Mohon tunggu...
.terang
.terang Mohon Tunggu... Lainnya - All you can read

Ketika kata jatuh ke mata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bersujud pada Tahi Ayam

22 Oktober 2023   21:06 Diperbarui: 22 Oktober 2023   21:16 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghuni di balik tembok tidak tahu dan tidak pernah mau tahu akan rasa iba yang melanda Jamal, mereka sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada anak balita sedang menonton youtube di teras rumah lewat arahan orang tuanya yang baru saja membelikannya tablet sebagai hadiah ulang tahun. Ada juga warga negara asing yang sibuk bercinta dari pagi hingga sore bersama wanita simpanannya, karena besok ia harus kembali ke negara kediamannya. Sementara di tempat wisata tepi pantai, berpasang-pasang remaja yang sedang dimabuk asmara hanya menganggap Jamal buih di lautan, masing-masing pasangan pra halal tersebut beranggapan kalau dunia ini hanya milik mereka, yang lain numpang.

***

Sore menanti kedatangan malam, berganti peran menjadi tabir langit, sebuah sampan kayu baru saja menepi di lahan yang desas-desusnya akan dibangun simbol kemegahan kota. Untuk kesekian kalinya, Jamal menapakkan kaki di garis pantai yang semakin hari semakin keruh, sekeruh kelakuan para penguasa dan kondisi ekonomi di negaranya.

Sampai detik ini, ia belum mampu menjawab pertanyaan apakah masa depannya akan semakin keruh? Seperti laut yang di hadapannya sekarang, atau semakin cerah? Seperti wajah-wajah selebgram yang banyak bertahta di Medsos (Media Sosial). Suatu kepastian bagi Jamal bahwa laut telah banyak menghidupi keluarganya dari generasi terdahulu hingga saat ini.

            Selaku orang yang merangkap jabatan, Jamal tidak kunjung memperoleh kenaikan upah, tidak terbesit di benaknya untuk menuntut, jika iya, kepada siapa ia harus mengalamatkannya? Ia sadar, tuhan tidak pantas dituntut. Sudah banyak yang tuhan berikan secara cuma-cuma, oksigen yang sedang dihirupnya, hingga hasil tangkapan yang akan bermuara ke dapurnya, lalu disantap bersama istri dan anaknya. Dulu hasil tangkapan Jamal sering mampir ke dapur-dapur orang lain, kini sudah jarang terjadi, ia hanya bisa bernostalgia saat hasil tangkapannya masih di atas rata-rata.

Jangan coba-coba untuk menyarankan Jamal agar menuntut kepada perwakilan rakyat. Ia sudah sangat hafal, mereka yang suka duduk di kursi empuk sana adalah barisan pengumbar janji juga suka mengingkari janjinya sendiri. Mendengar tuntutan pemuda beralmamater merah, kuning, hijau, hingga biru saja mereka menutup telinga dan mempertahankan kepongahannya, apalagi mendengar suara hati nelayan tradisional yang tidak pernah kuliah jurusan kelautan dan perikanan sepertinya.

            Sebagai nelayan yang banyak maral melintang, Jamal juga merangkap sebagai seorang 'pengamat', bukan pengamat politik, hanya pengamat ekosistem laut, karena ia hanya lulusan sekolah rendahan yang tinggi iman. Ia bukan sekadar pengamat yang umumnya enggan terjun ke lapangan, seandainya laut bisa berbicara mungkin perkataan yang terlontar adalah "Jiwa dan raga Jamal telah menyatu denganku." Sejak kapan? Jauh sebelum pantai yang dulunya ditumbuhi bakau belum ditanami beton.

            Jamal berpacu dengan waktu maghrib, sampan segera ditambatkan ke tiang kayu. Dua puluh lima yang tahun lalu, setelah menyandarkan sampan, Jamal bisa langsung melangkah ke pintu, kala itu naungannya masih berupa rumah panggung yang berdiri di zona litoral (daerah pasang surut). Zaman berganti, ia harus berjalan beberapa ratus meter menuju kediamannya saat ini, melewati perumahan mewah yang membenamkan rumahnya ke dalam kenangan.

***

            Pada jam makan siang, di sebuah restoran milik hotel termewah, tengah berlangsung perbincangan tingkat tinggi yang tidak dimengerti masyarakat kelas bawah, sebut saja konspirasi. Bukan hanya level perbincangannya yang tinggi, posisi lantai yang tinggi membuat laut tampak jelas dari sini.

            "Jadi bisa kan Di?" tanya Tanto yang merupakan pengusaha tajir di bidang developer sekali lagi.

