"Bu," kata Senja pada Bu Ratih, "sebenarnya saya masih gugup."
"Wajar," jawab Bu Ratih. "Tapi ingat apa yang kamu bilang waktu bimbingan terakhir? Tentang tiga puluh detik itu?"
Senja mengangguk.
"Nah, anggap saja presentasi ini seperti itu. Setiap tiga puluh detik adalah kesempatan baru. Fokus saja pada tiga puluh detik yang ada di hadapanmu, jangan pikirkan yang lain."
Pukul 08:00, aula konferensi mulai dipenuhi peserta. Senja duduk di barisan depan, menunggu gilirannya. Di sampingnya, ibunya menggenggam tangannya erat, sementara Bu Ratih duduk tenang dengan senyum meyakinkan.
"Selanjutnya," suara moderator terdengar dari podium, "presentasi dari Senja Kusuma, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, dengan judul 'Analisis Dampak Media Sosial terhadap Pola Komunikasi Interpersonal Generasi Z: Studi Kasus di Lima Kota Besar Indonesia.'"
Senja menarik nafas dalam-dalam. Tiga puluh detik, pikirnya. Fokus pada tiga puluh detik ke depan.
Presentasinya berjalan lancar. Lebih dari lancar malah. Pertanyaan-pertanyaan dari peserta dijawabnya dengan tenang dan terstruktur. Bu Ratih bahkan tidak perlu membantunya sama sekali.
Setelah sesi selesai, beberapa profesor mendekatinya, menawarkan kesempatan untuk melanjutkan penelitiannya ke jenjang S2. Salah satunya bahkan menawarkan beasiswa penuh di universitas ternama di Jepang.
"Lihat," bisik Bu Ratih saat mereka makan siang bersama setelah konferensi selesai, "kadang Tuhan punya rencana yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Siapa sangka skripsi yang hampir membuatmu menyerah itu justru membuka pintu-pintu kesempatan?"
Senja mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Saya masih ingat jelas perasaan putus asa saya waktu itu, Bu. Rasanya seperti sudah di ujung tanduk."