Oleh: Taring
“Bapak mau belok ke kanan dek, kalian turun di sini saja ya.” ucap bapak pemilik pickup kepada kami lewat kaca yang membatasi ruang kemudi dengan bagian belakang.
“Oke Pak.” ucap kami kepada beliau.
Pickup berhenti, satu per satu kami turun ke tepi jalan.
“terimakasih banyak ya pak.”
“sama-sama dek, hati-hati kalian ya.”
Pickup yang baru saja kami tumpangi berlalu pergi, belok ke kanan menuju Jantho. Melihat ada warung makan di seberang jalan, aku meminta ke-2 temanku untuk beraksi. Tenang saja! Kami tidak meminta makanan! Kami hanya meminta air minum untuk dituang ke dalam tupperware yang selalu ku bawa selama di perjalanan.
Senin pagi menjelang siang, 23 Desember 2013, kaki kami masih melangkah di pinggiran jalan lintas Banda Aceh – Medan sambil menatap ke belakang, berharap ada tumpangan selanjutnya.
“Hei dari mana kalian? Jalan sambil bawa gitar.” Tiba-tiba kalimat yang dilafazkan dengan logat Aceh mengejutkan kami, suara yang yang mampu menghentikan langkah kami ini bersumber dari Pos Polantas. Memang seorang polisi yang tengah menyapa kami, tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus juga, tubuhya tidak begitu tinggi, kulit beliau sedikit hitam, dengan sentuhan aura ke-India-an di wajahnya.
“Dari Sabang Pak.” Ucapku.
“Ha??? Jalan kalian dari Sabang?” Polisi itu terkejut.