***
Hari Sabtu pagi itu Rico datang bersama mbok Irah dan kedua orang tuanya. Esti menggandeng keponakannya yang baru berusia 5 tahun.
“ Wah, rumah baru Om Rico, besar yak, Tante, Tante nanti tinggal di sini sama Om Rico?” bocah itu nyerocosyang membuat semua mata memandangnya, Rico dan Esti jadi tersipu.
“ Iya Andre….tapi nanti kalau mereka sudah menikah, sekarang om Ricoaja yang tinggal di sini sama Mbok Irah…” ayah Rico menjelaskan sambil tersenyum. Andre kecil hanya tersenyum dan mengangguk.
Mereka kemudian masuk ke dalam ruang tamu, Andre bermain riang di pendopo, dijaga oleh mbok Irah. Ayah dan Ibuya sangat bangga dengan hasil kerja keras anaknya. Tak sia-sia mereka mendidik Rico selama ini. Tak henti-hentinya kedua orang tua itu mengagumi keindahan rumah baru Rico.
Sore harinya seluruh kerabat dan tetangga baru diundang ke rumah oleh Rico. Selain untuk memperkenalkan diri kepada tetangga, Rico juga ingin bersyukur atas rumah yang akan ditempatinya. Beberapa orang ulama sekitar di undangnya, untuk memimpin acara selamatan rumah. Sampai menjelang magrib, acara itu baru selesai.
“ Ayah dan ibumu hari ini, belum bisa menginap di rumah ini, mungkin minggu depan. Masih banyak yang harus kami lakukan buat kantor ayah besok, dan ibumu harus mendampingi ayah, ayah pamit dulu. Jaga diri baik-baik! Aku titip dia mbok Irah! Marahi saja kalau dia salah!” ayahnya pamit sambil menitipkan Rico pada mbok Irah.
Esti tersenyum melihat ulah calon mertuanya, dengan berat hati ia pun melepas jabat tangan Rico. Andaikan boleh, ingin segera rasanya Esti tinggal di rumah itu bersama Rico, tapi agama dan etika melarangnya.
Lelah seharian dengan segala kegitan di rumah barunya, Rico dan mbok Irah tidur cepat malam itu. Selepas sholat Isya mereka langsung masuk kamar masing-masing.
Jam sebelas malam Rico terbangun dari tidurnya. Ia seperti mendengar suara tangis wanita di depan rumahnya. Dengan melawan rasa ngantukya ia bangkit dari ranjang menuju pintu depan. Dari jendela ruang tamu, terlihat jelas seorang wanita menunduk sambil menangis di pendopo. Rico segera membuka pintu, dia heran bagaimana pintu gerbang itu tak dikunci Mbok Irah, hingga wanita itu bisa masuk seenaknya. Mungkin orang gila, pikir Rico.
“ Hei! Siapa kamu?! Mau apa malam-malam masuk pekarangan orang?!!” Rico bertanya, sambil menghampiri gadis itu ke pendopo.