Dia menatap ke arah jendela sekali lagi. Langit sudah berubah menjadi biru cerah, awan-awan berarak pelan ditiup angin pagi. Burung-burung masih berkicau, seolah merayakan keberhasilan kecilnya pagi ini.
Tiga puluh detik sebelum fajar telah mengajarkannya banyak hal. Tentang ketabahan. Tentang kepercayaan. Tentang keajaiban yang datang tepat ketika kita nyaris menyerah. Dan yang paling penting, tentang makna sesungguhnya dari perjuangan.
Jam dinding masih berdetak. Tik. Tok. Tik. Tok. Tapi kali ini, bunyinya terdengar seperti musik di telinga Senja. Musik yang mengiringi lahirnya hari baru, harapan baru, dan semangat baru dalam hidupnya.
Pukul 10:00 pagi. Senja baru saja terbangun dari tidur singkatnya. Tiga jam istirahat ternyata cukup untuk memulihkan sebagian energinya. Dia meraih ponselnya dan melihat ada pesan dari Bu Ratih:
"Senja, ibu tunggu di ruangan jam 13.00. Jangan terlambat."
Jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang menentukan. Setelah merapikan diri dan memastikan file skripsinya sudah lengkap, dia bergegas ke kampus.
Koridor fakultas terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah menggema di lantai marmer, mengiringi detak jantungnya yang semakin cepat. Di depan ruangan Bu Ratih, dia berhenti sejenak. Menarik nafas dalam-dalam, teringat momen tiga puluh detik sebelum fajar tadi pagi. Kalau dia bisa melewati itu, dia bisa melewati ini juga.
"Masuk," suara Bu Ratih terdengar dari dalam ketika Senja mengetuk pintu.
Bu Ratih sedang membaca sesuatu di laptopnya ketika Senja masuk. Kacamatanya yang berbingkai merah menutupi sebagian wajahnya yang tegas. Wanita paruh baya itu mengangkat wajahnya, menatap Senja dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Duduk," katanya singkat.
Senja duduk dengan gugup, menggenggam flashdisk berisi skripsinya erat-erat.