu sudah di lobby dengan Bu Ratih. Semangat ya, Nak."

Ya, ibunya datang jauh-jauh dari Yogya untuk menyaksikan presentasi pertamanya. Kejutan kecil yang diatur Bu Ratih tanpa sepengetahuannya.

Setelah shalat Subuh dan bersiap-siap, Senja turun ke lobby. Dia melihat ibunya dan Bu Ratih sedang berbincang akrab di area sarapan hotel. Mereka terlihat seperti teman lama, padahal baru bertemu semalam.

"Assalamualaikum," sapa Senja.

"Waalaikumsalam," jawab keduanya bersamaan.

Ibunya langsung berdiri dan memeluknya erat. "Masya Allah, anak ibu sudah seperti profesional sekarang."

Bu Ratih tersenyum. "Memang sudah seharusnya begitu. Senja ini punya potensi besar. Tadi saya cerita ke ibu, beberapa profesor dari universitas lain sudah menanyakan tentang penelitiannya."

Senja duduk bergabung untuk sarapan. Semangkuk bubur ayam mengepul di hadapannya, mengingatkannya pada masa kecil ketika ibunya selalu membuatkan bubur setiap kali dia sakit.

"Bu," kata Senja pada Bu Ratih, "sebenarnya saya masih gugup."

"Wajar," jawab Bu Ratih. "Tapi ingat apa yang kamu bilang waktu bimbingan terakhir? Tentang tiga puluh detik itu?"

Senja mengangguk.

"Nah, anggap saja presentasi ini seperti itu. Setiap tiga puluh detik adalah kesempatan baru. Fokus saja pada tiga puluh detik yang ada di hadapanmu, jangan pikirkan yang lain."

Pukul 08:00, aula konferensi mulai dipenuhi peserta. Senja duduk di barisan depan, menunggu gilirannya. Di sampingnya, ibunya menggenggam tangannya erat, sementara Bu Ratih duduk tenang dengan senyum meyakinkan.

"Selanjutnya," suara moderator terdengar dari podium, "presentasi dari Senja Kusuma, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, dengan judul 'Analisis Dampak Media Sosial terhadap Pola Komunikasi Interpersonal Generasi Z: Studi Kasus di Lima Kota Besar Indonesia.'"

Senja menarik nafas dalam-dalam. Tiga puluh detik, pikirnya. Fokus pada tiga puluh detik ke depan.

Presentasinya berjalan lancar. Lebih dari lancar malah. Pertanyaan-pertanyaan dari peserta dijawabnya dengan tenang dan terstruktur. Bu Ratih bahkan tidak perlu membantunya sama sekali.

Setelah sesi selesai, beberapa profesor mendekatinya, menawarkan kesempatan untuk melanjutkan penelitiannya ke jenjang S2. Salah satunya bahkan menawarkan beasiswa penuh di universitas ternama di Jepang.

"Lihat," bisik Bu Ratih saat mereka makan siang bersama setelah konferensi selesai, "kadang Tuhan punya rencana yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Siapa sangka skripsi yang hampir membuatmu menyerah itu justru membuka pintu-pintu kesempatan?"

Senja mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Saya masih ingat jelas perasaan putus asa saya waktu itu, Bu. Rasanya seperti sudah di ujung tanduk."

"Tapi Allah selalu punya rencana terbaik, Nak," sambung ibunya. "Ibu selalu percaya, kesulitan itu seperti fajar. Meski malam terasa panjang dan gelap, fajar pasti datang pada waktunya."

Malam itu, setelah mengantarkan ibunya ke stasiun untuk kembali ke Yogya, Senja duduk di balkon kamar hotelnya. Kota Bandung berkilauan di bawah, dan bintang-bintang bertaburan di atas. Dia membuka laptop dan mulai menulis:

"Tiga puluh detik sebelum fajar mengajarkanku bahwa hidup adalah rangkaian momen-momen pendek yang menentukan. Setiap detik adalah kesempatan untuk menyerah atau bertahan, untuk putus asa atau berharap. Dan kadang-kadang, justru di detik-detik terakhir sebelum fajar, ketika kegelapan terasa paling pekat, keajaiban terjadi..."

Dia tersenyum. Tulisan ini akan menjadi pembuka untuk buku yang akan ditulisnya, sebuah buku motivasi untuk mahasiswa yang sedang berjuang dengan skripsi mereka. Karena dia tahu,

di luar sana, ada ribuan 'Senja' lain yang mungkin sedang berada di titik terendah mereka, menunggu fajar mereka sendiri.

Ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal dari Jepang. Profesor yang tadi menawarkan beasiswa rupanya serius dengan tawarannya. Dia ingin Senja mulai mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan.

Senja menatap langit malam Bandung sekali lagi. Dulu, namanya terasa ironis karena selalu mengingatkan pada akhir hari. Tapi sekarang dia tahu, bahwa setiap senja selalu membawa janji akan fajar yang baru. Dan besok, seperti hari-hari sebelumnya, dia akan bangun tiga puluh detik sebelum fajar, menyambut hari baru dengan harapan baru.

Karena kini dia paham, bahwa keajaiban tidak selalu datang dalam bentuk yang spektakuler. Kadang, keajaiban hadir dalam tiga puluh detik yang mengubah segalanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun