“ Saya tersesat, Pak,waktu lewat di jalan itu saya melihat pintu gerbang rumah Bapak terbuka, saya lalu melihat ke dalam, ada pendopo ini, saya mau menumpang istirahat, saya lelah, Pak,” jawab gadis itu sambil meredakan tangisnya.
Rico sangat terkejut, di bawah remang lampu pendopo, wajah gadis itu terlihat jelas. Sangat cantik, bahkan Esti pun pasti kalah cantik. Tampaknya dia bukan pribumi. Matanya sipit dengan kulit kuning pucat. Tiba-tiba rasa iba yang aneh menyerangnya. Tak ada lagi tatapan curiga di mata Rico. Dia seperti tersihir oleh kecantikan gadis itu.
“ Namamu siapa? Kenapa kau sampai tersesat? Sangat bahaya gadis cantik macam kamu jalan sendirian tengah malam begini, mau saya antar pulang? Di mana rumahmu?” Rico mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.
“ Rumah saya jauh, Pak, saya dari Singkawang, saya diajak ke Jakarta oleh seorang teman, katanya saya mau diajak kerja. Gak taunya saya mau dijadikan pelacur oleh teman saya. Untung saya bisa kabur dari tempat itu. Tapi saya tak tahu harus ke mana, sampai saya di tempat Bapak ini?”
“ Ayo, masuk ke dalam, dingin di luar!” Rico mengajak gadis itu masuk sambil menghampirinya di pendopo.
“ Tidak, Pak, biar saya tidur saja di sini, besok pagi saya pasti pergi dari sini.”
“ Ada nomer telepon rumahmu di Singkawang atau HP?”
“ Di kampung saya telepon belum Masuk pak, apalagi HP.”
“ Oh.” Rico langsung masuk ke dalam membuat kopi hangat untuk gadis itu, tadinya ia ingin menyuruh mbok Irah. Tapi melihat mbok Irah yang tidur lelap, ia mengurungkan niatnya.
Rico datang membawa dua cangkir kopi hangat dan beberapa potong roti.
“ Nih, kopi hangat dan roti, makanlah, mungkin kau letih dan lapar.”