Mohon tunggu...
Haihai Bengcu
Haihai Bengcu Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hanya seorang Tionghoa Kristen yang mencoba untuk melakukan sebanyak mungkin hal benar. Saling MENULIS agar tidak saling MENISTA. Saling MEMAKI namun tidak saling MEMBENCI. Saling MENGISI agar semua BERISI. Saling MEMBINA agar sama-sama BIJAKSANA.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengaku Pengecut Jaya Suprana Menyebar Racun

2 April 2015   07:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:39 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: merdeka.com

[caption id="" align="aligncenter" width="648" caption="Gambar: merdeka.com"][/caption]

Merasa takut karena kalah jago. Merasa takut karena kalah banyak. Merasa takut karena bersalah. Merasa takutlah karena KALAH atau karena SALAH namun jangan takut apalagi pengecut karena kamu Cina.

Orang Tionghoa Bukan Minoritas

Warga negara Indonesia terdiri dari berbagai suku dan Tionghoa adalah salah satunya. Orang Jawa paling banyak jumlahnya. Orang Sunda kedua paling banyak dan orang Tionghoa ketiga paling banyak jumlahnya di Indonesia. Selanjutnya Melayu, Madura, Batak, Minangkabau, Betawi, Bugis, Arab dan lain-lainnya. OrangTionghoa bukan minoritas di Indonesia.

Meskipun orangTionghoa bukan suku minoritas di Indonesia, namun, aneh bin ajaib. Sejak kecil, baik Tionghoa mau pun bukan selalu dijejali doktrin “Orang Tionghoa adalah minoritas di Indonesia.”

Orang Tionghoa bukan minoritas di negeri ini. Dalam hal jumlah orang Tionghoa bukan minoritas. Dalam hal kekayaan orang Tionghoa bukan minoritas di Indonesia. Dalam hal menyumbang pendapatan negara orang Tionghoa bukan minoritas. Dalam hal perjuangan untuk merdeka orang Tionghoa bukan minoritas. Dalam perjuangan mengharumkan nama bangsa pun orang Tionghoa bukan minoritas.

Tanah milik orang Tionghoa bukan hadiah dari mereka yang menyebut dirinya pribumi. Tanah-tanah itu dibeli. Kekayaan orang Tionghoa bukan hadiah dari mereka yang menyebut dirinya pribumi namun buah kerja kerasnya sendiri. Alih-alih mendapat kemudahan orang Tionghoa justru banyak mendapat kesulitan dari pemerintah dan para pejabat.

Orang Batak yang merantau ke Jawa tidak berhutang kepada orang Jawa. Orang Jawa yang merantau ke Sumatera Utara tidak berhutang kepada orang Batak dan Melayu. Itu sebabnya sama seperti suku-suku lainnya di Indonesia, orang Tionghoa pun tidak berhutang kepada suku lainnya karena tinggal di Indonesia.

Di mata NKRI tidak ada mayoritas dan minoritas karena WNI (Warga Negara Indonesia) adalah INDIVIDU. Meskipun anda orang Jawa yang jumlahnya paling banyak di Indonesia namun jumlah orang Jawa tidak membuat anda lebih istimewa di mata NKRI dibandingkan WNI orang Yahudi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Demokrasi adalah mengutamakan KEPENTINGAN mayoritas bukan memuaskan KEINGINAN mayoritas!

Geger Pecinan 1740

Pada tanggal 9-10 Oktober 1740, Gubernur Jendral VOC Adriaan Vaclckenier bukan saja mengerahkan bala tentaranya namun juga membayar siapa saja untuk membantai orang-orang Tionghoa di Batavia. Sepuluh ribu Tionghoa, lelaki dan perempuan, dewasa dan anak-anak,  jiwanya melayang sia-sia gara-gara Belanda kalah dagang. Bukan karena BENCI namun karena DENGKI dan UANG.  Itulah Geger Pecinan.

Karena takut pembalasan maka Belanda pun mengirim utusan khusus ke Tiongkok untuk minta maaf kepada Kaisar atas yang terjadi di Batavia. Qianlong kaisar kelima dinasti Qing berkata kira-kira begini, “Aku tidak peduli dengan yang dialami oleh orang-orang tidak berharga itu. Demi memburu harta mereka meninggalkan negeri dan mengabaikan makam-makam leluhurnya. Mereka pantas mati!”