            "Ini menyangkut nama baik saya di hadapan nelayan pak, saya pernah berjanji akan mensejahterakan mereka saat berkampanye, apa belum cukup bapak mereklamasi mangrove untuk tempat wisata dan perumahan di masa kepala daerah sebelumnya?" ucap Budi.

            "Di era globalisasi seperti ini, kamu masih mementingkan nama baik? Untuk apa nama baik kalau keuangan buruk?"

            "Hmmm."

            "Kamu lupa ya? kamu bisa sampai ke posisi ini juga berkat sokongan dari saya! Asupan untuk kelancaran money politic kamu dari mana?" Ucap Tanto dengan ekspresi melebarkan mata sipitnya.

            "Selalu saja itu yang bapak ungkit jika ada maunya, bapak juga lupa? kalau saya selalu mempermudah izin usaha bapak mulai dari perusahaan besar hingga anak-anak perusahaan bapak?" balas Budi sambil mengunyah makanan yang membuat kumisnya bergerak tidak karuan.

            "Hidup itu simbiosis mutualisme Di, kalau kamu lancarkan urusan saya, saya beri kamu rumah gratis di sana, atau mau 'mentah'-nya? nelayan itu perkara gampang, berikan saja amplop dan paket sembako, dengan begitu mereka sudah merasa sangat dipedulikan oleh pemerintah."

            "Bapak tahu kan kalau mangrove yang mau dikonversi menjadi perumahan itu hutan lindung?"

            "Saya tidak mau tahu urusan remeh-temeh seperti itu. Di dunia bisnis, jika ada peluang dan menjanjikan keuntungan besar, apa saja bisa dilakukan. Kalau pun itu hutan lindung, ganti saja statusnya, lalu urus perizinannya, gampangkan?"

            "Bapak seenaknya bilang gampang, ujung-ujungnya saya juga yang mengurus."

            "Benar, itu lah tujuan saya mengundang kamu makan siang di sini. Tolong urus segala sesuatunya dengan kolega-kolegamu itu. Dengar Di, target saya bukan orang lokal, tapi WNA, termasuk mereka yang memelihara istri-istri simpanannya di sini. Jadi mau rumah apa mentahnya?"

            "Rumah saja, saya minta tiga, untuk saya bersama istri, dan anak-anak saya."

            Tidak semua Budi berakal budi dan berbudi baik, contohnya Budi yang satu ini, baginya mengurus perizinan alih fungsi lahan tidak perlu berlama-lama seperti praktik birokrasi untuk rakyat yang tidak beruang, cukup dengan mengedipkan mata, semuanya akan beres, secara dia penguasa, meski bukan penguasa alam semesta.

Tinggal menunggu waktunya tiba, mangrove yang statusnya hutan lindung akan berubah menjadi hutan yang tak terlindungi. Yakinlah! negara kediaman Budi kelak akan menjadi negara maju, terbukti dari garis pantainya yang setiap tahun semakin maju berkat gagasan dan ide-ide 'kreatif' para tokoh reklamator.

***

            Kedatangan angin kencang membuat Jamal dan beberapa tetangga yang seprofesi dengan nya libur melaut hari ini. Di hari libur justru Jamal disibukkan oleh kerjaan baru, ia sedang asyik menonton televisi harus bolak-balik keluar rumah untuk membenarkan posisi antena televisi yang suka berubah haluan, kadang ke Timur, kadang ke Barat.

Meski bosan mengkonsumsi berita persidangan petinggi polisi yang menembak mati bawahannya karena episodenya 'ratusan' seperti lapisan wafer tengo, tetap saja Jamal penasaran akan story ending-nya. Kekhusyukannya menikmati alur berita terbuyarkan saat ada yang menyapanya dari luar rumah.

            Tempat tinggal Jamal tergolong kawasan padat penduduk, masyarakat yang tinggal di sini adalah mereka yang dulunya memiliki rumah panggung di atas laut. Kemajuan daerah yang terus melaju tanpa henti membuat mereka harus pindah ke area relokasi, karena lahan yang mereka diami sebelumnya direklamasi atas nama pembangunan.

Bukan ganti untung yang didapat, melainkan ganti rugi, meski sudah diganti tetap saja merugi. Uang ganti rugi yang diperoleh, mereka belikan untuk keperluan membangun rumah yang seadanya, bagi mereka yang ingin meneruskan profesi sebagai nelayan, sisanya dialokasikan untuk kebutuhan melaut.

