Mohon tunggu...
Hairul Haq
Hairul Haq Mohon Tunggu... Penulis -

Saya adalah anak Betawi asli. Hobi coret-coret kertas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rico

11 Mei 2016   08:04 Diperbarui: 11 Mei 2016   08:20 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rico baru saja membeli sebuah rumah di pinggiran kota Jakarta. Sebelum ia menikah, ia ingin menyiapkan segalanya untuk Esti, sang tunangan. Rencananya, selesai mereka bulan madu, mereka ingin tinggal di rumah baru itu. Halaman yang luas dengan pendopo marmer di sudut depan halaman, membuat rumah itu terlihat sangat indah. Sebenarnya pendopo itu lebih mirip rumah mungil untuk mereka bercengkrama dengan anak-anak. Rico telah membayangkan masa depan bersama Esti dan anak-anaknya kelak.

Rumah itu dibelinya dengan harga yang cukup tinggi dari kliennya, yang seorang keturunan Cina. Sebagai kepala cabang bank swasta yang cukup terkenal di Indonesia. Rico banyak sekali mendapat tawaran yang menarik. Tapi entah kenapa, saat ia melihat rumah itu, ia merasa sangat suka dan langsung cocok. Harga baginya tak jadi masalah, buat dia kenyamanan dan keindahan lebih utama.

Bunga-bunga indah tumbuh subur dan sangat terawat di samping pendopo. Bangunan dengan gaya abad pertengahan, pintu-pintu tinggi gaya Eropa, membuat semuanya menarik untuk di lihat.

Tiga bulan lagi ia akan duduk di pelaminan bersama Esti. Tapi tak sabar ia untuk segera menempati tempat itu.

“ Ayah, boleh aku ajak salah seorang pembantu kita untuk tinggal di rumah baruku ini?” tanya Rico pada ayahnya.

“ Memang kapan kau mau tinggal di sana?” ayahnya balik bertanya.

“ Besok malam, semua perabot di sini sudah lengkap, aku hanya tinggal membawa semua keperluan pribadiku.”

“ Terserah kau, kau mau ajak siapa?”

“ Mbok Irah!” jawab Rico menyebut nama seorang pembantu yang selama ini dianggapnya sebagai orang tua kedua setelah ayah ibunya.

“ Tanya Mbok Irah, apakah dia mau ikut denganmu?”

“ Pasti maulah, aku kemarin sudah bicara dengannya.” Rico bicara mantap dan sangat meyakinkan. Hubungan telpon itu pun berakhir, Rico jadi tidak sabar, kalau saja saat itu hari libur, dan kerjaannya tidak menumpuk di kantor, rasanya ia enggan untuk meninggalkan rumah itu. Setelah pamit dengan penjaga rumah itu, ia pun meluncur kembali dengan mobilnya menuju kantornya di bilangan Sudirman Jakarta.

***

Hari Sabtu pagi itu Rico datang bersama mbok Irah dan kedua orang tuanya. Esti menggandeng keponakannya yang baru berusia 5 tahun.

“ Wah, rumah baru Om Rico, besar yak, Tante, Tante nanti tinggal di sini sama Om Rico?” bocah itu nyerocosyang membuat semua mata memandangnya, Rico dan Esti jadi tersipu.

“ Iya Andre….tapi nanti kalau mereka sudah menikah, sekarang om Ricoaja yang tinggal di sini sama Mbok Irah…” ayah Rico menjelaskan sambil tersenyum. Andre kecil hanya tersenyum dan mengangguk.

Mereka kemudian masuk ke dalam ruang tamu, Andre bermain riang di pendopo, dijaga oleh mbok Irah. Ayah dan Ibuya sangat bangga dengan hasil kerja keras anaknya. Tak sia-sia mereka mendidik Rico selama ini. Tak henti-hentinya kedua orang tua itu mengagumi keindahan rumah baru Rico.