Ucapan kaisar Qianlong tersebut membuka wawasan orang-orang Tionghoa perantauan di seluruh dunia bahwa Tiongkok bukan negerinya lagi karena kaisar Tiongkok bukan hanya tidak mengakui mereka sebagai rakyatnya lagi bahkan mengharapkan kematian mereka. Sejak itulah orang-orang Tionghoa perantauan hidup dengan prinsip, “Tanah yang memberiku makan adalah negeriku. Negeri tempatku tinggal adalah tumpah darahku.”

Sampai hari ini saya masih menunggu Pemerintah Belanda untuk minta maaf kepada orang-orang Tionghoa Indonesia akan kebiadaban nenek moyang mereka. Sampai hari ini saya terus bercerita tentang Geger Pecinan 1740 untuk melawan lupa.

Di antara orang Tionghoa yang hidup di zaman Geger Pecinan 1740, ada yang tidak peduli karena dirinya tidak mengalami kemalangan. Ada Tiongho penakut yang melanjutkan hidupnya dengan mencoba melupakan Geger Pecinan. Namun, sejarah mencatat awalnya ada seribu Tionghoa yang lalu jumlah terus bertambah, memikul rasa malu kepada sepuluh ribu Tionghoa yang mati dibantai. Setelah menyematkan kain kabung di bajunya mereka pun memanggul senjatanya mengikuti panglima Sie Pan Djiang untuk berjuang menegakkan harga diri orang Tionghoa agar Geger Pecinan tidak terjadi lagi. Itulah Perang Kuning.

Letnan Tionghoa Que Yonko adalah orang Tionghoa PENGECUT tanpa harga diri (seperti Jaya Suprana?) yang menghalalkan segala cara demi kedudukan dan hartanya. Itu sebabnya selain menjadi mata-mata Belanda Que Yonko juga menghalalkan segala cara untuk mencelakai para pejuang Tionghoa.

Andai kata Jaya Suprana hidup di tahun 1740, saya yakin, setelah mengaku dirinya PENGECUT dia pasti menulis surat terbuka ke Sie Pan Djiang dan pasukannya agar tidak menyinggung perasaan bangsa Belanda dan bangsa-bangsa lainnya agar Geger Pecinan 17490 tidak terjadi lagi.

Tragedi G 30 S 1965

Tragedi GK 30 S 1965 bukan huru-hara Anti Cina namun Anti Komunis. Itu sebabnya, meskipun banyak orang Tionghoa yang dibunuh, namun mereka dibunuh karena dituduh komunis bukan karena dirinya Tionghoa.

Kenapa Jaya Suprana menyatakan G 30 S 1965 adalah huru-hara Anti Cina? Saya tidak tahu. Dia mengaku dirinya PENGECUT. Menyatakan G 30 S 1965 adalah huru-hara Anti Cina adalah pembohongan publik.

Huru-Hara Anti Cina

1.    10 Mei 1963. Bandung. Kerusuhan anti Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa Tionghoa dan non Tionghoa. Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.

2.    31 Desember 1972. Pekalongan. Keributan terjadi saat acara pemakaman antara pemuda Arab dan Tionghoa yang menyebabkan terbunuhnya pemuda Tionghoa memicu keributan antara orang Arab dan Tionghoa.

3.    27 Juni 1973. Palu. Pemilik toko, seorang Tionghoa menggunakan kertas bertulisan Arab sebagai pembungkus dagangannya. Sekelompok pemuda lalu menghancurkan toko Tionghoa.

4.    5 Agustus 1973. Bandung. Mobil berpenumpang Tionghoa menyerempet gerobak lalu terjadi perkelahian yang menyebabkan kerusuhan mana-mana.

5.    April 1980. Ujungpandang. Suharti adalah seorang pembantu rumah-tangga. Dia meninggal mendadak. Karena beredar isyu Suharti mati dianiaya majikannya seorang Tionghoa maka ratusan rumah dan toko milik Tionghoa pun dirusak untuk balas dendam.

