Pandanganku mulai dipenuhi bintang-bintang, walaupun aku terus berenang ke arah yang kupikir semakin mendekatkanku kepada adikku.
Kemudian rasa nyeri terasa begitu menghantam kakiku. Luka yang membusuk pada kakiku rupanya tidak kuat lagi menahan garam laut. Rasa nyeri itu terasa begitu hebat, sehingga aku tidak dapat menggerakkan tubuhku lagi. Dan aku pun mulai tenggelam…
Tepat sebelum literan air asin amis membanjiri paru-paruku, aku sempat meraih kaki Aziz. Memberikanku semangat dan kelegaan yang melebihi perihnya tenggorokanku. Aku menariknya lebih kencang. Paling tidak, aku ingin tenggelam bersama Aziz.
“Ya Allah…”
Praaas….!
Dan aku menyadari bahwa yang kugenggam dan kutarik, hanyalah potongan kaki Aziz yang membusuk dan terlepas dari tubuhnya. Sementara jazadnya terus mengapung menjauh seakan mengucap selamat tinggal.
Kenyataan yang benar-benar menghancurkan seluruh stamina dan harapanku. Kupasrahkan tubuhku melayang ke dasar lautan. Sekilas kurasa aku mendengar suara orang yang menceburkan diri bersama-sama. Kemudian aku lihat sekitar sepuluh marinir TNI berenang ke arahku!
Dengan panik dan kesadaran yang makin menipis, aku mencari-cari apapun yang dapat dijadikan bahan pertahanan diriku, perlawanan terakhirku!
Ketika tangan-tangan itu menarikku ke atas air, kudengar suara lembut dari seorang prajurit.
“Tenanglah, Saudaraku, tenanglah. Saudara selamat! Kami akan berusaha menyelamatkanmu!”
Kata-kata yang membuatku tertegun dan menghentikan seluruh rontaan dan berontakku. Aku memandang wajah prajurit yang sedang berjuang berenang menyelamatkanku. Kemudian kusadari tanda hitam di keningnya. Tanda yang biasa dimiliki oleh orang yang sering melaksanakan shalat lail. Tanda yang dimiliki oleh seorang muslim. Tanda yang dimiliki oleh saudaraku!