            Tidak semua tetangga Jamal melanjutkan peran sebagai nelayan terakhir di negaranya yang maritim, hanya 30 % dari mereka yang bertahan, 70 % lagi beralih profesi menjadi pedagang, pengojek, dan kuli kasar. Tidak semua penerima ganti rugi ikut tinggal satu koloni bersama Jamal di lahan yang jaraknya beberapa ratus meter dari bibir pantai, sebagian kecil ada yang bekerja menjadi buruh industri dengan mengontrak di Rusun (Rumah Susun), bahkan ada juga yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan, meski hanya sebagai pekerja kelas keset kaki dan hidup mengontrak di sekitaran pusat kota, mereka merasa cukuplah 'Nenek moyangku seorang pelaut'.

Kembali kepada sosok yang menyapa dari luar pintu, mereka merupakan utusan, karena tidak bersayap, pastinya bukan dari kayangan. Mereka tersenyum seperti ada maunya, kira-kira apa yang mereka harapkan dari nelayan seperti Jamal? Ternyata mereka mau menyalurkan uang santunan dan paket sembako.

Sebagai rakyat yang dianggap kecil oleh orang-orang besar, sudah takdir Jamal dan tetangganya menjadi TPS (Tempat Penyaluran Sembako). Gara-gara sering dibagikan sembako, Jamal mulai berbakat dalam meramal masa depan. Sepengetahuannya, secara umum ada dua hal yang akan terjadi jika penyalur sembako sudah turun ke lapangan.

Pertama, tanda Pemalu (Pemilihan Manusia Lucu) sudah dekat, biasanya ada pejabat yang ingin dipilih lagi atau ada kandidat baru yang mulai haus kekuasaan. Baginya semua partai sama saja, sama-sama mengatasnamakan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi. Tidak terhitung sudah berapa banyak kaos partai yang menghampiri Jamal,  lewat kecerdasannya menerapkan konsep reuse, ada yang berakhir jadi keset kaki, ada pula yang jadi kain pengelap di sampannya.

Pertanda kedua merupakan momok yang Jamal trauma, karena memengaruhi penghidupannya sebagai nelayan. Kalau bukan karena nametag yang dikenakan, ia tidak akan tahu kalau yang baru saja pergi merupakan utusan dari kelurahan, sebab mereka tidak mengenakan seragam coklat busuk. Kecurigaan bertahta di pikiran Jamal, ia mulai menerka-nerka, akankah tragedi itu terulang kembali?

***

            Berdasarkan laporan BUCIN (Badan Urusan Cuaca dan Iklim Nasional), angin kencang sudah mudik, nelayan diperbolehkan melaut kembali. Pagi ini langit membiru, Jamal hendak menyebrangi jalan aspal yang berada di pinggir laut, dekat dengan sandaran sampannya, Beberapa kendaraan yang sering digunakan untuk proyek pembangunan tengah melintas, debu yang dilalui kendaraan tersebut merasuki mata Jamal dan membuatnya terbatuk.

            Seharian Jamal melaut, tapi perasaannya tidak secerah langit hari ini, ia begitu bukan karena takut ditabrak ikan besi raksasa, menangkap ikan disekitar lintasan kapal-kapal asing sudah biasa baginya, hanya saja ia tidak bisa berbohong pada firasat yang mengatakan kalau sesuatu akan terjadi, ia menenangkan diri dengan berdzikir.

Jamal merupakan nelayan yang patuh pada ketetapan perbatasan negaranya dengan negara tetangga, ia tidak mau berurusan dengan angkatan laut dari negara lain, karena ia memiliki doa (bukan mantra) agar sekawanan ikan dari negeri tetangga bisa memasuki perairan negaranya, meski tanpa passport. Jamal juga tidak punya GPS, menyentuhnya saja belum pernah, namun di jiwa dan raganya tertanam GPS bawaan yang diwariskan almarhum ayahnya sejak kecil. Ayahnya banyak mengajarkan ilmu kelautan dan perikanan yang tidak diajarkan di bangku kuliah, seperti membaca kondisi laut yang banyak ikannya.

Dari nelayan karbitan, dikatakan begitu karena mereka perantau dari dataran tinggi yang basic-nya bukan nelayan, mereka melaut sekadar untuk menyalurkan hobi di akhir pekan, Jamal mendengar bahwa sudah ada aplikasi di android yang dapat mendeteksi keberadaan ikan di laut, mereka sangat berbeda dengannya yang punya ikatan emosional dengan biota laut.

Seperti biasa, sehabis melaut Jamal menyempatkan singgah ke area mangrove yang masih tersisa di seputaran tempat tinggalnya. Ia sangat bersyukur karena kepiting masih berkenan mampir ke bubu yang ia taruh tadi pagi sebelum bergerak ke tengah birunya bumi, kepiting di dalam bubu tampak hyper active dari biasanya, sepertinya mereka memberikan sinyal.

            Saat memindahkan bubu dari kolong bakau ke sampan, Jamal disentakkan oleh suara aneh, bukannya kabur, rasa penasaran malah merayunya untuk mendekat. Lengan yang mengeras dengan ornamen urat-urat yang muncul ke permukaan kulit merupakan bukti kalau ia memiliki jam terbang tinggi dalam mendayung sampan, lewat kepiawaiannya itu ia susuri alur air payau di sela-sela mangrove dalam sekejap. Sampannya terhenti, dikarenakan air laut yang tadinya surut belum sepenuhnya pasang. Ia beranjak dari sampan, tanpa sengaja kakinya kanannya mendarat pada botol air mineral kemasan bermerk Akuo, sedang kaki kirinya pada plastik kacang kulit bermerek Duo Kancil, kedua benda tersebut semakin terkubur ke dalam lumpur saat ia berdiri.

            Dari posisi berdirinya, Jamal menyaksikan banyak mayat yang tergeletak, tokoh air payau yang berperan sebagai penyerap karbon terbaik tersebut sudah tidak bernyawa lagi di hadapan rekan-rekannya yang harap-harap cemas. Layaknya antrean dalam eksekusi mati masal, setelah beberapa pohon bakau tumbang, disusul lagi oleh yang lainnya. Mata Jamal semakin terbelalak, lalu berlari di atas medan yang berlumpur, tidak terhitung sudah berapa banyak sampah plastik dibenamkan kakinya, ia hampiri sesuatu dibalik tabir hijau yang sedang dalam sakaratul maut tersebut.

            Keberadaan eskavator yang sedang merobohkan pohon-pohon bakau dan truk-truk yang sedang memuntahkan tanah dari baknya sangat mengejutkan Jamal, spontan ia berucap "Astaghfirullahaladzim!"

            Jamal menghadang salah satu eskavator yang tengah beroperasi, melihat aksi nekatnya, beberapa pekerja proyek reklamasi menghampiri jamal, disusul lagi oleh para pekerja lainnya, hingga membuat para pekerja yang sedang bekerja dan eskavator yang sedang dioperasikan berhenti seketika.

            "Mau kalian apakan hutan ini?" tanya Jamal dengan geram bercampur iba di hadapan para pekerja yang mengelilinginya.

            Melihat kegaduhan, seseorang di luar kerumunan datang menghampiri, para pekerja memberikan jalan untuknya, dari pakaiannya yang tampak beda dengan pekerja lainnya sudah jelas kalau dia merupakan pimpinan proyek, "Ada apa pak?" tanyanya ke Jamal.

            "Ini tempat saya mencari nafkah, kenapa ditebang dan ditimbun?"

            "Kalau masalah mencari nafkah, saya dan mereka juga mencari nafkah di sini, lagi pula laut kan masih luas, bapak masih bisa menangkap ikan dengan leluasa di sana," ucap pemimpin proyek sambil menunjuk ke arah laut yang kelihatan dari ruang terbuka yang sudah tidak hijau lagi.

            "Ini kan hutan lindung!"

Mendengar pertanyaan Jamal, pemimpin proyek tidak menjawab dengan lisan, ia keluarkan sesuatu dari dalam sling bag-nya, berupa kertas yang dilapisi plastik, ia sodorkan ke arah Jamal, ia dapat membaca dengan jelas kalau disitu tertera izin alih fungsi lahan dan kegiatan reklamasi yang sudah disetujui oleh pejabat setempat.

Sebentar lagi gelap, Jamal beranjak dari TKP (Tempat Kejadian Penindasan), ia kayuh sampannya meninggalkan bakau yang sebentar lagi akan berpisah dengannya. Dari sini menuju lokasi sandaran sampannya, melewati pinggiran perumahan kelas atas yang ditembok dan objek wisata pantai yang dikuasai kaum kapitalis.

Gerimis turun, bukan dari langit, tapi dari pelupuk mata Jamal, lalu menderas bagai hujan saat ia mengingat slogan pemimpin terpilih di masa kampanye dulu yang berjanji akan memperdulikan nasib nelayan. Semburat senja yang memperindah langit, baginya hanya tampak kelabu saja.