6.    12 April 1980. Medan. Terjadi perkelahian antara mahasiswa Tionghoa dan non Tionghoa di Universitas Sumatera Utara. Kelompok mahasiswa non Tionghoa lalu naik  motor keliling kota, sambil meneriakan yel yel anti Tionghoa. Preman-premandan masyarakat pun terprovokasi untuk melakukan penjarahan.

7.    20 November 1980. Solo. Terjadi perkelahian antar pelajar Sekolah Guru Olahraga, Pipit Supriyadi VS Kicak orang Tionghoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang Tionghoa yang melanda Solo lalu meluas ke kota-kota lain di Jawa Tengah termasuk Semarang.

8.    September 1986, Surabaya. Pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikan Tionghoanya. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya yang lalu melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang Tionghoa.

9.    24 November 1995. Pekalongan. Yoe Sing Yung adalah penderita sakit jiwa. Dia menyobek Alquran. Orang-orang Islam marah lalu menghancurkan toko-toko milik orang-orang Tionghoa.

10.    14 Januari 1996. Bandung. Karena kecewa tidak punya karcis dan dilarang masuk stadion untuk menonton pertunjukan Iwan Fals, penonton pun  melempari toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa.

11.    30 Januari 1997, Rengasdengklok. Seorang Tionghoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh melakukan protes sehingga muncul percekcokan. Masyarakat lalu mengamuk menghancurkan rumah dan toko orang-orang Tionghoa.

12.    15 September 1997. Ujungpandang. Benny Karre, seorang Tionghoa sakit jiwa membacok seorang anak non Tionghoa. Kerusuhan pun meledak di mana toko-toko Tionghoa dibakar dan dihancurkan serta dijarah.

13.    5-8 Mei 1998. Medan, Belawan, Pulo Brayan, Lubuk Pakam, Perbaungan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Tanjung Morawa, Pantai Labu, Galang, Pagar Merbau, Beringin, Batang Kuis, Percut Sei Tuan. Sekelompok orang memprovokasi para demontran anti Soeharto dan masyarakat untuk melakukan huru-hara anti Tionghoa.

14.    14 Mei 1998. Jakarta dan Solo. Sekelompok orang-orang terlatih mengumpulkan masa lalu melakukan pembakaran dan mereriakan slogan anti Cina untuk memprovokasi masa melakukan penjarahan dan penyerangan atas orang Tionghoa. Di beberapa tempat juga terjadi pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Tionghoa.

Kerabatku sekalian, apa yang  terjadi ketika sebuah toko terbakar? Aneh bin ajaib! Kebanyakan orang Indonesia termasuk di dalamnya orang Tionghoa menganggap toko yang terbakar adalah harta tak bertuan itu sebabnya siapa saja berhak menjarahnya.

Apa yang terjadi ketika copet tertangkap? Dia digebukin beramai-ramai. Kebanyakan orang Indonesia suka main hakim sendiri bahkan bangga main hakim sendiri.

Bonek adalah nama suporter kesebelasan Persebaya Surabaya. Bonek bukan satu-satunya suporter yang suka melakukan perusakan dan penjarahan. Bahkan para penonton musik pun senang merusak dan menjarah. Bagi mereka, merusak dan menjarah tidak jahat namun asyik. Kebanyakan orang Indonesia suka merusak dan menjarah.

Berapa banyak unjuk rasa mahasiswa yang berakhir bentrok dengan polisi karena mereka merusak dan mambakar? Banyak! Bagi kebanyakan mahasiswa merusak dan membakar bukan anarkis namun berapi-api. Kebanyakan orang Indonesia suka merusak dan membakar.

Kerabatku sekalian, modus operandi ke 14 kasus yang disebut kerusuhan anti cina di atas selalu sama. Di antara kumpulan masa ada yang memprovokasi dengan melempari sambil meneriakan slogan-slogan kebencian. Setelah terjadi kerusakan pasti ada yang berteriak, “BAKAR!” Maka terjadilah pembakaran. Ketika melihat toko-toko terbakar masyarakat yang semula menonton pun merasa berhak untuk MENJARAH. Tarjadilah perusakan dan pembakaran serta penjarahan toko-toko dan rumah orang Tionghoa.

