Mohon tunggu...
Muhammad Hadziq Averroes
Muhammad Hadziq Averroes Mohon Tunggu... Lainnya - Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Tertarik menulis ketika berumur 9 tahun dan terus belajar menulis lebih baik. Pada usia 11 tahun menerbitkan sebuah novel sederhana "Play Armada".

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Warrior's Path 5

22 September 2024   13:23 Diperbarui: 10 November 2024   14:14 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Amara tiba-tiba mendekat ke punggungku, ia berbisik khawatir "Hati-hati"

"Duduklah" suara itu menyeruak, kami sudah menduga keberadaanya di sana. Kami duduk seiza sejajar menghadap sensei dibatasi katana hitamnya.

"Ada apa kalian menemuiku, bahkan sebelum matahari terlihat" bola matanya menyapu kami bergantian. Amara disamping bergidik, entah apa yang dirasakannya.

"Tentang festival ya?" Tanyanya lagi dengan suara pelan, kemudian menatap ke arah langit-langit ruang meditasi nya.

"Yaah~" ia berdiri, cahaya lilin terpantul dari bagian bawah jubahnya--ia tidak memakai kimono untuk bermeditasi, sebuah kamon naga mengibarkan sayapnya dan dua tetes air berada di bagian dada. Memberi aura berlebihan tentang dirinya.

"Umur kalian memang sudah 16 tahun, kurasa bisa saja menjaga diri dari bahaya. Walaupun aku tidak yakin" perlahan, sensei bergerak ketepi ruang. Menyentuh pembatas ruang yang terbuat dari kertas, menyadarkan semua orang akan lukisan alam terindah yang pernah ada setiap incinya. Denki menyikutku, dengan isyarat mata menyuruhku bertanya, aku memandang sensei sekali Sebelum mengangkat tangan.

Set.

Jantungku seolah berhenti, gerakan tangan sensei mendahuluiku sepersekian detik, sangat cepat, seolah tak dimiliki bayangan. "Ya" ucapnya singkat.

"Kuberi izin sampai tanggal 4 TS harus sudah kembali. Kami bersorak, membuat ruangan itu riuh rendah. "Biayai diri kali sendiri dengan 700 Diram kemarin, pastikan itu cukup" ucapnya lagi.

Kami memberi hormat, kemudian beranjak keluar. "Kerlin" panggil sensei di detik terakhir, menyisihkan satu orang. Itu membuat Amara meremas pundakku pelan, perasaan khawatirnya memuncak. Aku hanya bisa menatap matanya untuk menenangkan.

Kami mengambil tas di kamar, kemudian keluar. Tidak dari lantai bawah, tapi dari jendela, mengandalkan permain kaki yang lihai mudah saja agar mendarat di lapangan berbatu yang kokoh, angin pertengahan musim gugur menerjang, memainkan rambutku. Kerlin menyusul setelah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun