Untuk sesaat, tak terdengar suara lagi.
“Tolooong…!” rintihan itu menyentakku lagi.
Kutajamkan pandangan pada sesuatu yang mengapung di sebelah kananku. Sesosok tubuh tambun terlihat memeluk sebatang pohon kelapa dengan lemah.
“Aziz!” teriakku dengan penuh semangat mengenali sosok adikku.
Tanpa berpikir panjang, aku melompat dan berenang sekuat tenaga yang masih kumiliki, setelah empat hari tanpa makanan dan minuman. Dengan tenang, air seperti merestui semua tindakanku. Kutarik Aziz ke pintu rakitku. Masih ada ruang untuk seorang lagi untuk pintu sebesar itu!
***
“Khalid… Ibu mana?”
Kata yang sama terulang lagi dari bibir Aziz. Semalaman kondisinya tak berubah, istilah yang lebih berfungsi untuk menghibur diriku sendiri untuk tidak menyebutkan ‘semakin buruk’.
“Ikhlaskan semua… Ibu selamat atau tidak, ikhlaskan semua, Dik,” jawabku sama dengan ratusan jawaban serupa untuk pertanyaan Aziz.
Suhu tubuh Aziz yang semakin meninggi begitu mengkhawatirkanku. Tak sanggup aku melihat mata kanannya yang tertancap potongan kayu yang tak berani kuambil.
Seketika titik-titik bening bagai tercurah dari langit.