Kenapa hanya rumah dan toko-toko orang Tionghoa yang dirusak dan dibakar serta dijarah? Karena orang-orang non Tionghoa keluar sambil mengacung-acungkan parang sementara orang Tionghoa bersembunyi atau lari menyelamatkan diri.

Jaya Suprana Menyebar Racun

Di Indonesia tidak ada PENINDASAN Cina. Pernyataan Jaya Suprana, “kini memang tidak ada lagi PENINDASAN terhadap kaum keturunan Tionghoa” adalah pembohongan publik.

Pernyataan Jaya Suprana, “suasana indah ini (tidak ada lagi PENINDASAN Cina)  hanya bisa terjadi berkat perjuangan almarhum Gus Dur, yang dilanjutkan Megawati, SBY, dan kini Jokowi” adalah pembohongan publik karena di Indonesia tidak ada PENINDASAN Cina. Yang pernah terjadi adalah pemberangusan kebudayaan Tionghoa dan agama Khonghucu serta diskriminasi orang Tionghoa oleh pemerintah. Itu bukan PENINDASAN Cina oleh masyarakat.

Pernyataan Jaya Suprana, “Akibat beberapa insan keturunan Tionghoa bersikap dan berperilaku layak dibenci maka seluruh warga keturunan Tionghoa di Indonesia dipukul-rata untuk dianggap layak dibenci” adalah pembohongan publik karena di Indonesia tidak ada kebencian terhadap kaum Tionghoa. Tidak ada BENCI Cina. Tidak ada gerakan Anti Cina. Tidak ada gerakan Pemusnahan Cina. Tidak ada gerakan tunggu kesempatan melampiaskan KEBENCIAN kepada Cina.

Pernyataan Jaya suprana, “kebencian terhadap kaum Tionghoa di Indonesia belum lenyap. Kebencian masih hadir sebagai api dalam sekam yang setiap saat rawan membara, bahkan meledak menjadi huru-hara apabila ada alasan” adalah pembohongan publik karena di Indonesia tidak ada kebencian terhadap kaum Tionghoa. Tidak ada BENCI Cina. Tidak ada gerakan Anti Cina. Tidak ada gerakan Pemusnahan Cina. Tidak ada gerakan tunggu kesempatan melampiaskan KEBENCIAN kepada Cina.

Korban ke 14 kerusuhan di atas memang Tionghoa namun semua kerusuhan itu bukan GERAKAN masyarakat melampiaskan KEBENCIAN kepada orang Tionghoa apalagi memusnahkan orang Tionghoa.

Kecuali kerusuhan 5-8 Mey di Medan dan kerusuhan 14 Mey di Jakarta dan Solo yang bertujuan untuk menciptakan kondisi negara dalam keadaan darurat agar presiden berhak bertindak sewenang-wenang dan sekelompok TNI boleh menembaki mahasiswa seenak jidatnya, maka kasus-kasus lainnya adalah fenomena biasa saja:

Masyarakat main hakim sendiri mengeroyok orang jahat. Masyarakat yang semula menonton keramaian terprovokasi  untuk ikut merusak dan membakar lalu menjarah. Bukan kebencian atas orang Tionghoa dalam sekam yang membara. Bukan Gerakan MENINDAS apalagi MEMUSNAHKAN orang Tionghoa. Kalau saja POLISI bertindak TEGAS sejak awal maka kerusuhan-kerusuhan tersebut di atas tidak mungkin terjadi.

Bagaimana cara membuktikan secara ilmiah dengan mudah bahwa di Indonesia tidak ada kebencian terhadap kaum Tionghoa? Cara mudah dan ilmiahnya adalah: Hendaklah setiap orang bertanya kepada dirinya sendiri, “Berapa banyak pembenci Tionghoa yang anda kenal? Berapa banyak pembenci Tionghoa yang sedang menunggu kesempatan untuk melampiaskan kebenciannya yang anda kenal?”