Penghuni di balik tembok tidak tahu dan tidak pernah mau tahu akan rasa iba yang melanda Jamal, mereka sibuk dengan dunianya masing-masing. Sementara di tempat wisata tepi pantai, berpasang-pasang remaja yang sedang dimabuk asmara hanya menganggap Jamal buih di lautan, masing-masing pasangan pra halal tersebut beranggapan kalau dunia ini hanya milik mereka, yang lain numpang.

Daratan di samping kanan Jamal dulunya area mangrove, setiap melihatnya ingatan membawa Jamal menembus masa lalu. Saat kecil, ia dan almarhum ayahnya pernah mencari kepiting bersama. Karakter yang diwariskan almarhum ayahnya dan masih ia lakukan sampai sekarang adalah membantu penyebaran bibit bakau yang kadang jatuh tidak sempurna ke lumpur dari atas dahan. Lahan berlumpur di area mangrove dulunya diramaikan ikan tembakul, sekarang malah diramaikan 'ikan plastik' dari berbagai spesies, banyak yang berubah. Jamal pulang lebih telat dari biasanya.

***

Pepatah 'Gali lubang tutup lubang' memiliki korelasi kuat dengan kegiatan reklamasi. Menimbun area air payau tidak dengan uang, melainkan tanah, namun untuk mengangkut tanah tetap saja perlu uang. Tanah yang dibawa dari daerah lain tentunya akan Babi (banyak biaya), Tanto punya seribu ide kotor dalam menangani hal seperti ini.

Sebagai pengikut Adam Smith, Tanto memberlakukan teori 'Dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya' dalam setiap praktik usahanya, baginya dunia adalah surga, tidak ada jaminan setelah habis kontrak di bumi, ia akan direkrut ke surga yang sering disebut-sebut dalam beberapa holy book.

Layaknya setan, Tanto menghasut Budi lagi, ia pinta Budi menyediakan tanah timbunan dari lokasi terdekat. Awalnya Tanto meminta tanah timbunan dari developer lain tengah mengeruk lahan bergelombang tak berpenghuni di dekat pantai untuk diratakan, wajar tidak dimukimi, masyarakat awam tahu kalau statusnya hutan lindung, mereka tidak mau berurusan dengan polisi hutan, berbeda dengan para mafia lahan yang punya pasokan cuan dalam memperlancar segala urusan.

Kelak tempat yang diratakan tadi juga akan dijadikan perumahan oleh developer yang bersangkutan, bahkan bukit tunggal yang menjulang di sekitar situ telah mereka belah seakan-akan kue yang siap untuk dibagi-bagikan. Sebagian hasil kerukannya mereka berikan untuk keperluan Tanto, sebagian lagi untuk menimbun bakau di sekitaran kaki bukit. Perkara statusnya hutan lindung, mereka tidak acuh, bisa disulap.

Meski telah mendapat sokongan dari developer lain, tetap saja Tanto merasa kurang, tidak terbayang luas mangrove yang ia reklamasi. Seandainya bulan terjangkau, mungkin Tanto juga akan menghabisinya, benar kata Mahatma Ghandi bahwa 'Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.'

Bukan Tanto namanya kalau kehabisan akal picik, ia memengaruhi Budi agar melakukan pelebaran jalan utama di daerah mereka, Tanto mengincar lahan bergelombang di sepanjang jalan tersebut. Sulit bagi Budi untuk menolak, sebab ia telah dimenangkan Tanto, ia menerimanya karena pelebaran jalan adalah program yang kasat mata, dengan begitu pemerintah setempat lebih dirasakan gemar membangun. Dalam proyek pelebaran jalan tersebut, Tanto menawarkan kendaraan alat berat yang bisa digunakan secara cuma-cuma, pastinya akan menghemat anggaran. Tidak ada yang tahu apakah Budi tetap mencantumkan penggunaan kendaraan alat berat di dalam RAB (Ramalan Anggaran Biaya)? Jika iya kemana akan mengalir? Yang jelas bukan ke laut, bisa-bisa nelayan kaya mendadak.

Proyek pelebaran jalan mulai dilaksanakan, beberapa eskavator di bawah kendali operator mulai membunuh pepohonan, lalu mengeruk tanah di bawahnya. Para supir truk sudah siap-sedia membawa tanah kerukan menuju lokasi reklamasi. Sekawanan monyet melompat kesana-kemari sambil berteriak, mereka protes rumahnya dirusak, bahkan monyet berhaluan kiri nekat melempar ranting pohon ke mata pengendali eskavator. Burung-burung juga ambil peran, mereka terbang tidak karuan dari dahan sambil menembakkan tahinya ke arah eskavator, dari sekawanan burung juga ada yang berhaluan kiri, terbukti dari keberaniannya dalam bermanufer dan mematuk leher orang di dalam eskavator. Di mata manusia yang sombong dan angkuh hewan hanyalah makhluk lemah yang senantiasa dijadikan objek (bukan subjek), meski demikian para hewan telah melakukan perlawanan yang di dalamnya terkandung harga diri, perkara menang-kalah itu urusan belakangan, walau banyak yang tahu kalau manusia seperti itu senantiasa menang, meski sedang dikalahkan nafsunya.

Pengendali eskavator menghiraukan pemberontakan para hewan, lagi-lagi ia hanya menjalankan tugas, juga butuh uang demi menafkahi keluarga, catatan sejarah banyak memaparkan kalau manusia tega mengabaikan hak-hak mahkluk lain atas nama perut dan keserakahan. Sebagai hewan hanya itu yang bisa monyet dan burung lakukan, mereka belum punya perwakilan di Dewan Pengurus Rakyat, karena yang dianggap rakyat hanya manusia, berbeda dengan Nabi Sulaiman yang pada masanya hewan begitu sangat diperhatikan dan diperbolehkan menyampaikan pendapat.

Sebenarnya Budi H2C (Harap-harap Cemas) dengan proyek yang baru berjalan. Secuil ketakutan menghampirinya, ia takut jadi sorotan karena telah melakukan degradasi lingkungan, sanubarinya membisikkan kalau kebijakannya bertentangan dengan AMBAL (Analisis Mengenai Bahaya Lingkungan). Sangat disayangkan, bisikan hatinya diredam hasutan syetan yang masif, ia tidak ingin ditinggalkan berbagai award yang selama ini mendongkrak popularitasnya selaku kepala daerah berprestasi. Budi sudah menemukan cara agar tidak jadi sorotan publik karena dianggap mengabaikan kelestarian lingkungan, justru sebaliknya, ia akan membuat dirinya jadi sorotan publik karena kepeduliannya pada lingkungan.

***

Jamal telah menemui lurah setempat terkait deforestasi yang mengancam penghidupan nelayan. Awalnya ia mengajak beberapa rekan seperjuangannya di laut untuk menghadap, namun tidak satu pun dari mereka yang bermental pahlawan kepagian, mereka malah meminta Jamal untuk lebih ikhlas dengan proyek reklamasi yang tengah berlangsung, alasannya mereka hanya rakyat kecil dan tidak banyak yang bisa dilakukan, selain ikut aturan pemerintah. Sementara jamal tetap bersikukuh, baginya ini merupakan perampasan hak-hak nelayan, Sepemahamannya negara dibentuk sebagai pelindung, bukan penindas, terutama bagi rakyat kecil seperti mereka.

Bertemu Pak Lurah sulitnya bukan main, cukup lama Jamal mengantre, padahal ia datang lebih awal dari yang lain. Sementara mereka yang bermobil dan berpakaian mewah dengan mudahnya keluar-masuk pintu yang bertuliskan 'Kepala Kelurahan'. Belum sempat terbang tinggi, seketika Jamal jatuh pada lembah kesadaran yang mengingatkan pada status sosialnya, ia hanya orang berpakaian lusuh dan masih menggunakan kaki untuk sampai ke kelurahan.

Giliran Jamal tiba, bibirnya sampai kering, petugas jutek yang memanggil namanya mengarahkan ke ruangan Pak Lurah tanpa pelayanan prima. Meski tidak dipersilakan duduk, Jamal tetap melakukannya, ia tahu kursi yang tengah dipantatinya merupakan properti rakyat. Seperti air yang mengalir dari mulut keran, ia sampaikan semua yang menjadi keluhannya kepada pelayan rakyat tersebut.

"Sebelum mendapat izin, proyek reklamasi itu sudah mendapat persetujuan lewat proses musyawarah," ucap Pak Lurah yang kupingnya panas tersiram ocehan Jamal.

"Kenapa kami tidak dilibatkan pak?" tanya Jamal.

"Kenapa kalian tidak datang?"

"Bagaimana mau datang kalau tidak ada pemberitahuan?"

"Undangannya sudah kami sebar via What's App ke beberapa ketua RW, saya juga minta agar diteruskan ke RT, lalu RT meneruskannya lagi ke masyarakat yang bersangkutan."

