PENDAHULUANÂ
Menurut pakar politik, Maswadi Rauf dalam Buku Komunikasi Politik karya Dr. Thomas Tokan Pureklolon, M.Ph., M.M., M.Si, komunikasi politik adalah objek kajian ilmu politik karena pesan-pesan yang diungkapkan dalam proses komunikasi bercirikan politik, yaitu berkaitan dengan kekuasaan politik negara, penerintahan, dan juga aktivitas komunikator dalam kedudukan sebagai pelaku kegiatan politik. Komunikasi politik dilihat dari dua dimensi, yaitu komunikasi politik sebagai kegiatan politik dan sebagai kegiatan ilmiah.
Komunikasi sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Kegiatan tersebut bersifat empiris karena dilakukan secara nyata dalam kehidupan sosial. Di sisi lain, komunikasi politik dipandang sebagai salah satu kegiatan politik dalam sistem politik oleh komunitas ilmiah. Tentu saja, mengkomunikasikan pesan-pesan ini-khususnya pesan politik-membutuhkan rencana untuk memperoleh empati dan perhatian dari audiens.
Menurut Rusadi Kantaprawira, seorang pakar hukum, komunikasi politik adalah penghubungan pikiran politik yang hidup di dalam masyarakat, baik itu pikiran intern golongan, asosiasi, instasi, ataupun sektor kehidupan politik pemerintah. Rusadi melihat komunikasi politik dari sisi kegunaannya. Sedangkan menurut Astrid S. Soesanto, komunikasi politik ialah komunikasi yang diarahkan pada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa sehingga pada masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik.
Sederhananya, strategi adalah rencana yang menggabungkan kebijakan dan tujuan. Aktor politik menggunakan strategi komunikasi politik sebagai proses perencanaan untuk mencapai tujuan mereka. Dalam ajang pemilihan umum seperti Pilkada di Indonesia, keberhasilan partai politik untuk memenangkan kontestasi dalam persaingan politik sangat dipengaruhi oleh pilihan strategi yang digunakan oleh para aktor politik atau partai politik.
Pilkada menjadi salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi Indonesia, mengingat seluruh masyarakat akan memilih secara langsung para pemimpin daerah mulai dari gubernur, bupati, hingga wali kota beserta wakil-wakilnya, yang akan diberi amanah untuk memimpin daerah tersebut khususnya di Kota Bekasi.
Pilkada di Kota Bekasi pada tahun 2008-2013 dengan pasangan Mochtar Mohammad dan Rahmat Effendi berhasil meraih suara sebanyal 368.940 (50,5%), mengalahkan dua pasangan lainnya yaitu Ahmad Syaikhu-Kamaludin Djaini (41.5%) dan Awing Asmawi-Ronny Hermawan (7,8%). Namun, saat ia duduk di kursi Wali Kota Bekasi, Mochtar Mohammad tersandung dalam kasus korupsi skandal suap Piala Adipura 2010, penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan  Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi, suap kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan penyalahgunaan anggaran makan-minum yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp5,5 miliar.
Rahmat Effendi ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) 2011-2012 karena kasus korupsi yang menjerat Mochtar Mohammad. Rahmat Effendi terpilih kembali sebagai Wali Kota Bekasi dengan masa jabatan 2013-2018 berpasangan dengan Ahmad Syaikhu sebagai Wakil Wali Kota Bekasi. Tahun 2018, Rahmat Effendi kembali diusung oleh Partai Golongan Karya (Partai Gokar), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) merupakan partai-partai yang mendukung pasangan calon pertama yaitu Rahmat Effendi dan Tri Adhianto Tjahyono. Pasangan calon kedua, Nur Supriyanto dan Adhy Firdaus, diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Point yang menarik adalah aktor politik Rahmat Effendi bisa memenangkan dua kali pilkada Bekasi periode 2013-2018 dan 2018-2023. Namun sayangnya kejadian yang menimpa Mochtar Mohammad kembali terulang, Rahmat Effendi terjerat kasus korupsi berupa suap pengadaan barang, lelang jabatan, serta anggaran kelurahan untuk keperluan pribadi. Dilansir dari Kompas.com menduga Rahmat Effendi menggunakan banyak cara untuk memperoleh uang miliaran dari hasil intervensi proyek pengadaan barang dan jasa dari sejumlah pihak swasta.
Terjerat kasus yang sama dengan Mochtar Mohammad, Tri Adhianto ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) di sisa masa jabatan 2018-2023, menggantikan Rahmat Effendi yang terjerat kasus korupsi. Saat ini, Tri Adhianto kembali mencalonkan diri namun sebagai Wali Kota bersama dengan Abdul Harris Bobihoe sebagai Wakil Wali Kota Bekasi dengan 10 partai yang mengusung mereka, yang terdiri dari PDI-P, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PKN, PBB, Partai Ummat, Partai Gelora, Partai Perindo dan Partai Buruh.
Salah satu unsur penting dalam komunikasi politik adalah sebuah strategi yang matang dan tersusun yang dilakukan oleh aktor politik. Khususnya dalam strategi kampanye yang dilakukan oleh paslon nomor urut 03 yaitu Tri Adhianto dan Harris Bobihoe dalam Pilkada Kota Bekasi tahun 2024. Dengan demikian, hal ini menjadi penting karena untuk memiliki strategi yang baik dan benar diperlukan pemahaman yang baik. Terkait dengan itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi yang dilakukan oleh paslon nomor urut 03 dalam menjalankan kampanye politiknya.