Permintaan Jaya Suprana kepada Ahok, “saya memberanikan diri untuk memohon Anda berkenan lebih menahan diri dalam mengucapkan kata-kata yang mungkin apalagi pasti menyinggung perasaan bangsa Indonesia,” meskipun santun namun FITNAH. Dia MEMFITNAH Ahok telah MENYINGGUNG perasaan bangsa Indonesia lewat kata-katanya. Sejak kapan Jaya Suprana menjadi juru bicara bangsa Indonesia? Dia pikir dirinya siapa sehingga UCAPANNYA adalah ucapan bangsa Indonesia?

Pernyataan Jaya Suprana, “Saya tahu, Anda seorang pemberani, apalagi sudah disemangati oleh mereka yang muak korupsi, tetapi tidak mau atau tidak mampu turun tangan sendiri, pasti sama sekali tidak takut menghadapi dampak ucapan kata-kata Anda.” meskipun santun namun FITNAH. Dia MEMFITNAH Ahok telah DIPERALAT oleh orang-orang PENGECUT. Dia memfitnah Ahok anti korupsi bukan karena dirinya orang BAIK namun karena DISEMANGATI!

Mungkinkah pernyataan Jaya Suprana, “Bukan sesuatu yang mustahil bahwa kata-kata tidak sopan anda menyulut sumbu kebencian sehingga meledak menjadi tragedi huru-hara yang tentu saja tidak ada yang mengharapkannya,” menjadi kenyataan? Mustahil! Kenapa demikian? Karena di Indonesia tidak ada sumbu kebencian pada orang Tionghoa yang menunggu kesempatan untuk meledak.

Jaya Suprana yang mulia (mulia dari hongkong?), kalau anda MEMBENCI Ahok, tolong jangan menghasut orang-orang Tionghoa untuk ikut membenci Ahok pula. Kalau mau melakukan pembohongan publik, selain melakukannya dengan santun, mbok lakukan sedikit lebih cerdas? Kalau mau memfitnah Ahok, langsung fitnah saja kisanak! Nggak perlu mengagul-agulkan diri PENGECUT dan PENAKUT serta SANTUN.

Handai taulanku sekalian, kita sama-sama tahu kebenarannya: Bukan UCAPAN namun tindakan Ahok MENCEGAH korupsi dan menjalankan pemerintahan yang BERSIH-lah yang membuat banyak orang membencinya. Ahok memang harus lebih bijaksana lagi dalam memilih kata-kata untuk mengungkapkan pikirannya, namun tindakan para serigala berbulu domba BERLAGAK suci menghujat Ahok tidak santun benar-benar menyebalkan!

Kerabat Tionghoa sekalian, Jaya Suprana bukan satu-satunya Tionghoa PENGECUT yang menyebar racun bahwa UCAPAN Ahok akan MEMICU kerusuhan anti Tionghoa karena menyinggung perasaan bangsa Indonesia. Izinkan saya memohon, “Tolong jangan menjadi Tionghoa PENGECUT seperti Jaya Suprana dan menyebarkan racun yang sama!”

Kisanak, Tiong artinya tidak menyebelah. Hoa artinya bangsa. Tionghoa artinya bangsa yang tidak menyebelah. tidak menyebelah dari keadilan dan kebenaran serta kesusilaan dan kebajikan juga cinta kasih. Kalau tindakan Ahok MENCEGAH korupsi dan menjalankan pemerintahan yang BERSIH menyebabkan orang-orang jahat menyerang orang-orang Tionghoa, “Tolong jangan lari!” LAWAN! Kalau anda takut, jangan lari! Lari membuat anda panik. Panik membuat anda mudah diserang. Kalau anda takut, berteriaklah minta tolong! Berteriaklah sekeras mungkin agar seluruh dunia mendengarnya, “TOLONG!” Berteriaklah sekeras mungkin agar rasa takut anda ikut dimuntahkan, “TOLONG!” Berteriaklah maka anda akan ditolong! Berteriaklah, “TOLONG!” Maka, tetangga anda akan datang menolong!

Jaya Suprana yang terhormat (terhormat dari hongkong?), izinkan saya menasehati anda, "LENGSERLAH! Anda mulai KHILAF!"

 

NB. Untuk membaca tulisan Jaya Suprana selengkapnya, silahkan klik di SINI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun