Di meja, laptop dan berkas presentasinya sudah tertata rapi. Makalahnya akan menjadi pembuka untuk sesi pertama konferensi. Bu Ratih memang sengaja mendaftarkannya di slot awal, "Supaya kamu bisa lebih rileks setelahnya," katanya.
Senja membuka tirai kamar hotelnya. Kota Bandung masih terlelap, tapi langit sudah mulai menampakkan semburat jingga. Dari lantai 12 hotel ini, pemandangan pegunungan di kejauhan terlihat begitu memesona.
Ponselnya bergetar. Pesan dari ibunya:
"Anak ibu yang cantik, jangan lupa sarapan sebelum presentasi. Ibu sudah di lobby dengan Bu Ratih. Semangat ya, Nak."
Ya, ibunya datang jauh-jauh dari Yogya untuk menyaksikan presentasi pertamanya. Kejutan kecil yang diatur Bu Ratih tanpa sepengetahuannya.
Setelah shalat Subuh dan bersiap-siap, Senja turun ke lobby. Dia melihat ibunya dan Bu Ratih sedang berbincang akrab di area sarapan hotel. Mereka terlihat seperti teman lama, padahal baru bertemu semalam.
"Assalamualaikum," sapa Senja.
"Waalaikumsalam," jawab keduanya bersamaan.
Ibunya langsung berdiri dan memeluknya erat. "Masya Allah, anak ibu sudah seperti profesional sekarang."
Bu Ratih tersenyum. "Memang sudah seharusnya begitu. Senja ini punya potensi besar. Tadi saya cerita ke ibu, beberapa profesor dari universitas lain sudah menanyakan tentang penelitiannya."
Senja duduk bergabung untuk sarapan. Semangkuk bubur ayam mengepul di hadapannya, mengingatkannya pada masa kecil ketika ibunya selalu membuatkan bubur setiap kali dia sakit.