Sore harinya seluruh kerabat dan tetangga baru diundang ke rumah oleh Rico. Selain untuk memperkenalkan diri kepada tetangga, Rico juga ingin bersyukur atas rumah yang akan ditempatinya. Beberapa orang ulama sekitar di undangnya, untuk memimpin acara selamatan rumah. Sampai menjelang magrib, acara itu baru selesai.

“ Ayah dan ibumu hari ini, belum bisa menginap di rumah ini, mungkin minggu depan. Masih banyak yang harus kami lakukan buat kantor ayah besok, dan ibumu harus mendampingi ayah, ayah pamit dulu. Jaga diri baik-baik! Aku titip dia mbok Irah! Marahi saja kalau dia salah!” ayahnya pamit sambil menitipkan Rico pada mbok Irah.

Esti tersenyum melihat ulah calon mertuanya, dengan berat hati ia pun melepas jabat tangan Rico. Andaikan boleh, ingin segera rasanya Esti tinggal di rumah itu bersama Rico, tapi agama dan etika melarangnya.

Lelah seharian dengan segala kegitan di rumah barunya, Rico dan mbok Irah tidur cepat malam itu. Selepas sholat Isya mereka langsung masuk kamar masing-masing.

Jam sebelas malam Rico terbangun dari tidurnya. Ia seperti mendengar suara tangis wanita di depan rumahnya. Dengan melawan rasa ngantukya ia bangkit dari ranjang menuju pintu depan. Dari jendela ruang tamu, terlihat jelas seorang wanita menunduk sambil menangis di pendopo. Rico segera membuka pintu, dia heran bagaimana pintu gerbang itu tak dikunci Mbok Irah, hingga wanita itu bisa masuk seenaknya. Mungkin orang gila, pikir Rico.

“ Hei! Siapa kamu?! Mau apa malam-malam masuk pekarangan orang?!!” Rico bertanya, sambil menghampiri gadis itu ke pendopo.

“ Saya tersesat, Pak,waktu lewat di jalan itu saya melihat pintu gerbang rumah Bapak terbuka, saya lalu melihat ke dalam, ada pendopo ini, saya mau menumpang istirahat, saya lelah, Pak,” jawab gadis itu sambil meredakan tangisnya.

Rico sangat terkejut, di bawah remang lampu pendopo, wajah gadis itu terlihat jelas. Sangat cantik, bahkan Esti pun pasti kalah cantik. Tampaknya dia bukan pribumi. Matanya sipit dengan kulit kuning pucat. Tiba-tiba rasa iba yang aneh menyerangnya. Tak ada lagi tatapan curiga di mata Rico. Dia seperti tersihir oleh kecantikan gadis itu.

“ Namamu siapa? Kenapa kau sampai tersesat? Sangat bahaya gadis cantik macam kamu jalan sendirian tengah malam begini, mau saya antar pulang? Di mana rumahmu?” Rico mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.

“ Rumah saya jauh, Pak, saya dari Singkawang, saya diajak ke Jakarta oleh seorang teman, katanya saya mau diajak kerja. Gak taunya saya mau dijadikan pelacur oleh teman saya. Untung saya bisa kabur dari tempat itu. Tapi saya tak tahu harus ke mana, sampai saya di tempat Bapak ini?”

“ Ayo, masuk ke dalam, dingin di luar!” Rico mengajak gadis itu masuk sambil menghampirinya di pendopo.

“ Tidak, Pak, biar saya tidur saja di sini, besok pagi saya pasti pergi dari sini.”

“ Ada nomer telepon rumahmu di Singkawang atau HP?”

“ Di kampung saya telepon belum Masuk pak, apalagi HP.”

“ Oh.” Rico langsung masuk ke dalam membuat kopi hangat untuk gadis itu, tadinya ia ingin menyuruh mbok Irah. Tapi melihat mbok Irah yang tidur lelap, ia mengurungkan niatnya.