Ke hadapan Pak Lurah, Jamal menunjukkan handphone yang kemampuan tercanggihnya sebagai pelita ketika melaut di malam hari. Dengan enteng Pak Lurah menyarankan ia menabung, agar bisa membeli android sehingga tidak ketinggalan informasi, sebab di Era 4.0 segala pesan penting dan tidak penting berkeliaran bebas di dunia maya.

Jamal meninggalkan Pak Lurah yang sedang menarik dalam-dalam puntungan terakhir rokok, kemudian Pak Lurah menghembuskan napas sejauh-jauhnya, membuat asap rokok mengejar Jamal yang baru saja keluar ruangannya. Selain tumpukan berkas, di meja kerja Pak Lurah ada cangkir yang menyisakan kopi dan piring kecil yang menyisakan kue dengan bekas gigitan, bukan jatah Pak Lurah, melainkan jamuan untuk tamu-tamu terpandang yang belum sempat terbereskan. Itu juga yang membuat Jamal kecewa selain aduannya yang tidak diindahkan. Ia memang tidak berharap diberikan minuman dan kue, namun ia merasa diperlakukan sangat berbeda di negara yang katanya begitu menjunjung tinggi perbedaan. Pada akhirnya Jamal sadar, sebaik-baik tempat mengadu bukanlah sesama makhluk, melainkan Ia yang di 'Arsy.

***

Usai menggembok pintu depan yang pada sisi atasnya tertempel sticker bertuliskan 'Assalamualaikum', Jamal beserta istri dan kedua anaknya meninggalkan rumah, tapi tidak untuk selamanya. Beberapa hari yang lalu Jamal menerima sms dari sepupunya yang ada di Timur Laut, ia diundang menghadiri arisan sekaligus dimintai pertolongan untuk menjadi seksi sibuk.

Dengan angkutan kota, Jamal pergi memenuhi undangan. Ia yang lebih banyak menghabiskan waktu di lautan, sangat jarang mengikuti perkembangan daratan. Jamal yang duduk di samping supir merasa terkejut melihat proyek pelebaran jalan utama di daerahnya, matanya menatap pada bekas kerukan dan perataan tanah di kedua sisi jalan.

"Sudah lama ini bang?" tanya Jamal ke supir.

"Nggak lah bang, baru-baru aja," jawab supir lewat tune keras dengan sentuhan efek serak.

"Emang di sini setiap hari macet ya bang? Sampai-sampai dilebarin."

"Enggak juga sih bang, cuma orang disini latah beli mobil meski rumahnya masih ngontrak, padahal lebih penting lagi jalan-jalan yang banyak berlubang itu ditambal. Yang lucunya, jalan di lebarin tapi paritnya disempitin, pas hujan deras berubah lah jalan itu jadi parit."

"Hmmm."

"Ada lagi yang lebih lucu bang."

"Apa itu bang?'

"Di dekat alun-alun sana, jalan dilebarin, ujung-ujungnya malah jadi arena parkir mobil. Yahhh, beginilah negara kita bang, lebih banyak melucunya dari seriusnya."

Selain mendapat banyak infromasi terkait perkembangan daerahnya, hari ini akan banyak kejutan yang menghampiri Jamal. Sedang ada kerumunan massa di pinggir jalan, di negaranya hal seperti ini sering terjadi, biasanya sedang ada kecelakaan dimana lebih banyak penoton dari penolongnya, ditambah lagi, sekarang banyak videografer atau fotografer karbitan yang seakan-akan wartawan. Mereka asyik mendokumentasikan hanya demi kebutuhan konten, agar follower atau liker-nya meningkat. Kerumunan tersebut kompak dengan kaos hijaunya, terlintas di benak Jamal sedang ada kampanye partai, meski Pemalu (Pemilihan Manusia Lucu) masih beberapa kali revolusi bumi lagi.

Sebagian kecil dari pasukan hijau yang tampak oleh Jamal tengah melakukan penggalian lubang, sebagian besar lainnya sedang asyik melakukan foto berjama'ah dengan pose memegang bibit dan spanduk bertuliskan 'Hijaukan Bumi Lewat Penanaman Pohon'. Melihat hal barusan barulah dugaan Jamal sebelumnya terbantahkan. Banyak wartawan yang meliput, penumpang angkutan umum heran, ternyata kepala daerah terlibat di dalamnya.

Jamal bukannya menaruh bangga pada kegiatan konserpasif tersebut, justru kecewa pangkat tiga, di sini menanam, sementara di hutan yang menjadi penyerap karbon terbaik di tempatnya malah dibantai atas nama pembangunan. Mata Jamal terus mengarah ke sana, hingga angkot berhasil melewati kemacetan yang diciptakan kegiatan tersebut.

***

Pagi menjelang siang, Jamal dan keluarga tiba di kediaman sepupunya yang perempuan. Rumahnya tidak luas, namun halamannya yang luas dan berpasir memiliki sebaran pohon kelapa yang tumbuh tidak beraturan, kondisi rumah disini hampir begitu semuanya. Ada kebiasaan unik terkait jual-beli lahan di sini. Jika ada pembeli, terlebih dulu dihitung jumlah pohon kelapanya, karena harga tanah terpisah dengan harga pohon kelapa. Harga tanah ditentukan berdasarkan luasnya, sedangkan harga pohon ditentukan dari seberapa lama masa tumbuhnya. Semakin lama pohon tersebut tumbuh maka semakin besar pula harganya, otomatis harga lahan juga akan semakin meningkat.

Lama tidak berjumpa membuat mereka saling sapa dan menanyakan kabar masing-masing. Jamal dan keluarganya disuguhkan teh dan kue berisi abon ayam oleh pemilik rumah. Setelah menyogok lambung, Jamal dan keluarga langsung mengambil peran masing-masing. Istri dan anak perempuannya bertugas di belakang, alias dapur. Jamal memperoleh jatah di bagian depan, meliputi ruang tamu dan teras. Agar ruang tamu tampak luas, Jamal mengeluarkan kursi, meja, dan benda-benda yang merusak pandangan dari dalam. Sedang anak laki-lakinya yang bungsu memilih bermain dengan anak-anak seusianya di pekarangan samping.

Melihat kaca jendela yang kurang kinclong, hati Jamal tergerak untuk membersihkannya. Ia cari koran bekas untuk pengelap kaca yang nantinya dipercikkan air terlebih dahulu. Lewat arahan suami sepupunya yang suka membeli koran saat melintas di lampu merah, Jamal menemukan yang dicari di bawah televisi, ia ambil satu bundel secara sembarang dari timbunannya. 

Jamal lupa kapan terakhir kali membaca koran, setelah sekian lama ia melakukannya kembali, koran yang berada di tangannya sekarang memang diterbitkan beberapa bulan yang lalu. Headline koran membuatnya penasaran bercampur jijik, ia selami lebih dalam lautan kata-kata yang memberitakan kegiatan penanaman pohon bakau. Dada Jamal semakin sesak saat mengetahui kegiatan pura-pura konservasi (konserpasif) tersebut terselenggara karena kepala negara sedang berkunjung ke mari, parahnya mereka melakukan penanaman simbolis di area mangrove yang sedang baik-baik saja, sekarang mungkin masih, tidak tahu nanti, sebab grafik peningkatan ketamakan manusia mengikuti deret ukur, bukan deret hitung. Kebingungan terbesar Jamal lainnya adalah kealfaan media dalam memberitakan pengrusakan mangrove di tempat tinggalnya, sepertinya mereka lebih gemar memberitkan romantisme para penguasa, ketimbang skandalnya.

Jamal benar-benar heran dengan kemauan pemerintah, mereka itu pelayan rakyat, bukan pemain film, kenapa sangat gemar bersandiwara? Pura-pura menanam seakan-akan peduli dengan lingkungan, namun perusaknya mereka juga. Kini ia sadar arti dari pemberian sembako beberapa waktu lalu, bahkan yang sudah-sudah. Jamal memang tidak berlajar ilmu statistik, kini ia mampu membaca pola bahwa pemberian sembako punya korelasi dengan penebangan hutan mangrove. Ia menyimpulkan kalau itu adalah upaya pembungkaman agar nelayan tutup mulut dan tidak banyak bicara saat sumber penghidupannya dirusak, sebegitu murahkah harga diri rakyat? Hanya dinilai dengan sebatas sembako dan amplop.

Buah kelapa yang jatuh tanpa cinta, menyadarkan Jamal dari lamunannya, hingga ayam-ayam yang sedang mengais-ngais pasir, berhamburan ke segala penjuru. Seekor ayam yang mampir ke teras, mengucurkan kotorannya ke lantai. Melihat hal itu ia tidak kecewa, kekecewaannya lebih membuncah pada penguasa dan rencana kotornya. Spontan, koran di tangannya, ia gunakan untuk manyapu kotoran ayam. Alhasil wajah kepala negara dan kepala daerah pada koran menaruh sujud pada tahi ayam. Jamal tidak bermaksud melecehkan, sepertinya takdir sudah menyuratkan kotoran bertemu dengan foto pembuat rencana kotor.

Penulis: Taring

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun