Pada tanggal 9-10 Oktober 1740, Gubernur Jendral VOC Adriaan Vaclckenier bukan saja mengerahkan bala tentaranya namun juga membayar siapa saja untuk membantai orang-orang Tionghoa di Batavia. Sepuluh ribu Tionghoa, lelaki dan perempuan, dewasa dan anak-anak, jiwanya melayang sia-sia gara-gara Belanda kalah dagang. Bukan karena BENCI namun karena DENGKI dan UANG. Itulah Geger Pecinan.
Karena takut pembalasan maka Belanda pun mengirim utusan khusus ke Tiongkok untuk minta maaf kepada Kaisar atas yang terjadi di Batavia. Qianlong kaisar kelima dinasti Qing berkata kira-kira begini, “Aku tidak peduli dengan yang dialami oleh orang-orang tidak berharga itu. Demi memburu harta mereka meninggalkan negeri dan mengabaikan makam-makam leluhurnya. Mereka pantas mati!”
Ucapan kaisar Qianlong tersebut membuka wawasan orang-orang Tionghoa perantauan di seluruh dunia bahwa Tiongkok bukan negerinya lagi karena kaisar Tiongkok bukan hanya tidak mengakui mereka sebagai rakyatnya lagi bahkan mengharapkan kematian mereka. Sejak itulah orang-orang Tionghoa perantauan hidup dengan prinsip, “Tanah yang memberiku makan adalah negeriku. Negeri tempatku tinggal adalah tumpah darahku.”
Sampai hari ini saya masih menunggu Pemerintah Belanda untuk minta maaf kepada orang-orang Tionghoa Indonesia akan kebiadaban nenek moyang mereka. Sampai hari ini saya terus bercerita tentang Geger Pecinan 1740 untuk melawan lupa.
Di antara orang Tionghoa yang hidup di zaman Geger Pecinan 1740, ada yang tidak peduli karena dirinya tidak mengalami kemalangan. Ada Tiongho penakut yang melanjutkan hidupnya dengan mencoba melupakan Geger Pecinan. Namun, sejarah mencatat awalnya ada seribu Tionghoa yang lalu jumlah terus bertambah, memikul rasa malu kepada sepuluh ribu Tionghoa yang mati dibantai. Setelah menyematkan kain kabung di bajunya mereka pun memanggul senjatanya mengikuti panglima Sie Pan Djiang untuk berjuang menegakkan harga diri orang Tionghoa agar Geger Pecinan tidak terjadi lagi. Itulah Perang Kuning.
Letnan Tionghoa Que Yonko adalah orang Tionghoa PENGECUT tanpa harga diri (seperti Jaya Suprana?) yang menghalalkan segala cara demi kedudukan dan hartanya. Itu sebabnya selain menjadi mata-mata Belanda Que Yonko juga menghalalkan segala cara untuk mencelakai para pejuang Tionghoa.
Andai kata Jaya Suprana hidup di tahun 1740, saya yakin, setelah mengaku dirinya PENGECUT dia pasti menulis surat terbuka ke Sie Pan Djiang dan pasukannya agar tidak menyinggung perasaan bangsa Belanda dan bangsa-bangsa lainnya agar Geger Pecinan 17490 tidak terjadi lagi.
Tragedi G 30 S 1965
Tragedi GK 30 S 1965 bukan huru-hara Anti Cina namun Anti Komunis. Itu sebabnya, meskipun banyak orang Tionghoa yang dibunuh, namun mereka dibunuh karena dituduh komunis bukan karena dirinya Tionghoa.
Kenapa Jaya Suprana menyatakan G 30 S 1965 adalah huru-hara Anti Cina? Saya tidak tahu. Dia mengaku dirinya PENGECUT. Menyatakan G 30 S 1965 adalah huru-hara Anti Cina adalah pembohongan publik.
Huru-Hara Anti Cina