Rico datang membawa dua cangkir kopi hangat dan beberapa potong roti.

“ Nih, kopi hangat dan roti, makanlah, mungkin kau letih dan lapar.”

Gadis itu menerimanya dan langsug melahapnya, Rico duduk di sampingnya, merasa aneh dengan dirinya, saat menatap gadis itu mengunyah roti. Rasa ibanya berubah jadi libido bertegangan tinggi. Ia seperti lupa dengan Esti dan segala hal. Tangannya merangkul gadis itu dan bertanya, “ Siapa namamu?”

“ Nama saya Ping-Ping,” jawab gadis itu.

Saat menjawab, wajah gadis itu pas di hadapannya, karena Rico telah memeluk bahunya dan gadis itu tak sedikit pun menghindar atau menepisnya. Malah wajahnya semakin dekat. Harum sekali aroma yang keluar dari mulut gadis itu. Mereka lalu saling tatap, berciuman, berangkulan. Dan terjadilah hal yang tak pernah dilakukan Rico bersama Esti. Pendopo itu memang tak terlihat dari luar rumah, karena dibatasi tembok dan gerbang yang tinggi.

Dengusan kedua insan itu membisik di tengah malam, lenguhan panjang keduanya mengakhiri permainan itu. Rico terkulai tak berdaya dengan wajah sangat puas. Ia lalu tertidur tak sadarkan diri di pendopo.

***

Azan Subuh, dinginnya udara dan lantai marmer di pendopo, membuat Rico tersadar. Seluruh tubuhnya pegal-pegal. Alangkah terkejutnya ia menyadari tubuhnya sudah tak berpakaian, dia teringat kejadian semalam. Ditatapnya pintu gerbang, masih terkunci. Kemana Ping-Ping? Tanya Rico dalam hati. Segera dia kenakan seluruh pakaiannya. Dihampirinya pintu gerbang, dilihatnya dengan jelas bahwa gembok gerbang itu masih terkunci. Mungkin Ping-Ping menguncinya dari luar sebelum ia bangun. Ia segera masuk ke dalam rumah. Namun ia berpapasan di pintu depan dengan mbok Irah.

“ Mbok, apakah Mbok semalam sudah mengunci gembok gerbang?

“ Sudah, Den, Abis Isya kemarin malam, saya sudah menguncinya,” mbok Irah menjawab bingung. “ Ada apa Den, apa ada orang masuk?”

“ Nggak Mbok, nggak apa-apa,” Rico tak bisa membicara kejadian memalukan semalam. “ Coba cek semua barang di dalam, Mbok, apa ada yang hilang?”

Mbok Irah kembali ke dalam rumah dan memeriksa semua barang, masih utuh tak ada satu pun barang yang hilang. Mbok Irah lalu mengatakan hal itu pada Rico.

“ Syukulah, Mbok, kalau tak ada yang hilang, aku hanya khawatir saja. Rico lalu masuk ke kamarnya. “ Aku mau tidur lagi, Mbok, jangan ganggu aku, kalau ada yang telepon, katakan aku sedang tidur dan tak mau diganggu,”pesan Rico dari dalam kamarnya.

“ Iya, Den,” jawab mbok Irah yang masih heran dengan sikap Rico pagi itu. Mungkin karena rumah baru ini si Rico jadi aneh begitu pikir mbok Irah.

Rico tidak langsung tidur di kamarnya. Ia duduk melamun di tepi tempat tidurnya. Ia masih memikirkan kejadian semalam. Pengalaman itu adalah pertama kalinya dia alami. Piping yang sangat cantik, dengan aroma bunga yang wangi dari tubuhnya, kebaya encim yang dipakainya, membuatnya tak bisa lupa. Bagaimana mungkin pertama kali bertemu seorang gadis bisa langsung menyerahkan tubuhnya. Tapi semua terasa indah, tak sedikit pun pandangan jelek tentang Ping-Ping terlintas di kepalanya. Namun dia tetap heran. Bagaimana Ping-Ping datang dan ke luar dari rumahnya. Apakah ia memanjat gerbang rumahnya? Pertanyaan itu lalu membuatnya tertidur.

Jam dua belas siang, Rico baru bangun dari tidurnya, ia duduk di teras rumah menatap pendopo di hadapannya. Ia masih mengingat kejadian semalam. Pendopo itu menjadi saksi petualangannya semalam bersama Ping-Ping. Ia mengharapkan hal itu bisa terulang lagi. Tiba-tiba Hand phone-nya berdering:

“ Ada apa Rico?! Sejak kemarin sore, hingga saat ini kau tak menelponku?” suara Esti di seberang sana.

“ Oh, maaf, aku letih, semalam pun aku tak bisa tidur, mungkin belum terbiasa di ramah ini,” jawab Rico.

“ Aku pikir, karena rumah itu kau melupakanku, hehe…” terdengar tawa Esti, “ Jangan lupa makan siang, sayang!” kata Esti penuh perhatian.

“ Iya, sayaaaang! Kaya ibuku saja, cerewet! Hahaha….”

“ Ya, sudah, terserah kamu! Kalau tak mau aku perhatikan!”

“ Hehehe… jangan marah ya!? Aku bercanda kok,” Rico mengakhiri percakapan itu.

Rico heran, sejak semalam ia sama sekali tak merindukan sosok Esti, biasanya, dua jam saja mereka tak berkumunikasi, rasa rindu akan datang menghampiri. Apa semua karena Ping-Ping? Pikir Rico. Ia kembali menatap pendopo itu, seakan ada Ping-Ping di sana. Ia ingin sekali mengulang kejadian malam itu. ” Ah, Ping-Ping…,”desah Rico.

Sudah hampir dua minggu Rico menempati rumah itu, selama itu pula ia selalu memikirkan tentang Ping-Ping dan memimpikannya. Produktifitasnya dalam bekerja jadi berkurang, juga perhatian kepada Esti.

“ Kenapa, Rico? Sekarang sikapmu agak berubah padaku? Kau tampak tak lagi memperhatikanku!” ujar Esti pagi itu di teras rumah Rico.

“ Itu hanya perasaanmu saja, tak ada yang berubah pada diriku.” Rico menjawab ringan.

“ Tak berubah, katamu!?? Kau sudah makin jarang menelponku, tak pernah lagi megajakku untuk sekedar makan siang atau nonton bioskop. Kau bilang itu tak berubah?!!” sungut Esti.

“ Aku agak sibuk belakangan ini Esti, tugas di kantor sedang numpuk, “ dusta Rico.

“ Baiklah… kau bisa telpon aku kalau kau sudah tak sibuk lagi! Sekarang aku mau pulang! Selamat pagi!!” Esti langsung pergi meninggalkan Rico di teras itu.

“ Esti , Tunggu!” Rico coba menahan Esti, tapi perempuan itu tak berpaling lagi, masuk ke dalam mobil dan pergi dengan membawa kekesalan pada Rico.

***

Jam tujuh malam Rico sampai di rumahnya. Secangkir Capucino dan beberapa potong roti telah disiapkan mbok Irah di teras depan. Sejenak ia menikmati makanan itu. Tak lama kemudian ia masuk ke dalam untuk mandi dengan air hangat.

Rico mengenakan piamanya, pengaruh air hangat selagi ia mandi tadi, membuatnya cepat mengantuk dan tertidur. Ia larut dalam mimpinya, Ping-Ping hadir kembali di pendopo, menabur senyumnya yang Rico rindukan.

“ Ke mana saja kau Ping-Ping, aku pikir kau telah kembali ke Singkawang? Tanya Rico dalam mimpinya.

“ Aku tak bisa pulang Pak, sejak kejadian kemarin lalu, aku merasa inilah rumahku, aku merasa mendapat apa yang aku cari selama ini. Bolehkah aku tinggal di sini, Pak?”

“ Aku juga rindu kau, Ping, aku juga ingin kau tinggal di sini bersamaku,” Rico lalu mendekap tubuh Ping-Ping. Mereka lalu berpagut, hasrat manusia yang paling purba telah mengusai mereka. Dengusan, rintihan, jeritan kecil memenuhi ruang pendopo yang mungil itu. Sebuah erangan panjang mengakhiri pertempuran itu, keduanya terkulai dengan letih yang memuaskan.

Seperti biasa, paginya Rico dibuat bingung, tubuhnya telanjang, semua pakaiannya terhampar di lantai pendopo, ia segera masuk sebelum mbok Irah bangun. Rico tak habis pikir, bagaimana bisa, ia yang tidur semalam di kamar, berpindah ke pendopo itu, Apakah ia mengigau sambil berjalan? Tak ada jawaban di benaknya.

Sebuah ruangan di bank swasta di bilangan Sudirman. Berukuran cukup besar, terpisah dari pegawai lainnya. Meja kerja yang lengkap dengan segala fasilitasnya. Sofa tamu gaya eropa yang empuk seperti hendak melahap pantat siapa saja yang mendudukinya, seorang wanita cantik yang selalu siap dengan senyum ramahnya, terlihat sibuk membereskan file-file di hadapan meja besar yang di tempati Rico.

Tiba-tiba telepon di meja sekretarinya bordering.

“ Hallo, maaf Mbak, ada tamu untuk pak Rico, boleh masuk gak, namanya pak Alex, katanya rumahnya pernah dibeli pak Rico?”

“ Oh, tunggu sebentar, aku taya pak Rico dulu!” Sekertarisnya menutup bagian bawah telepon dengan tangannya, lalu bertanya kepada Rico yang tengah serius membaca sebuah proposal kredit. “ Pak, ada tamu ingin bertemu Bapak, namanya pak Alex, katanya rumahnya pernah Bapak beli.”

“ Ya, silahkan saja, suruh dia menunggu di lobby, aku segera turun ke sana.” Rico lalu menutup proposal yang dibacanya, ia bangkit langsung turun ke lobby. Saat menuruni anak tangga Rico melihat seorang yag telah menunggunya di ruang tamu bank. “ Apa kabar,Pak Alex?” tanya Rico sambil menjabat tangan tamunya.

“ Baik, Pak Rico, bagaimana, betah tinggal di rumah saya?” jawab tamunya.

“ Wah , betah Pak, bahan saya berterima kasih karena Pak Alex telah menjual rumah itu kepada saya.”

“ Baguslah kalau begitu, tapi…kalau boleh saya hendak merepot Bapak lagi nih.” Tamunya bicara lagi.

“ Bicara saja Pak, kalau bisa saya pasti akan bantu anda.”

“ Sebenarnya pendopo yang ada di rumah itu adalah makam isteri saya, karena saya sangat mencintai dia, maka saya memakankan Ping-Ping di pendopo itu. Kalu di izinkan saya ingin membongkar pendopo itu dan memindahkannya ke tempat saya yang baru, nanti pendopo itu saya rapikan kembali…”

“ Maaf, Pak, siapa tadi nama isteri Bapak?” Rico terkejut mendengar keterangan tamunya.

“ Ping-Ping, Pak, ini potonya, selalu ada di dompet saya.” Tamunya mengeluarkan dompet dari dalam sakunya, lalu menunjukan pada Rico.

Rico terkejut melihat poto itu, wanita yang ada di samping pak Alex adalah Ping-ping. Dia merasa dunia menjadi gelap, kepalanya berat dan tiba-tiba dia jatuh tak sadarkan diri. Bank itu menjadi ramai, tak lama sebuah ambulan membawa tubuh Rico ke rumah sakit.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun