Pohon-pohon yang meranggas mulai menampakkan siluetnya, pertanda matahari muncul. Jalan setapak yang mengarah langsung ke Shijiki bagian utara menjadi jalur utama, jalan turunan gunung menghabiskan banyak energi, tapi tapi lebih dari sepadan untuk membayar indahnya festival Shijiki tahun ini.
Shijiki adalah kota besar yang berada di balik pegunungan Bakhil, 5 km dari pesisir pantai dan kota Samakun, kota nelayan. Iklimnya pun sering berubah antara gunung dan laut, tapi disanalah istimewanya. Dengan segala keunikan Shijiki mengundang ribuan pelancong, membuatnya menjadi kota yang kaya.
Aku menghirup udara kota itu dalam-dalam, mengisi setiap sudut dalam paru-paruku. Tempat ini, walaupun dua tahun telah berlalu tidak pernah kehilangan auranya yang khas. Kami berada di sisi tepi utara, tempat yang merupakan kebun hijau terbuka, lampion diikat pada tali dibentangkan pada tiang-tiang tinggi, menambah keanggunan kota.
Selagi kami menikmati keindahan ini, mataku menatap seorang gadis yang tampak familiar di blok ini, dari kejauhan. Rasanya seperti deja vu, entah dimana. Ia sangat familiar, kulitnya putih, berambut coklat tergerai hingga bawah bahu, matanya ranum kecoklatan, tubuhnya langsing, setinggi bahuku, mungkin. Pakaiannya tak pernah dikenakan siapapun didekat sini, tapi sepertinya juga bagian dari deja vu itu sendiri.
Gadis itu tertawa bersama teman-temannya dengan anggun. Kepalaku masih terus berkonsentrasi, menebak-nebak siapa gerangan ia. Tanpa kusadari, seorang berandal mengendap-endap perlahan dibelakangnya, dengan perlahan tangan kasarnya masuk kedalam tas kecil yang disampirkan kebelakang punggung gadis itu, pencopet. Aku bergerak.
Buk
Apa yang kulakukan?, Sederhana. Membuatnya terkapar dengan satu tendangan tinggi, tapi mataku malah ditemukan gadis itu, kami terpaku, merasa grogi yang lebih aneh daripada kemarin. Sama-sama merasa saling kenal, baru kusadari bagian bawahnya menggunakan celak merah, mengingatkan masa laluku.
"Ozora"
"Kak, Ki.. Ki.. Kiato" ucapnya patah-patah.
Kami mengucapkannya hampir bersamaan, menjelaskan banyak hal, tapi gadis itu lebih dulu bangkit lalu berlari pergi. Aku masih terdiam, namanya Ozora, lama sekali kata itu tidak lewat di kepalaku.
Buk.