Mohon tunggu...
Muhammad Hadziq Averroes
Muhammad Hadziq Averroes Mohon Tunggu... Lainnya - Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Tertarik menulis ketika berumur 9 tahun dan terus belajar menulis lebih baik. Pada usia 11 tahun menerbitkan sebuah novel sederhana "Play Armada".

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Warrior's Path 5

22 September 2024   13:23 Diperbarui: 10 November 2024   14:14 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

WARRIOR'S PATH EPS 5

Aku Kiato.

Antara sadar atau tidak, tubuhku digoyang dengan pelan oleh Amara, wajahnya yang diterangi sebatang lilin terlihat lebih dari biasanya, tapi ekspresinya mengabarkan satu hal "ayo yang lain sudah siap"

Aku menggeliat, melihat Kerlin dan Denki yang sudah memakai kimono biru mudah tanpa kamon--lambang keluarga. kuingat itu pakaian yang pertama kali diberikan sensei ketika menerima kami dalam didiknya.

ku berdiri, menatap pada bonsai sakura kecil di jendela. Diluar bahkan belum terlihat matahari, masih gelap gulita. Ranting-ranting meranggas itu seolah berusaha menggapai bulan hampir sempurna yang menggantungi malam ini.

Satu-satunya cahaya dari bawah, hanyalah kota Shijiki yang permai, merayakan hari yang cuma ada setahun sekali, sembari menunggu sunrise pertama, biarpun begitu hari ini sudah masuk tanggal satu Tahun Shijiki (TS).

Aku beranjak ke sebuah wadah air di sudut ruangan, membasuh muka kemudian memakai kimono yang sama dengan yang lain. Saat ini adalah saat yang penting, untuk menentukan kemana kami hari ini.

Denki menggeser pintu, lalu berjalan dengan hati-hati menuju tangga. Di Mat'am, segalanya hampir tak terlihat, jika bukan karena cahaya bulan dari luar tidak akan terlihat alat pengaduk sencha didalam sebuah wadah dan tatakan teko, itu hal yang pertama kali ingin kami lihat, setidak ada kemungkinan besarnya.

kami berjalan perlahan tanpa suara, lantai dasar pagoda justru lebih gelap, tidak ada jendela di sana, hanya koridor diantara bilik tatami. Semua lampion mati, bahkan untuk melihat kaki sendiri pun sulit, seolah terkungkung dalam asap kegelapan. Denki menyentuh Shoji ruang meditasi sensei, hanya disana sensei mungkin berada

Set.

Kamar itu bahkan lebih gelap lagi, sebuah lilin berwarna hitam menarikan tarian penyambutan dengan cahaya lemahnya. Seorang laki-laki duduk bersila dengan jubah hitamnya, sebuah katana bersarung gelap hanya berjarak sepanjang lengan dari lututnya. Posisi lotus yang sempurna bagi seorang sensei.

Amara tiba-tiba mendekat ke punggungku, ia berbisik khawatir "Hati-hati"

"Duduklah" suara itu menyeruak, kami sudah menduga keberadaanya di sana. Kami duduk seiza sejajar menghadap sensei dibatasi katana hitamnya.

"Ada apa kalian menemuiku, bahkan sebelum matahari terlihat" bola matanya menyapu kami bergantian. Amara disamping bergidik, entah apa yang dirasakannya.

"Tentang festival ya?" Tanyanya lagi dengan suara pelan, kemudian menatap ke arah langit-langit ruang meditasi nya.

"Yaah~" ia berdiri, cahaya lilin terpantul dari bagian bawah jubahnya--ia tidak memakai kimono untuk bermeditasi, sebuah kamon naga mengibarkan sayapnya dan dua tetes air berada di bagian dada. Memberi aura berlebihan tentang dirinya.

"Umur kalian memang sudah 16 tahun, kurasa bisa saja menjaga diri dari bahaya. Walaupun aku tidak yakin" perlahan, sensei bergerak ketepi ruang. Menyentuh pembatas ruang yang terbuat dari kertas, menyadarkan semua orang akan lukisan alam terindah yang pernah ada setiap incinya. Denki menyikutku, dengan isyarat mata menyuruhku bertanya, aku memandang sensei sekali Sebelum mengangkat tangan.

Set.

Jantungku seolah berhenti, gerakan tangan sensei mendahuluiku sepersekian detik, sangat cepat, seolah tak dimiliki bayangan. "Ya" ucapnya singkat.

"Kuberi izin sampai tanggal 4 TS harus sudah kembali. Kami bersorak, membuat ruangan itu riuh rendah. "Biayai diri kali sendiri dengan 700 Diram kemarin, pastikan itu cukup" ucapnya lagi.

Kami memberi hormat, kemudian beranjak keluar. "Kerlin" panggil sensei di detik terakhir, menyisihkan satu orang. Itu membuat Amara meremas pundakku pelan, perasaan khawatirnya memuncak. Aku hanya bisa menatap matanya untuk menenangkan.

Kami mengambil tas di kamar, kemudian keluar. Tidak dari lantai bawah, tapi dari jendela, mengandalkan permain kaki yang lihai mudah saja agar mendarat di lapangan berbatu yang kokoh, angin pertengahan musim gugur menerjang, memainkan rambutku. Kerlin menyusul setelah itu.

Pohon-pohon yang meranggas mulai menampakkan siluetnya, pertanda matahari muncul. Jalan setapak yang mengarah langsung ke Shijiki bagian utara menjadi jalur utama, jalan turunan gunung menghabiskan banyak energi, tapi tapi lebih dari sepadan untuk membayar indahnya festival Shijiki tahun ini.

Shijiki adalah kota besar yang berada di balik pegunungan Bakhil, 5 km dari pesisir pantai dan kota Samakun, kota nelayan. Iklimnya pun sering berubah antara gunung dan laut, tapi disanalah istimewanya. Dengan segala keunikan Shijiki mengundang ribuan pelancong, membuatnya menjadi kota yang kaya.

Aku menghirup udara kota itu dalam-dalam, mengisi setiap sudut dalam paru-paruku. Tempat ini, walaupun dua tahun telah berlalu tidak pernah kehilangan auranya yang khas. Kami berada di sisi tepi utara, tempat yang merupakan kebun hijau terbuka, lampion diikat pada tali dibentangkan pada tiang-tiang tinggi, menambah keanggunan kota.

Selagi kami menikmati keindahan ini, mataku menatap seorang gadis yang tampak familiar di blok ini, dari kejauhan. Rasanya seperti deja vu, entah dimana. Ia sangat familiar, kulitnya putih, berambut coklat tergerai hingga bawah bahu, matanya ranum kecoklatan, tubuhnya langsing, setinggi bahuku, mungkin. Pakaiannya tak pernah dikenakan siapapun didekat sini, tapi sepertinya juga bagian dari deja vu itu sendiri.

Gadis itu tertawa bersama teman-temannya dengan anggun. Kepalaku masih terus berkonsentrasi, menebak-nebak siapa gerangan ia. Tanpa kusadari, seorang berandal mengendap-endap perlahan dibelakangnya, dengan perlahan tangan kasarnya masuk kedalam tas kecil yang disampirkan kebelakang punggung gadis itu, pencopet. Aku bergerak.

Buk

Apa yang kulakukan?, Sederhana. Membuatnya terkapar dengan satu tendangan tinggi, tapi mataku malah ditemukan gadis itu, kami terpaku, merasa grogi yang lebih aneh daripada kemarin. Sama-sama merasa saling kenal, baru kusadari bagian bawahnya menggunakan celak merah, mengingatkan masa laluku.

"Ozora"

"Kak, Ki.. Ki.. Kiato" ucapnya patah-patah.

Kami mengucapkannya hampir bersamaan, menjelaskan banyak hal, tapi gadis itu lebih dulu bangkit lalu berlari pergi. Aku masih terdiam, namanya Ozora, lama sekali kata itu tidak lewat di kepalaku.

Buk.

Aku lengah, berandal yang terkapar itu tidak pingsan, ia melepaskan tendangan samping, tidak parah. Ia mulai memukul dengan membabi buta, kerumunan berkumpul disekitar ku melihat perkelahian ini. 'baiklah' ini harus segera diselesaikan. Aku menendang keras ke ulu hatinya, lalu melakukan bantingan terkeras yang kubisa.

Kali ini selesai, dia benar-benar pingsan, aku mendengus penuh kemenangan.

"Kiato" Denki menarik pundakku, membawa pergi ke sisi bangunan. "Yang kau lakukan tadi gila tahu! Seharusnya kau biarkan saja gadis bercelak itu" ia menekankan kata gila itu, ia terlihat agak marah sambil bersandar. "Lihat" serunya sambil menunjuk dengan dengan dagu, keamanan kota baru saja meringkus brandal tadi dengan tali.

"Siapa sebenarnya gadis bercelak itu" tanya Denki penasaran, memandangku dari atas hingga bawah. "Entahlah" aku membuang muka darinya, menjawab singkat. "Haah~" Denki sepertinya frustasi, tidak memaksa ku bertanya.

"Hei~, apa yang kalian lakukan disini" Kerlin melambaikan tangan sambil mendekat bersama Amara. "Aku dan Amara sudah memesan penginapan di pinggiran dengan harga murah" matanya menatap padaku dengan riang, kemudian beralih pada Denki, ia membisikkan sesuatu. Apapun itu, tapi Denki terkejut mendengarnya.

"Ayo!" Kerlin menarik tangan Denki pegi, apa yang akan terjadi, sepertinya akan menarik. Aku mengekori mereka menuju penginapan, tapi aku teringat sesuatu. "Mara, tolong bawakan tasku, aku ada seseorang yang harus ditemui" punggungku berbalik.

"Tapi, kemana?" Pertanyaannya terputus, tapi aku bisa mendengar Denki berkata "mungkin dia dapat pacar" sambil tertawa, aku tidak menggubris, percaya Amara tidak akan 'menelan' ucapannya.

Aku berbalik di blok selanjutnya, jika tidak salah Ozora juga lewat sini. Nihil, ia tidak ada, gemerlap Shijiki tidak membuatku tenang, gadis itu membuatku mulai memeta masa laluku yang kabur.

Aku mendengus pelan, kemudian mendekat kesalah satu kios yang baru buka, menjajakan Kise, sebuah balok tahu dingin yang dicelupkan dalam coklat. Aku menyerahkan 4 Diram untuk itu, lalu dengan terkulai duduk di kursi dekat situ. Kepalaku mendongak pada payung dan lampion yang membentang pada tali sepanjang blok ini.

Aku menghela napas putus asa.

"Ibu, itu dia!" Seseorang berseru. Aku menoleh, gadis itu ada disana, bersama seorang wanita yang lebih tua dan seorang laki-laki berambut kelabu yang jangkung disisinya. Dan semuanya memakai celak merah yang serupa.

Detik benar-benar cepat, wanita tadi telah memelukku dalam isak tangisnya, setiap detik pula ingatan ku kembali. Aku lupa saat ingatanku kabur dulu, tapi sepertinya tidak lama sebelum tiba di kota ini.

"Ibu" desahku, balas memeluk, setelah beberap saat melepas rindu dan menjelaskan kebradaanku selama ini, laki-laki berambut kelabu itu bertanya padaku "hei, masih ingat aku" jemarinya melayang sebentar, sebelum menjentik ubun-ubun ku dengan keras, bahkan terasa panas. Aku tersentak sambil mengusap kepala, menatap wajahnya baik-baik.

"Kak ya?" Ucapku dan wajahnya menunjukkan kepuasan.

"Lupa namanya" aku tertawa pelan sementara ia meninju pundakku.

"Sudahlah, kita terpisah dua tahun, kumaklumi. Tanyakan pada Ozora" ia berlalik pergi sambil melambaikan tangan. Aku mengedikkan bahu pada Ozora disampingku, mengangkat alis dengan penasaran. "Faqri" jawab gadis itu dengan tersenyum.

"Dimana celakmu nak" ibu menyentuh bagian bawah mataku. "Celak?" "Mungkin hilang dijalan, akan kucatkan lagi bagi" Ozora menyambung riang, senyumnya sangat indah.

Aku hanya berbeda di tahun dengan Ozora dan empat tahun dengan Farqi. Jadi sepertinya bila saling melempar lelucon masih nyambung. Aku dibawa keluarga lamaku ke paviliun yang mereka beli tidak jauh dari jantung kota.

Aku berlutut didepan Ozora sementara tangannya lihai mewarnai bagian bawah mataku dengan celak merah yang sama, melewati batas ekor mata untuk membentuk sisi tajam, lamat-lamat kudengar ayah dan Farqi membicarakan tentangku di tepi ruang.

"Yah, lama rasanya tidak ngumpul lengkap seperti ini lagi" ayah tersenyum mendengar ucapan kakak, "tapi dia tidak mungkin banyak berubah" Farqi melempar jeruk keudara, lalu kemudian melemparnya ke arahku. Aku terkesiap, Ozora baru saja menyelesaikan celakku. "Benarkan, dik" ucap Farqi sambil tersenyum. Untuk pertama kali, aku merasakan sebagai seorang adik.

Aku menikmati pagi itu dengan nyaman hingga matahari semakin meninggi, lalu segera pamit. "Mau kemana memangnya" ayah bertanya ketika aku berdiri, "aku kesini bersama teman-teman, mereka pasti sudah menunggu di penginapan" "penginapan yang mana?" Ibu ikut bertanya. "Aku tidak tahu namanya karena tadi langsung mencari Ozora, tapi di pinggiran kota" jelasku, "hmm, ibu akan kirimkan makanan kesana nanti". Aku semakin dekat dengan pintu.

"Kakak" gadis itu mendekat, membuatku menoleh. "Siang ini, ayo duel di lapangan dekat pusat kota" aku terkejut mendengar ajakannya, awalnya kukira hanya gurauan karena kami lama tak berjumpa, tapi wajahnya serius. "Baiklah" ujarku pelan. Seluruh keluarga mengantarku hingga pintu, tapi Farqi sepertinya tertarik untuk ikut keluar. k

Aku hanya mengangguk.

Baru beberapa langkah, seseorang hampir bertabrakan denganku, seorang perempuan dewasa yang tinggiku hanya sedagunya. "Wah ini ya, si Kiato Zareki" ia memelukku erat. "Ng, siapa?" Aku bertanya, menatap wajahnya yang rupawan, berambut hitam panjang sepunggung dan langsing.

"Lho, kakakmu belum memberi tahu. Aku kakak iparmu, tunangan Farqi. Claudia Zareki" ia memperkenalkan diri, kemudian berlari kecil menggamit lengan Farqi yang baru keluar dari pintu sambil tersenyum indah

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan kakak ketika aku melihatnya, tapi wajahnya memerah. Aku hanya tersenyum. Yah, kurasa itu bagus saja, aku terlalu sibuk dengan banyaknya latihan, sehingga melupakan keluarga yang hangat ini. Mm, Zareki, marga yang bagus. Aku beranjak kembali ke penginapan.

BERSAMBUNG....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun